Fitrah
dan Islah : Damai Indonesia
Azyumardi Azra ; Guru
Besar Sejarah;
Direktur
SPS UIN Jakarta; dan 2014 Fukuoka Prize Laureate
|
KOMPAS,
26 Juli 2014
“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus
kepada din [agama Allah]; [tetaplah atas] fitrah Allah yang telah menciptakan
manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. [Itulah]
agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui” (QS
Ar-Rum 30:30).
”Orang-orang beriman itu sesungguhnya
bersaudara. Sebab itu, ciptakanlah islah [damaikan, perbaiki hubungan] di
antara kedua [pihak] saudaramu [yang berselisih] itu; dan takwalah kepada
Allah supaya kamu sekalian mendapat rahmat [Allah]” (QS
Al-Hujurat 49:10).
PUASA
Ramadhan 1435/2014 segera berakhir dan 1 Syawal 1435 pun menjelang, umat
Islam pun sampai kepada ‘Id al-Fitr
(Idul Fitri). Inilah momen ketika mereka yang puasa kembali kepada al-’id ila fitrah, kesucian. Meski
fitrah yang dianugerahkan Allah SWT tidak berubah, seperti dinyatakan Al
Quran Surah Ar-Rum Ayat 30 di atas, manusia sering mengotori fitrahnya dengan
berbagai kesalahan, kekeliruan, dan perbuatan maksiat, baik sengaja maupun
tidak.
Ibadah
puasa Ramadhan dan ibadah-ibadah lain yang dikerjakan sepanjang hari atau
sepanjang tahun pada intinya bertujuan agar mereka yang beribadah (abidin)
dapat meraih kembali dan menjaga fitrah, kesucian diri masing-masing.
Dengan
fitrahnya, manusia tidak hanya dapat tersucikan dalam hubungannya dengan
Tuhan (habl min Allah), tetapi
sekaligus dengan manusia (habl min
al-nas) dan lingkungan alam lebih luas. Dengan kesucian, setiap dan
seluruh individu dapat menciptakan harmoni dan kedamaian di muka bumi ini.
Pemaafan untuk damai
Dalam
kesempatan kembali kepada fitrah secara individual-personal, setiap pribadi
Muslimin dan Muslimat wajib memperluas kesucian itu ke tingkat sosial komunal
dan masyarakat negara-bangsa Indonesia. Perluasan kesucian itu merupakan
bagian integral dari prosesi ibadah Idul Fitri yang dilakukan melalui
kunjungan satu sama lain dan saling meminta dan memberi maaf.
Ibadah
ini merupakan shilat al-rahim, memperkuat kembali hubungan kasih sayang.
Melalui semua prosesi religio-sosial dan kultural seperti ini, dapat
terbangun hubungan antarmanusia yang kian erat dan fungsional dalam kehidupan
pribadi, masyarakat, dan negara-bangsa.
Saling
meminta dan memberi maaf (pemaafan) sangat urgen setelah bangsa Indonesia
menyelesaikan Pemilu 2014, meliputi pemilu legislatif pada 9 April dan pemilu
presiden pada 9 Juli.
Meski
kedua pemilu itu secara umum berlangsung aman dan damai, masih tersisa luka
dan kepedihan yang muncul sepanjang masa kampanye, pencoblosan surat suara,
serta penetapan presiden dan wakil presiden terpilih pada 22 Juli. Suasana
menyalahkan, menghujat, dan berprasangka buruk terhadap berbagai pihak
terkait proses pilpres itu masih mewarnai proses demokrasi Indonesia terkini.
Perseteruan
dan ketegangan politik-sosial di kalangan masyarakat kita nampaknya masih
bakal berkelanjutan. Memang Komisi Pemilihan Umum telah menetapkan pemenang
Pilpres 2014, yaitu pasangan Joko Widodo-M Jusuf Kalla. Namun, menjelang
akhir rekapitulasi suara pilpres berakhir (saat selesai rekapitulasi 29 dari
33 provinsi dan satu wilayah luar negeri), calon presiden nomor urut 1
Prabowo Subianto—tanpa didampingi oleh calon wakil presiden Hatta
Rajasa—menyatakan penolakan terhadap proses dan hasil Pilpres 2014.
Dalam
konteks itu, nilai dan semangat ibadah puasa dan Idul Fitri sangat relevan.
Ibadah puasa—perlu diingatkan kembali—merupakan latihan jasmani dan rohani
dengan kesabaran.
Dengan
begitu, orang beriman yang berpuasa dapat mencapai derajat muttaqin,
orang-orang bertakwa yang terpelihara dirinya dari nafsu angkara murka, dan
sebaliknya lebih banyak bersabar dan bertawakal kepada Allah SWT. Kemenangan
dan kekalahan dalam kompetisi dan kontestasi apa pun merupakan keniscayaan,
tinggal menyikapinya secara arif, bijak, dan tawakal.
Lebih
jauh, memandang perkembangan politik setelah pilpres yang belum sepenuhnya
menggembirakan, segenap umat beriman yang telah kembali kepada fitrahnya
perlu meningkatkan semangat pemaafan. Untuk mengarah ke sana, perlu
pengembangan pemahaman bahwa pemaafan tulus dan ikhlas bertujuan memperbarui
hubungan antarmanusia, antarwarga Indonesia khususnya. Pemaafan bukan sekadar
aktualisasi sikap moral bernilai tinggi yang berdiri sendiri, melainkan
berkaitan dengan tujuan yang tak kurang mulianya, yakni perbaikan (islah)
yang mencakup rekonsiliasi antarmanusia atau antarwarga yang dalam Pemilu 2014,
khususnya pilpres, diselimuti kemarahan yang terlihat cenderung
berkepanjangan.
Dengan
kandungan nilai dan semangat begitu mulia, pemaafan secara implisit juga
berarti menunjukkan kesiapan seluruh warga bangsa untuk kembali hidup
berdampingan secara damai. Karena bagaimanapun, setiap mereka adalah
manusia-manusia yang berbeda dengan segala kelemahan dan kekeliruan
masing-masing.
Hanya
dengan pemaafan, bisa tercipta kedamaian dan harmoni, yang dapat mendatangkan
suasana kondusif bagi setiap dan seluruh warga untuk melakukan ikhtiar
terbaik demi kemaslahatan dan kemajuan negara-bangsa Indonesia di bawah
kepemimpinan nasional baru.
Pemaafan
mengandung beberapa dimensi dan langkah penting. Dalam pengertian umum,
pemaafan berarti mengingat dan sekaligus memaafkan. Dalam Islam, proses ini
disebut sebagai muhasabah, yakni saling menghitung atau menimbang
peristiwa-peristiwa pahit yang telah melukai pihak tertentu. Melalui
muhasabah, semua pihak melakukan introspeksi untuk kemudian dapat melakukan
pemaafan satu sama lain.
Islah dan empati
Kemauan
dan tindakan islah, memperbaiki hubungan dan rekonsiliasi, merupakan amal
saleh yang amat mulia, seperti dianjurkan Allah SWT dalam firman-Nya yang
dikutip di atas (QS Al-Hujurat 49:10)
bahwa orang-orang beriman itu bersaudara. Jika konflik terjadi di antara
mereka, perlu diupayakan islah, perdamaian di antara mereka.
Memberi
maaf atau pemaafan merupakan langkah dasar bagi terwujudnya islah
(rekonsiliasi) di antara sejumlah pihak yang terlibat dalam tensi dan hubungan
tidak baik. Dalam konteks kehidupan sosial-politik, Imam al-Syaikh Muhammad
’Abd al-Azim al-Zarqani dalam kitab Manahil Al-’Irfan fi ’Ulum Al-Qur’an
(edisi 1988), menyebut dua macam rekonsiliasi yang perlu dilakukan. Pertama,
al-ishlah al-ijtima’i, rekonsiliasi kemasyarakatan melalui pengurangan
ta’ashub atau sektarianisme sosial-politik. Kedua, al-ishlah al-siyasi
melalui pengembangan komitmen pada keadilan, kesetaraan, dan kasih sayang,
serta sebaliknya menjauhi kebohongan, pengkhianatan, penipuan, dan kezaliman.
Tindakan
islah pada saat sama merupakan pengejawantahan sikap empati terhadap realitas
kemanusiaan. Setiap orang bagaimanapun adalah manusia biasa yang dapat
terjerumus ke dalam kesalahan dan angkara murka yang merugikan masyarakat dan
negara-bangsa.
Tidak
ada seorang pun yang dapat menjamin dirinya tidak akan terjerumus ke dalam
kesalahan atau kenistaan. Pengakuan tentang kelemahan kemanusiaan ini
merupakan sikap empati yang membuka pintu pemaafan. Karena itulah, Islam
sangat menganjurkan sikap empati.
Demikianlah,
pemaafan yang telah menjadi bagian integral dari perayaan Idul Fitri
sepatutnya tidak hanya sekadar menjadi saling silaturahim dan berjabat
tangan. Sebaliknya, Idul Fitri hendaknya dapat menjadi momentum bagi pemaafan
yang tulus dari seluruh warga bangsa sehingga islah, rekonsiliasi, dan
perdamaian terwujud secara berkelanjutan demi Indonesia yang damai, maju, dan
berkeadaban. Wallâhu a’lam bish-shawab.
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar