Puasa
dan Purifikasi Bangsa
Achmad M Akung ;
Dosen Fakultas Psikologi
Universitas Diponegoro Semarang
|
KORAN
SINDO, 21 Juli 2014
TIDAK terasa, umat Islam di Indonesia telah memasuki sepuluh
hari terakhir pada Ramadan 1435 H. Bulan puasa yang penuh berkah, nikmat, dan
ampunan terasa sangat cepat berlalu hingga tinggal tersisa beberapa hari
saja.
Padahal kita mungkin merasa belumlah beramal apa-apa. Sementara
kita pun tak akan pernah bisa menjamin bahwa ini bukan Ramadan terakhir kita.
Saya selalu teringat, setiap kali bulan puasa hadir kiai di kampung saya di
Kebumen selalu bertutur tentang seorang Majusi yang menghukum putranya.
Apa pasal? Karena, putranya tersebut makan dan minum secara
terbuka di area publik. Kiai saya kembali bertutur, betapa seseorang yang
menghormati, gembira akan datangnya Ramadan, baginya pahala yang luar biasa
besarnya.
Apalagi jika seseorang berkenan mengekang diri dalam lapar dan
dahaga di teriknya siang dan menenggelamkan diri dalam ibadah malam yang
panjang. ”Ghufirolahu maa taqoddama min dzanbih”, begitu jaminan Tuhan,
diampuni dosanya yang telah lalu.
Puasa sungguh adalah sebuah anugerah teramat berharga bagi umat
muslim. Begitu besarnya anugerah pada bulan puasa itu sehingga banyak orang
saleh yang berharap setiap bulan dalam rentang satu tahun itu adalah bulan
puasa. Puasa itu, sebagaimana Allah firmankan, disyariatkan bagi orang
beriman agar menjadi pribadi yang bertakwa.
Puasa adalah laku prihatin bagi umat Islam, laiknya kawah candra
dimuka yang menempa kehidupan orang-orang beriman dan membakar segala gejolak
nafsu yang rendah untuk menjadi pribadi yang bertakwa (la’allakum tattaquun). Meminjam istilah biologi, puasa laiknya
sebuah proses metamorfosis. Kita dari ulat yang rakus menjadi kupu-kupu indah
yang mencerahkan.
Puasa mempurifikasi diri kita, menjernih-sucikan manusia dari
syahwat dunia, menjadi sosok hamba yang membawa rahmat bagi seluruh alam
dengan cahaya iman dan takwa. Derajat takwa yang sejati akan tampak dalam
setiap desah nafas dan lelaku langkah kehidupan seseorang. Tidak sekadar
ketika ia beribadah, tapi juga ketika seseorang bekerja dan beraktivitas
keseharian. Ketakwaan akan memandunya untuk berlaku sesuai sistem nilai agama
yang dianutnya, termasuk dalam menjalani reriuh kehidupan berbangsa dan
bernegara.
Puasa di Tengah Pesta
Puasa pada 1435 H ini, bagi bangsa Indonesia, sesungguhnya
adalah puasa yang sangat istimewa karena ditunaikan saat bangsa kita sedang
berpesta demokrasi untuk memilih calon RI 1. Di pundak putra terbaik bangsa
inilah, Indonesia lima tahun ke depan diamanahkan. Meskipun konon adalah
sebuah pesta, pilpres yang menyandingkan dua pasang calon ini laiknya
”kurusetra” yang tidak hanya melibatkan elite partai dan tim sukses pendukung
capres.
Simpatisan dan masyarakat luas pun ikut terimbas oleh tingginya
tensi demokrasi ini sejak masa kampanye dimulai. Meski akhirnya tahapan
pemungutan suara telah terlaksana dengan aman dan damai, ternyata ”kurusetra
” politik ini belum berakhir. Situasinya sangat tidak sehat karena memaksa
alam pikir masyarakat kita untuk mengalami apa yang disebut Leon Festinger
sebagai disonansi kognitif. Ruang batin publik pun seakan terganggu karena
informasi yang tidak sinkron, simpang siur, dan centang-perenangnya.
Celakanya, media massa, baik cetak maupun elektronik hingga
media sosial, pun turut memanaskan situasi ini. Kondisi ini, prognosisnya
masih akan berlangsung setidaknya hingga KPU menetapkan pemenang Pilpres
2014. Jika masih ada pihak yang merasa belum puas karena memandang ada
ketidakadilan dan kecurangan, sengketa pemilu ini meski berakhir di
persidangan Mahkamah Konstitusi. Artinya bahwa situasi panas ini mungkin
belum akan berakhir.
Massa pendukung yang telah terpapar opini bahwa capres mereka
adalah korban (victim) dari
kecurangan pemilu yang masif dan sistematis sehingga harus kalah dalam pemilu
tentu tidak begitu saja menerima kekalahan di ujung laga. Fanatisme buta dan
ikrar berani mati membela capres pujaan tentu bisa menjadi benih-benih
kerusuhan. Hanya butuh tersulut dengan provokasi ringan untuk bisa meletup
membesar.
Kita tentu sama sekali tidak berharap situasi ini menyandung
demokrasi kita. Situasi ini justru ujian bagi kedewasaan dan kesantunan
masyarakat Indonesia dalam berpolitik dan berdemokrasi.
Oase Ramadan
Adalah anugerah teramat besar ketika melalui tangan KPU, Allah
menakdirkan Pemilu 2014 ini terjadi pada Ramadan ketika sebagian besar rakyat
Indonesia tengah menunaikan ibadah puasa. Ramadan sungguh selaksa oase di
tengah panasnya sahara perpolitikan di republik ini. Tensi dan dinamika
psikologi sosial yang cenderung meninggi semoga kembali bisa turun tersebab
mata air Ramadan yang menyejukkan. Betapa tidak? Karena sesungguhnya puasa (ash-shiyaam) bisa dipahami dengan
terminologi kunci al-imsaak.
Secara bahasa, ia berarti menahan diri dari melakukan suatu
perbuatan seperti menahan tidur, menahan berbicara, menahan makan, dan
sebagainya. Sedangkan secara syar’i,
shaum bermakna menahan diri dari sesuatu yang membatalkan satu hari
lamanya, mulai dari terbit fajar sampai terbenam matahari, dengan niat dan
syarat tertentu. Tentu saja kita tidak ingin puasa kita terjerembab pada
puasa yang Rasulullah kisahkan bahwa betapa banyak orang yang berpuasa, namun
tidak beroleh hikmah pahala, kecuali lapar dan dahaga belaka.
Apa pasal? Jikalau sekadar menahan lapar dan dahaga, barangkali
itu soal biasa. Namun, menahan dan mengontrol diri dari melakukan perbuatan
tercela tentu bukan soal yang sederhana. Meminjam Al-Ghazali, sekadar
berpuasa dalam level awam (shaumul‘am),
sekadar mengendalikan pancaindera dan organ tubuh dari perbuatan yang
sia-sia, apalagi perbuatan dosa, terkadang pun kita belum mampu. Tapi, justru
inilah yang sedang dilatihkan Tuhan melalui laku priyatin dalam super-training bernama puasa.
Dalam konteks pilpres, semua pihak yang sama-sama mendamba
kemenangan semestinya belajar menahan diri untuk tidak terjerumus dalam
perbuatan bodoh yang mencederai demokrasi. Dimulai dari setiap diri, baik itu
massa pendukung, tim sukses, maupun kandidat yang tengah berlaga. Tanggung
jawab terbesar tentu akan berada di pundak para kandidat capres dan cawapres
karena sejatinya mereka figur yang suara dan titahnya paling didengar,
diikuti para pendukungnya. Ibarat salat, para jamaah dan makmum hanya akan sami’na waatho’na (mendengar dan taat)
kepada imam sahaja.
Sangat indah apabila putra terbaik bangsa tersebut memberikan
pernyataan yang sejuk dan meneduhkan sebagai panduan bijak para pendukungnya.
Bukan sebaliknya, memberikan pernyataan provokatif yang membakar para
pendukung untuk memberlakukan hukum perang, berbuat onar, rusuh, serta
membela mereka mati-matian untuk beroleh tahta dan kuasa. Sangat bijak
apabila para kandidat memberi teladan positif kepada pendukungnya.
Menerima dengan legawa dan besar hati, apa pun kehendak rakyat
yang tertuang dalam real count KPU
sebagai lembaga berwenang. Seandainya terjadi sengketa, izinkan instrumen
hukum bernama MK yang bekerja menjadi pengadil yang seadil-adilnya. Kawal, bantu,
dan doakan KPU dan MK jujur mengemban amanah konstitusi ini. Tentu para
kandidat capres dan cawapres adalah negarawan sejati yang tidak berkehendak
melihat sesama anak bangsa bertikai dan berseteru membela mereka.
Sesungguhnya kita sesama anak bangsa yang berharap Indonesia
menjadi lebih baik meski dengan ijtihad
politik capres pilihan yang barangkali berbeda. Kita semua adalah saudara
yang dinaungi merah putih Indonesia yang sama, bukan musuh yang harus saling
mengalahkan dan menghancurkan. Semestinya kita terjaga bahwa seteru sejati
kita adalah sama, imperialisme modern yang berkehendak menjajah dan menguasai
kekayaan alam Indonesia.
Bukankah Indonesia adalah negeri teramat kaya yang diincar
imperialis manapun dengan cara apa pun dan bagaimana pun. Kita patut waspada
bahwa musuh bersama (common enemy)
inilah yang sesungguhnya bermaksud melemahkan Indonesia, menebar ”jebakan
batman”, melakukan intervensi, mengadudomba, dan memecah belah kita. Saatnya
kita terjaga, bahu-membahu, dan membisik bangun kebersamaan untuk menjaga
amanah besar bernama Indonesia raya tercinta.
Puasa ini semoga men-tarbiyah
(mendidik) kita untuk lebih bertakwa sehingga lebih bijaksana menjaga negeri
ini kini, esok, dan nanti. Izinkan puasa mengajari kita lebih bijaksana
menahan diri, mempurifikasi diri kita dari noda berbangsa, meliberasi kita
dari amarah, nafsu, dan keserakahan.
Siapa pun yang menang, semoga bisa merangkul semua elemen
bangsa, tetap rendah hati, dan mampu menahan diri untuk tidak ‘umuk’ (omong besar). Sementara yang
kalah, semoga mampu bersabar dan berbesar hati, menahan diri untuk tidak
ngamuk, berbuat onar, maupun rusuh.
Sambutlah hasil pemilu dengan sukacita, laiknya menyambut hari
raya Lebaran, suka cita kemenangan dengan saling memaafkan, bukan ketakutan,
hingga harus mengurung diri di rumah. Siapa pun presiden yang menang sungguh
adalah kemenangan bersama seluruh rakyat Indonesia. Adalah tugas kita bersama
untuk senantiasa mendukung dan "menyengkuyung”
agar bisa menjaga amanah menyejahterakan Indonesia hingga menjadi negeri yang
hebat bermartabat. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar