Kemunduran
Politik Legislasi
Halili ;
Pegiat Constitutional
Democracy Forum-Setara Institute,
Koordinator
LinK-DeHAM Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Yogyakarta (UNY)
|
KOMPAS,
18 Juli 2014
DI tengah
hiruk-pikuk pemilihan presiden, DPR ”diam-diam” mengubah Undang-Undang MPR,
DPR, DPD, dan DPRD yang biasa disebut dengan UU MD3. Dalam proses yang senyap
dari partisipasi dan diskursus publik, RUU MD3 telah disetujui oleh anggota
DPR dari enam fraksi: Partai Demokrat, Partai Golkar, PKS, PAN, Partai
Gerindra, dan PPP. Sementara fraksi tiga partai, yaitu PDI-P, PKB, dan Partai
Hanura, memilih walk out dari ruang sidang (Kompas, 9/7).
Banyak
substansi perubahan yang urgen dipersoalkan, antara lain perluasan kewenangan
kelembagaan DPR, penguatan imunitas DPR dari ”jangkauan” pemberantasan
korupsi oleh KPK, serta penyempitan skala akuntabilitas dan transparansi
anggota DPR. Tulisan pendek ini akan berfokus pada salah satu isu pokok yang
lain, yaitu pengisian jabatan pimpinan DPR.
Menurut UU No
27/2009 tentang MD3, pengisian jabatan pimpinan DPR, sebagai salah satu alat
kelengkapan DPR, dilaksanakan secara proporsional, dengan basis rujukan hasil
pemilu legislatif.
Dalam Pasal 82
Ayat (1) dinyatakan bahwa pimpinan DPR terdiri atas 1 (satu) ketua dan 4
(empat) wakil ketua yang berasal dari partai politik berdasarkan urutan
perolehan kursi terbanyak di DPR.
Dalam dua ayat
selanjutnya ditegaskan, ketua DPR ialah anggota DPR yang berasal dari partai
politik yang memperoleh kursi terbanyak pertama di DPR, sementara empat wakil
berasal dari partai politik yang memperoleh kursi terbanyak kedua, ketiga,
keempat, dan kelima.
Dalam
perubahan UU MD3 yang sudah disetujui DPR periode 2009-2014 pada 8 Juli 2014
lalu, mekanisme pengisian pimpinan DPR secara proporsional tersebut diubah
dengan pemilihan secara terbuka oleh seluruh anggota DPR. Dengan demikian,
partai pemenang pemilu—dalam Pemilu 2014 adalah PDI-P—belum tentu menjadi
ketua DPR.
Intensi politik
Pengisian
pimpinan DPR dengan model apa pun, baik proporsional maupun pemilihan,
sesungguhnya sama-sama mendapat legitimasi tradisional dalam praktik berbagai
negara. Model pengisian pimpinan DPR secara proporsional merujuk pada model
Amerika Serikat, sedangkan model pemilihan biasanya merujuk pada tradisi
Inggris.
Apa intensi
DPR di balik perubahan model proporsional ke pemilihan pimpinan DPR?
Sepanjang yang mengemuka di publik melalui situs resmi DPR (7/6),
argumentasinya adalah demokrasi. Mengingat demokrasi kita memberikan hak
dipilih dan memilih, anggota DPR pun berhak dipilih atau memilih pimpinannya.
Model proporsional pun dianggap tidak demokratis.
Namun, melihat
model proporsional dalam UU MD3 diadopsi oleh DPR periode yang sama, kita perlu
mengkritisi apa sesungguhnya intensi politik di balik shifting yang serba
tergopoh-gopoh itu.
Apalagi, jika
dilihat dari inkonsistensi di antara sikap politik masing-masing fraksi dalam
pembahasan mengenai mekanisme pengisian pimpinan DPR dalam UU MD3 tahun 2009
dengan perubahan yang baru lalu. Demokrat dan Golkar pada 2009 termasuk yang
mendorong model proporsional, tetapi saat ini berubah angin menyetujui model
pemilihan.
Ada beberapa
petunjuk terkait intensi politik DPR. Pertama, enam partai pendukung model
pemilihan merupakan pengusung resmi pasangan capres-cawapres Prabowo
Subianto-Hatta Rajasa, sedangkan kubu yang menolak perubahan model pengisian
jabatan pimpinan DPR adalah pendukung Joko Widodo-Jusuf Kalla. Dengan
demikian, perubahan ini merupakan bagian tak terpisahkan dari kontestasi
Pilpres 2014.
Kedua,
momentum sidang paripurna tampak ”dipaksakan” saat seluruh elemen bangsa
mencurahkan fokus pada Pilpres 2014. Maka, perubahan model pengisian pimpinan
DPR merupakan bagian dari show of force kubu partai pendukung Prabowo-Hatta.
Targetnya,
pertama, memberikan tekanan psikologis bagi ”Koalisi Jokowi-JK” dan publik.
Kedua, mencegah kubu Jokowi-JK, khususnya PDI-P, agar tidak mengambil semua
simpul utama kekuasaan politik. Ketiga, jika Jokowi-JK kelak diumumkan KPU
sebagai pemenang pilpres, model pemilihan akan menjadi jalan bagi ”Koalisi
Indonesia Raya” untuk menjadi oposan pemerintahan Jokowi-JK.
Dalam konteks
model pengisian jabatan pimpinan DPR, proses legislasi di balik perubahan UU
MD3 sejatinya tidak ada hubungannya dengan penguatan institusional serta
peningkatan kualitas kinerja pimpinan dan anggota DPR.
Perubahan
tersebut lebih merefleksikan ambisi besar dan haus kekuasaan partai-partai
politik daripada transformasi legislasi untuk kepentingan bangsa dan negara.
Kemunduran
Jika dicermati
secara komprehensif, perubahan itu secara substansial bermasalah.
Pertama,
deinstitusionalisasi model pengisian pimpinan DPR. Gonta-ganti mekanisme
pengisian pimpinan—apalagi oleh anggota DPR dalam periode yang sama—tidak
akan mendorong pada pemapanan eksperimentasi dan evaluasi efektivitas model
tertentu.
Kedua,
pelemahan presidensialisme. Penyediaan jalan menuju oposisi parlementer akan
semakin memelihara kekacauan sistem presidensial dan keriuhan relasi pemerintah-DPR
seperti yang kita saksikan dalam 15 tahun terakhir.
Ketiga,
pertunjukan vulgar rendahnya fatsun politik wakil rakyat yang dicerminkan
dengan plintat-plintut-nya sikap
para anggota DPR dan pekatnya orientasi akan kekuasaan.
Jika aspek
perubahan model pengisian pimpinan DPR ini disandingkan dengan aspek-aspek
lain dalam perubahan UU MD3, seperti perluasan kewenangan yang tidak
proporsional, pelemahan mekanisme akuntabilitas dan transparansi anggota
Dewan, serta penguatan imunitas dari due
process of law pemberantasan korupsi, maka perubahan UU MD3 adalah
kemunduran politik legislasi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar