Skenario
di Balik Jatuhnya MH17
Dody Bayu Prasetyo ;
Wartawan Jawa Pos
|
JAWA
POS, 23 Juli 2014
PERISTIWA jatuhnya pesawat Malaysia Airlines MH17 dengan rute
penerbangan Amsterdam–Kuala Lumpur di daerah konflik pada 17 Juli 2014
membuka kotak Pandora. Jatuhnya pesawat yang diyakini disebabkan tembakan
roket jenis surface to air missile (SAM) tersebut semakin mempertegas arah
konflik tiga pihak yang tengah bersengketa di sana.
Meski belum ada yang bisa memastikan siapa dalang penembakan
roket ke tersebut, setidaknya peristiwa yang disebut Presiden Amerika Serikat
(AS) Barack Obama sebagai tragedi mengerikan itu hampir dipastikan
memperpanjang usia konflik di negara bekas wilayah Uni Soviet tersebut.
Saling tuding tiga pihak yang bersengketa, Rusia, Ukrania, dan separatis
pro-Rusia, plus AS tentang siapa yang mendalangi penembakan itu merupakan
salah satu tandanya.
Sejak lengsernya Presiden Ukraina Viktor Yanukovych yang condong
kepada Rusia pada Februari lalu, situasi keamanan di Ukraina sudah mengarah
pada perang saudara. Kebijakan presiden terguling Viktor Yanukovych yang
memerintahkan untuk menarik negaranya dari Uni Eropa dan mempererat hubungan
bilateral dengan Rusia mendapat protes dari warganya.
Ketika Presiden Petro Poroshenko naik takhta, dia langsung
mempererat hubungan Ukraina ke Uni Eropa dan tidak menoleransi pendukung
kebijakan presiden terguling Viktor yang ingin memisahkan diri dari Uni
Eropa. Namun, di bagian lain, kelompok pendukung kebijakan mantan Presiden
Viktor memilih untuk bertahan sebagai pemberontak di wilayah perbatasan
Ukraina–Rusia dan berusaha mengambil alih Kiev dari tangan pemerintahan yang
sah.
Hampir bersamaan, Federasi Rusia menurunkan tentaranya hingga
menyeberang masuk ke wilayah Ukraina di Semenanjung Kiev dengan dalih
melindungi masyarakat yang mayoritas asal Rusia dan warga Ukraina yang
berbahasa Rusia dari tekanan pemerintahan Presiden Petro. Korban dari tentara
dua belah pihak serta sipil pun berjatuhan.
Referendum yang dituntut penduduk di Semenanjung Crimea pada 16
Maret 2014 mempertegas posisi semenanjung itu di mata internasional. Hasil
referendum penduduk Semenanjung Crimea yang diumumkan sehari setelahnya
menyatakan, penggulingan terhadap Presiden Viktor Yanukovych merupakan sebuah
upaya kudeta. Referendum itu juga menyatakan bahwa Semenanjung Crimea
merupakan bagian dari Federasi Rusia. Pada hari yang sama, Federasi Rusia
menyatakan kesediaannya untuk menerima Semenanjung Crimea sebagai bagian dari
wilayahnya.
Ukrania dan Barat menganggap bahwa hasil referendum itu tidak
sah karena hanya diikuti penduduk di wilayah tersebut. Sementara itu,
konstitusi Ukraina menyatakan bahwa pemisahan sebuah wilayah harus melalui
referendum yang diikuti seluruh penduduk Ukraina, termasuk yang tidak berada
di wilayah tersebut.
Ukraina dengan dukungan Barat menerjunkan pasukannya ke wilayah
Semenanjung Crimea untuk melegitimasi kembali pengaruh Ukraina di sana.
Federasi Rusia yang menganggap bahwa pengerahan pasukan tersebut sebagai
sebuah agresi ke wilayahnya yang baru bergabung langsung bereaksi cepat
dengan melakukan tindakan militer.
Di sisi lain, pemberontak yang pro-Rusia tetap bergerilya di
bagian selatan hingga timur Ukraina untuk menggulingkan pemerintahan yang
berkuasa. Ketegangan tiga pihak yang terjadi secara bersamaan itu
mengakibatkan upaya resolusi perdamaian di sana deadlock. Berbagai upaya
perdamaian di meja PBB gagal. Masing-masing pihak memilih untuk mencari jalan
keluar sendiri-sendiri.
Penembakan terhadap MH17 hingga hancur berkeping-keping di
wilayah Ukraina mengindikasikan adanya niat salah satu pihak yang bersengketa
untuk menjaga agar konflik di sana tetap membara. Sekali lagi, seperti yang
sudah diutarakan di muka tulisan ini, hingga saat ini belum ada pihak yang
menyatakan bertanggung jawab atas jatuhnya pesawat yang mengangkut 295
penumpang, termasuk awaknya tersebut. Namun, masing-masing pihak punya alasan
kuat untuk menembak jatuh MH17.
Ukraina, yang tengah menghadapi dua lawan sekaligus dari
Federasi Rusia dan pemberontak separatis pro-Rusia, punya keuntungan ganda
atas jatuhnya pesawat itu. Negara bekas Uni Soviet tersebut akan terus
menuding Rusia terlibat dalam jatuhnya pesawat tersebut dengan dua skenario.
Skenario pertama, menuding Rusia mampu menembak jatuh pesawat itu dengan
kekuatan pertahanan udara (hanud) yang dimilikinya.
Skenario kedua, meski tidak menembak langsung, Rusia telah
memberikan dukungan persenjataan modern, termasuk rudal SA11, ke pihak
pemberontak Ukraina sehingga mereka mampu menembak pesawat di ketinggian 10
ribu kilometer.
Dua skenario tersebut diciptakan Ukraina untuk menggiring opini
masyarakat internasional agar mengecam Rusia sekaligus pemberontak yang
pro-Rusia atas jatuhnya pesawat jet nahas itu. Apabila dua skenario tersebut
sukses, Ukraina punya posisi tawar (bargaining
position) yang lebih tinggi jika ingin menuntut gencatan senjata di
seluruh wilayah Ukraina yang diduduki pemberontak serta terhadap Rusia di
Semenanjung Crimea.
Tidak hanya Ukraina, Federasi Rusia juga melihat peluang di
balik jatuhnya MH17 di wilayah Ukraina yang dikuasai pemberontak pro-Rusia.
Presiden Rusia Vladimir Putin juga telah berulang-ulang menuding Ukraina
telah menembak jatuh pesawat MH17 yang terbang di atas udara Ukraina. Dalam
tudingannya itu, Rusia mengaku bahwa fasilitas radar pertahanan telah
menangkap aktivitas rudal BUK-M1 Kupol milik Ukraina sesaat sebelum pesawat
Boeing 777 milik Malaysia Airlines jatuh.
Analisis sederhana tudingan Rusia terhadap Ukraina tersebut
menunjukkan bahwa mereka tengah menciptakan skenario politik internasional
yang bertujuan menyudutkan Ukraina di mata internasional sehingga memperkuat
pengaruhnya dalam kemerdekaan Semenanjung Crimea setelah referendum.
Kepemilikan terhadap BUK-M1 oleh militer Ukraina bisa jadi benar
jika mengingat Ukraina mendapat dukungan khusus dari Uni Eropa dan Amerika
Serikat untuk membangun pertahanan di negaranya. Selain itu, posisi geografis
Ukraina bisa menjadi negara penyangga (buffer
state) bagi Barat dari pengaruh Rusia.
Dengan adanya skenario besar dari Rusia dan Ukraina tersebut,
pemberontak Ukraina yang pro-Rusia tidak berarti hanya menjadi kambing hitam.
Sama halnya dengan skenario Rusia, pemberontak adalah pihak yang paling getol
menuduh Ukraina yang menembakkan roket ke badan pesawat MH17 hingga jatuh.
Peristiwa tersebut dapat menjadi titik balik perjuangannya selama ini yang
bisa memperkuat posisi pergerakannya di mata internasional. Apalagi ditambah
pertanyaan besar apakah pemberontak memiliki senjata yang mampu menjatuhkan
pesawat yang terbang di ketinggian 10 ribu meter.
Apa pun kemungkinan skenario tiga pihak yang bersengketa di
Ukraina, dunia tetap menunggu hasil investigasi pihak independen atas tragedi
yang menyesakkan hati seluruh keluarga penumpang MH17 tersebut. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar