Kamis, 24 Juli 2014

Skenario di Balik Jatuhnya MH17

                             Skenario di Balik Jatuhnya MH17

Dody Bayu Prasetyo  ;   Wartawan Jawa Pos
JAWA POS, 23 Juli 2014
                                                


PERISTIWA jatuhnya pesawat Malaysia Airlines MH17 dengan rute penerbangan Amsterdam–Kuala Lumpur di daerah konflik pada 17 Juli 2014 membuka kotak Pandora. Jatuhnya pesawat yang diyakini disebabkan tembakan roket jenis surface to air missile (SAM) tersebut semakin mempertegas arah konflik tiga pihak yang tengah bersengketa di sana.

Meski belum ada yang bisa memastikan siapa dalang penembakan roket ke tersebut, setidaknya peristiwa yang disebut Presiden Amerika Serikat (AS) Barack Obama sebagai tragedi mengerikan itu hampir dipastikan memperpanjang usia konflik di negara bekas wilayah Uni Soviet tersebut. Saling tuding tiga pihak yang bersengketa, Rusia, Ukrania, dan separatis pro-Rusia, plus AS tentang siapa yang mendalangi penembakan itu merupakan salah satu tandanya.

Sejak lengsernya Presiden Ukraina Viktor Yanukovych yang condong kepada Rusia pada Februari lalu, situasi keamanan di Ukraina sudah mengarah pada perang saudara. Kebijakan presiden terguling Viktor Yanukovych yang memerintahkan untuk menarik negaranya dari Uni Eropa dan mempererat hubungan bilateral dengan Rusia mendapat protes dari warganya.

Ketika Presiden Petro Poroshenko naik takhta, dia langsung mempererat hubungan Ukraina ke Uni Eropa dan tidak menoleransi pendukung kebijakan presiden terguling Viktor yang ingin memisahkan diri dari Uni Eropa. Namun, di bagian lain, kelompok pendukung kebijakan mantan Presiden Viktor memilih untuk bertahan sebagai pemberontak di wilayah perbatasan Ukraina–Rusia dan berusaha mengambil alih Kiev dari tangan pemerintahan yang sah.

Hampir bersamaan, Federasi Rusia menurunkan tentaranya hingga menyeberang masuk ke wilayah Ukraina di Semenanjung Kiev dengan dalih melindungi masyarakat yang mayoritas asal Rusia dan warga Ukraina yang berbahasa Rusia dari tekanan pemerintahan Presiden Petro. Korban dari tentara dua belah pihak serta sipil pun berjatuhan.

Referendum yang dituntut penduduk di Semenanjung Crimea pada 16 Maret 2014 mempertegas posisi semenanjung itu di mata internasional. Hasil referendum penduduk Semenanjung Crimea yang diumumkan sehari setelahnya menyatakan, penggulingan terhadap Presiden Viktor Yanukovych merupakan sebuah upaya kudeta. Referendum itu juga menyatakan bahwa Semenanjung Crimea merupakan bagian dari Federasi Rusia. Pada hari yang sama, Federasi Rusia menyatakan kesediaannya untuk menerima Semenanjung Crimea sebagai bagian dari wilayahnya.

Ukrania dan Barat menganggap bahwa hasil referendum itu tidak sah karena hanya diikuti penduduk di wilayah tersebut. Sementara itu, konstitusi Ukraina menyatakan bahwa pemisahan sebuah wilayah harus melalui referendum yang diikuti seluruh penduduk Ukraina, termasuk yang tidak berada di wilayah tersebut.

Ukraina dengan dukungan Barat menerjunkan pasukannya ke wilayah Semenanjung Crimea untuk melegitimasi kembali pengaruh Ukraina di sana. Federasi Rusia yang menganggap bahwa pengerahan pasukan tersebut sebagai sebuah agresi ke wilayahnya yang baru bergabung langsung bereaksi cepat dengan melakukan tindakan militer.

Di sisi lain, pemberontak yang pro-Rusia tetap bergerilya di bagian selatan hingga timur Ukraina untuk menggulingkan pemerintahan yang berkuasa. Ketegangan tiga pihak yang terjadi secara bersamaan itu mengakibatkan upaya resolusi perdamaian di sana deadlock. Berbagai upaya perdamaian di meja PBB gagal. Masing-masing pihak memilih untuk mencari jalan keluar sendiri-sendiri.

Penembakan terhadap MH17 hingga hancur berkeping-keping di wilayah Ukraina mengindikasikan adanya niat salah satu pihak yang bersengketa untuk menjaga agar konflik di sana tetap membara. Sekali lagi, seperti yang sudah diutarakan di muka tulisan ini, hingga saat ini belum ada pihak yang menyatakan bertanggung jawab atas jatuhnya pesawat yang mengangkut 295 penumpang, termasuk awaknya tersebut. Namun, masing-masing pihak punya alasan kuat untuk menembak jatuh MH17.

Ukraina, yang tengah menghadapi dua lawan sekaligus dari Federasi Rusia dan pemberontak separatis pro-Rusia, punya keuntungan ganda atas jatuhnya pesawat itu. Negara bekas Uni Soviet tersebut akan terus menuding Rusia terlibat dalam jatuhnya pesawat tersebut dengan dua skenario. Skenario pertama, menuding Rusia mampu menembak jatuh pesawat itu dengan kekuatan pertahanan udara (hanud) yang dimilikinya.

Skenario kedua, meski tidak menembak langsung, Rusia telah memberikan dukungan persenjataan modern, termasuk rudal SA11, ke pihak pemberontak Ukraina sehingga mereka mampu menembak pesawat di ketinggian 10 ribu kilometer.

Dua skenario tersebut diciptakan Ukraina untuk menggiring opini masyarakat internasional agar mengecam Rusia sekaligus pemberontak yang pro-Rusia atas jatuhnya pesawat jet nahas itu. Apabila dua skenario tersebut sukses, Ukraina punya posisi tawar (bargaining position) yang lebih tinggi jika ingin menuntut gencatan senjata di seluruh wilayah Ukraina yang diduduki pemberontak serta terhadap Rusia di Semenanjung Crimea.

Tidak hanya Ukraina, Federasi Rusia juga melihat peluang di balik jatuhnya MH17 di wilayah Ukraina yang dikuasai pemberontak pro-Rusia. Presiden Rusia Vladimir Putin juga telah berulang-ulang menuding Ukraina telah menembak jatuh pesawat MH17 yang terbang di atas udara Ukraina. Dalam tudingannya itu, Rusia mengaku bahwa fasilitas radar pertahanan telah menangkap aktivitas rudal BUK-M1 Kupol milik Ukraina sesaat sebelum pesawat Boeing 777 milik Malaysia Airlines jatuh.

Analisis sederhana tudingan Rusia terhadap Ukraina tersebut menunjukkan bahwa mereka tengah menciptakan skenario politik internasional yang bertujuan menyudutkan Ukraina di mata internasional sehingga memperkuat pengaruhnya dalam kemerdekaan Semenanjung Crimea setelah referendum.

Kepemilikan terhadap BUK-M1 oleh militer Ukraina bisa jadi benar jika mengingat Ukraina mendapat dukungan khusus dari Uni Eropa dan Amerika Serikat untuk membangun pertahanan di negaranya. Selain itu, posisi geografis Ukraina bisa menjadi negara penyangga (buffer state) bagi Barat dari pengaruh Rusia.

Dengan adanya skenario besar dari Rusia dan Ukraina tersebut, pemberontak Ukraina yang pro-Rusia tidak berarti hanya menjadi kambing hitam. Sama halnya dengan skenario Rusia, pemberontak adalah pihak yang paling getol menuduh Ukraina yang menembakkan roket ke badan pesawat MH17 hingga jatuh. Peristiwa tersebut dapat menjadi titik balik perjuangannya selama ini yang bisa memperkuat posisi pergerakannya di mata internasional. Apalagi ditambah pertanyaan besar apakah pemberontak memiliki senjata yang mampu menjatuhkan pesawat yang terbang di ketinggian 10 ribu meter.

Apa pun kemungkinan skenario tiga pihak yang bersengketa di Ukraina, dunia tetap menunggu hasil investigasi pihak independen atas tragedi yang menyesakkan hati seluruh keluarga penumpang MH17 tersebut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar