Keinginan
Luhur Politisi
Ichsanuddin Noorsy ;
Pakar Ekonomi Kebijakan
Publik
|
MEDIA
INDONESIA, 17 Juli 2014
“INI
Indonesia ya,“ kata saya merespons diskusi terbatas di
grup BBM Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) tentang kampanye pilpres
yang sudah `membelah' masyarakat
Indonesia. Sebenarnya itu sikap trenyuh mendalam menyaksikan keterbelahan
anak bangsa Indonesia menyusul kampanye calon presiden dan calon wakil
presiden PS+HR (1) dan calon presiden dan calon wakil presiden JW+JK (2).
Saya teringat di awal reformasi. Begitu derasnya desakan meliberalkan segala
dimensi kehidupan berbangsa dan bernegara sebagai wujud keinginan berubah
dari era sentralistis dan otoriter. Saking kuatnya desakan itu, amendemen UUD
1945 yang dilakukan dengan empat kali perubahan pun tanpa melakukan kajian
akademis mendalam.
Elite menghendaki perubahan dan rakyat luas
tidak mengetahui dan memahami ke mana arah perubahan itu. Pada 2001 saya
menuliskan di Media Indonesia bahwa hasil empat kali amendemen itu ialah
rancunya batang tubuh dan lahirnya tujuh masalah inkonsistensi UUD 2001.
Salah satu masalah itu ialah apa yang sedang dihadapi bangsa ini sekarang:
perebutan kekuasaan di elite politik yang melahirkan potensi konflik
horizontal di berbagai lapisan masyarakat.
Adakah hal seperti ini yang dikehendaki
para pejuang kemerdekaan Indonesia dan para pendiri Republik? Tanpa harus
menoleh sejarah terlalu jauh dan mendalam, kita mendapat jawaban, “Tidak.“ Para pendiri Republik dan UUD
1945 mengamanatkan bahwa kemerdekaan bangsa itu berkat rahmat Allah Yang
Mahakuasa dan didorong oleh keinginan luhur agar kehidupan berbangsa bebas
tertindas (dengan segala bentuknya). Tentu termasuk tertindas dalam alam
pemikiran. Begitu kurang lebih bunyi alinea ketiga Pembukaan UUD 1945.
Sejak reformasi, saat parpol diamanatkan
dalam amendemen keempat UUD 2001 sebagai satu-satunya kendaraan untuk
partisipasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, berbagai kalangan
mendirikan parpol. Dalam beberapa aspek, hal itu positif karena mungkin saja
agregasi aspirasi masyarakat tidak tertampung pada parpol yang ada. Dalam
perkembangannya, disadari juga bahwa kebebasan mendirikan parpol melahirkan
dampak negatif. Misalnya hanya dijadikan ajang mendulang uang dan membuka
akses kekuasaan. Sementara itu, akses kekuasaan pun digunakan untuk meraih
kekayaan bagi petinggi parpol.
Dampak negatif lainnya masyarakat digiring
menurut kepentingan parpol, padahal kepentingan tertinggi masyarakat ialah
tegaknya dan terlaksananya konstitusi. Untuk menggiring keputusan masyarakat,
digunakan industri survei guna memengaruhi opini publik.
Karena prinsip no free lunch dalam rujukan nilai kebebasan individual, untuk
Indonesia saya menyebutnya sebagai demokrasi korporasi sejak Pemilu 2004,
yakni suatu demokrasi berdasarkan transaksi materi yang pembiayaannya
bersumber dari korporasi. Inilah politik uang. Joe Klein, tangan kanan raja
media di dunia Rupert Murdoch, justru mengajukan pertanyaan, tidakkah dengan
kondisi yang demikian sebenarnya demokrasi merupakan basa-basi aspirasi
karena aspirasi yang dilaksanakan sesungguhnya aspirasi korporasi? Secara
tidak lang sung, gugatan Joe Klein dijawab Joseph E Stiglitz sebagai itulah
harga sebuah ketimpangan yang merupakan wujud kegagalan sistem. Juga
merupakan harga sebuah peradaban yang menempatkan masyarakat banyak hanya
sebagai mesin produksi dan alas kekuasaan bagi bekerjanya mesin kepentingan
kelompok elite penguasa.
Situasi seperti ini pernah dibahas demikian
mendalam dalam sidang-sidang BPU-PKI 29 Mei-1 Juni 1945. Saat memutuskan
Indonesia bukanlah kerajaan, melainkan republik, hampir semua peserta sidang
menyetujui bahwa Indonesia tidak menganut demokrasi liberal, fasisme,
komunisme, etatisme, dan sosialisme TimurBarat. Penolakan berbagai aliran
pemikiran politik yang berkembang di dunia itulah yang melahirkan Pasal 2
ayat (1) UUD 1945: MPR terdiri atas anggota-anggota DPR, ditam bah
utusan-utusan dari daerahdaerah dan golongan-golongan. Penjelasannya agar
majelis benar-benar merupakan penjelmaan masyarakat.
Saya memahami hal itu sebagai diakuinya
sistem pemilu bersamaan dengan sistem elektorat (pemilihan wakil-wakil secara
berjenjang pada daerah dan komunitas atau golongan). Hibrida sistem pemilihan
itu kemudian dilaksanakan majelis untuk memilih pemimpin bangsa dan negara.
Jika dulu diasumsikan masyarakat Indonesia sudah terbiasa memilih langsung
kepala desanya, tidaklah berlebihan jika masyarakat pun memilih langsung
presidennya.
Sekarang terbukti pemilihan langsung
presiden itu membuka peluang pecah belahnya bangsa dan negara. Lalu, apakah
ini keinginan luhur para politikus dan kaum yang menyebut diri reformis itu?
Jelas dan pasti kita menolak sistem sentralistis dan otoriter, saya pun tidak
ingin kembali ke era itu. Namun, adalah salah jika power games melalui pemilu
telah mengubur atau paling tidak menyingkirkan keinginan luhur kehidupan
berbangsa dan bernegara.
Adakah
cara memperbaiki?
Beberapa saat sebelum kampanye pilpres,
saya diundang diskusi di Lemhannas, Kepolisian RI, dan beberapa instansi atau
lembaga lainnya. Dalam diskusi itu saya menyebutkan kekuasaan politik yang
membuahkan regulasi berbagai bidang kehidupan berbangsa dan bernegara telah
melahirkan struktur-struktur sosial politik ekonomi seperti yang kita hadapi
sekarang sebagaimana terbukti pada angka-angka (ketimpangan, kemiskinan,
pengangguran, kepemilikan sumber daya, dan produksi) dan kata-kata (saling
jegal, saling menihilkan, transaksional material, sanjungan pada kemasan,
renggangnya ikatan sosial, keringnya hubungan kebersamaan, dan saling
menyalahkan serta saling membela diri dan golongan).
Struktur itu lebih lanjut membuahkan kultur
masyarakat bersamaan dengan dinamika warga dalam upayanya memenuhi kebutuhan
hidupnya. Lihatlah jalan raya, di sana cerminan kekuasaan politik, regulasi,
struktur hukum-sosial-politik-ekonomi, kultur masyarakat dan dinamika
kegiatan warga masyarakat berbasis yang kuat yang menang dan the winner takes all. Dalam sebuah
talk show di Metro TV merespons visi-misi-program para capres, saya
menyebutnya sebagai tegaknya sistem hukum-sosialpolitik-ekonomi yang liberal.
Di stasiun TV swasta lainnya, saya mengatakan hal itu sebagai produk
pembangunan karakter bangsa yang dijanjikan selama kampanye 2004 dan 2009.
Sebab sistem yang tegak sudah seperti yang
ada, harapannya tinggal pada manusianya, yakni apakah mereka yang menjadi
pemimpin akan melanjutkan sistem itu atau berupaya kembali ke jalan yang
benar menurut konstitusi UUD 1945. Pertanyaan itu diajukan karena kedua
capres sama-sama memiliki visi-misi-program yang ingin mengangkat
keterpurukan bangsa disebabkan jebakan neoliberal yang diterapkan. Para
capres menyadari pentingnya menegakkan ketahanan dan kedaulatan ekonomi.
JW+JK menggunakan istilah Trisakti sementara PS+HR menggunakan istilah
perekonomian yang berdaulatan dan kerakyatan.
Justru dengan visi-misi-program itu,
didukung dengan situasi kondisi yang berkembang, jalan bijaksana dan
meneduhkan bagi semua kalangan ialah menunjukkan keinginan luhur kehidupan
berbangsa, menunjukkan kenegarawanan sebagaimana saya sampaikan di Metro TV pada 10 Juli 2014 dan TV One pada 8 Juli 2014.
Ini bisa dilakukan kalau para capres, para
timses, dan tim pemikir mereka bersama media massa mereka mau bersikap bahwa
keutuhan bangsa yang lebih utama dan politik pecah belah harus disingkirkan.
Jika tidak, lima tahun pemerintahan ke depan akan penuh dengan hambatan,
tantangan, dan gangguan baik internal maupun eksternal. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar