Lebaran
dan Kemajemukan
Asep Salahudin ; Peneliti
Lakpesdam PWNU Jawa Barat;
Dekan
Fakultas Syariah IAILM Pesantren Suryalaya, Tasikmalaya
|
KOMPAS,
26 Juli 2014
IDUL
Fitri secara semantik bermakna kembali kepada kesucian. Id artinya ’kembali’
dan fitri artinya ’suci’. Ramadan diimajikan sebagai modal rohaniah untuk
mengembalikan rute manusia pada jalan kesadaran fitrah.
Puasa
menginjeksikan sebuah keinsafan akan kelahiran manusia dari rahim Ramadhan
yang bebas dari khilaf dan salah. Di titik ini akal masyarakat Nusantara
dengan sangat kreatif menyinergikannya dengan konsep keagamaan yang diacukan
pada khazanah kearifan budaya lokal: Lebaran. Lebaran sebagai momen ”lubar”
(pembebasan/liberasi). Pembebasan dari segenap watak kebinatangan yang
disimbolkan selama berpuasa dengan hilangnya keterikatan penuh terhadap ihwal
pesona benda, terlepas dari keterpenjaraan hasrat tubuh, dan kemudian hanya
menyisakan Tuhan dan nilai-nilai kebaikan sebagai daulat utama.
Maka,
di hari raya Idul Fitri, dengan wajah cerah sambil mengulurkan tangan
bersalaman, disampaikanlah minal aidin
wal faizin. Ekspresi gelombang orang-orang yang kembali dan berbahagia.
Kampung halaman pun dikunjungi dalam ritus kolosal mudik Lebaran. Saudara
didatangi, bahkan pusara mereka yang telah lama meninggalkan alam fana
diziarahi sambil membawa air dan bunga. Mudik yang telah jadi rutin lengkap
dengan kemacetannya kian meneguhkan hasrat membangun kohesivitas sosial
dengan hikayat masa silam yang coba dirangkai kembali untuk jadi ”energi”
ketika harus balik lagi ke tempat urban.
Mungkin
benar apa yang dibilang Oktavio Paz, ”Manusia
tidak bisa berkelit dari riwayat silam yang menjadi asal usulnya. Untuk
menyusun kelak.” Seperti diwadahi dalam kata ”arus mudik” dan ”arus
balik”.
Mudik
ke ”kampung halaman” dan balik ke ”kota perantauan”. Kampung halaman tempat
kita lahir dan kota perantauan medan kita mempertaruhkan nasib. Mudik dan
balik hubungannya dalam budaya kita tidak dikotomik, tetapi dialektik. Jadi,
perubahan sosial yang dilakukan lewat gerak arkaik ”desa mengepung kota”
bukan hanya kehilangan akar, melainkan juga tidak mendapatkan tautan
kulturalnya. Politik desentralisasi seandainya diterapkan seperti tujuan
awalnya, ini menjadi jawaban komprehensif untuk mengerem laju penyerbuan
kampung ke kota.
Fitri dan persekutuan inklusif
Fitri
di sini tentu tidak hanya memiliki interaksi simbolik dengan pengalaman
keagamaan yang bersifat personal, tetapi juga dalam konteks kebangsaan
cakupan maknanya harus diperluas sebagai sebuah panggilan iman untuk
mengalami kemajemukan. Idul Fitri sebagai ikhtiar kembali hidup dalam
keragaman dengan lapang. Dalam semangat ”bersalaman”. Salam itu bertalian
dengan Islam yang secara generik bermakna kepasrahan kepada Yang Kudus
sebagai lokus otentisitas keagamaan.
Secara
sosiologis, Muhammad SAW mengajarkan, imperatif Islam itu diartikulasikan
dalam sikap kesediaan menebarkan damai kasih kepada sesama. ”Sebarkan damai di antara kalian.” ”Mereka
yang tidak menyampaikan kasih di bumi tidak akan meraih kasih sayang dari
langit.”
Sebagaimana
padanannya yang lebih inklusif, iman. Iman secara harfiah artinya percaya.
Dalam tafsir sosial berhubungan dengan kesungguhan membangun bumi manusia
yang dijangkarkan pada rasa aman yang mensyaratkan kesediaan mengemban sikap
amanah. Iman sebagai getaran penghayatan intim dengan Zat Yang Maha Memukau.
Kemudian, keterpukauan itu dipantulkan dalam wujud persekutuan inklusif,
relasi manusia yang tidak dibatasi oleh perbedaan etnik, bahasa, dan pilihan
agama formalnya.
Fitri
tidak hanya berkelindan dengan kondisi kebatinan palung sukma yang bersih,
tetapi juga sejauh mana ”kebersihan” itu dapat ditransformasikan dalam tata
kelola negara penuh adab, birokrasi yang tertib, tindakan politik yang
menjunjung tinggi akal budi, ekonomi yang mendistribusikan kesejahteraan, dan
hukum yang tegak lurus dengan rasa keadilan.
Pemimpin baru
Melalui
real count 22 Juli 2014, pasangan Joko Widodo-Jusuf Kalla ditetapkan secara
resmi sebagai pemenang Pemilu Presiden 2014 sehingga lengkap sudah Lebaran
kita. Di hari Lebaran kali ini tidak hanya pakaian, sarung, dan kopiah baru,
tetapi juga jauh lebih penting dari itu adalah kepemimpinan yang menawarkan
harapan baru. Dalam semangat kepemimpinan nasional itu, kita mengharapkan roh
Idul Fitri tecermin dalam ruang bernegara, dalam tindakan politik hariannya.
Bukan
sekadar ”pemimpin”, melainkan keduanya benar-benar tampil menjadi kepala
negara yang tak disibukkan dengan bersolek diri demi memburu pencitraan,
tetapi dipastikan bekerja penuh kesungguhan, bebas dari korupsi, dan upaya
memperkaya diri sendiri. Bukan sekadar menyusun kabinet semata demi
menyenangkan kawan koalisi, melainkan menempatkan rakyat sebagai subjek utama
seluruh kebijakan yang diambilnya.
Kita
tidak lagi mendengar cerita negara absen karena tersandera kepentingan partai
dan ormas tertentu, tetapi negara selalu hadir mendampingi kepentingan
khalayak dalam semangat keragaman. Negara tidak boleh memihak, kecuali hanya kepada
kebenaran dan keadilan.
Setelah
negara ”merantau” selama 32 tahun Orde Baru dan 16 tahun Reformasi dengan
rute membingungkan, sudah saatnya negara harus dikembalikan pada khitah
”kesuciannya” sehingga mampu mengantarkan warganya menemukan kesejahteraan
(Ibnu Taimiyyah), keutamaan (Al-Farabi), kebebasan berkehendak (Nietzsche),
kesetiaan memegang teguh etika (Kant), memasuki pengalaman religius Ibrahim
(Soren Kierkegaard), terbuka dalam perbedaan (Empu Tantular), sekaligus
menciptakan ruang demokrasi deliberatif untuk menciptakan medan musyawarah
yang mengedepankan nalar diskursif dalam maqom kesetaraan (Habermas).
Setelah
kegaduhan kampanye Pilpres 2014 yang membelah masyarakat dalam dua kelompok
berbeda, kebencian, fitnah, dan dusta yang dirayakan sepanjang pesta
demokrasi lima tahunan berlangsung, lewat Idul Fitri, saatnya semuanya
dipersatukan kembali dalam lembaran semangat kebersamaan. Cita-cita luhur
para pendiri bangsa sebagaimana termaktub dalam pembukaan UUD 1945 hanya bisa
digapai manakala satu sama lain saling bersinergi.
Melalui
Idul Fitri, kepemimpinan baru diharapkan mampu menghargai keragaman, bahkan
masuk dalam pengalaman kemajemukan. Kemajemukan tidak lagi dijadikan sebagai
ancaman, apalagi dibenturkan satu dengan lainnya dan negara hanya menjadi
penonton seperti banyak terjadi dalam masa pemerintahan Yudhoyono, tetapi
adalah modal sosial untuk menunjukkan bahwa kebesaran negeri ini dibangun
lewat uluran banyak tangan.
Justru
keterpilihan Jokowi-Jusuf Kalla karena massa punya preferensi bahwa keduanya
di samping menjanjikan ”revolusi
mental” yang menjadi kunci pembenahan sengkarut negeri kepulauan, juga
dapat memberikan jaminan hidup berbangsa yang toleran, berdaulat, sekaligus
dapat memasuki alam pikiran dan aspirasi segenap masyarakatnya. Dan, akhirnya
”Indonesia Hebat” bukan sekadar
jargon, tetapi menjadi bagian sejarah pengalaman keseharian. Selamat berlebaran. Mohon maaf lahir dan batin. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar