Perihal
Netralitas Media
Amalia Nurul Muthmainnah ;
Mahasiswa Ilmu Komunikasi
Universitas Airlangga
|
KOMPAS,
24 Juli 2014
LAGI-lagi
saya dibuat senyum-senyum sendiri oleh dahsyatnya efek pemilihan presiden
kali ini. Dua media konvensional, yang kredibilitasnya tak perlu
dipertanyakan, telah berani terang-terangan menunjukkan tendensinya. Ini
menarik. Bukan karena kandidat mana yang mereka dukung, melainkan bagaimana
media tak perlu lagi berpura-pura netral.
Sayangnya,
kebanyakan orang begitu mengecam keberpihakan ini. Padahal, sedari dulu,
entah ada pilpres entah tidak, media memang tidak pernah netral. Media pasti
berpihak dan punya pendirian masing-masing. Yang perlu dikhawatirkan bukan
soal suatu media netral atau tidak.
Namun,
alasan di balik keberpihakannya dan bagaimana keberpihakan itu disampaikan
lewat pemberitaan. Apakah untuk kepentingan instansi semata atau demi
memaksimalkan kebaikan bersama? Apakah prinsip dan kaidah jurnalistik tetap
dipatuhi atau justru dikebiri demi menggiring opini publik?
Imparsial, bukan netral
Media
bisa jadi independen, tetapi tidak mungkin netral. Begitu menuliskan kata
pertama dalam pemberitaannya, sang jurnalis telah campur tangan dengan berita
yang akan ia sajikan. Ada subyektivitas dan ideologi yang tertuang di setiap
penyampaian fakta. Belum lagi ketika berita itu sampai ke meja redaksi.
Subyektivitas dan ideologi media sebagai suatu instansi pun akan ikut
tercampur aduk. Kedua hal tersebut kemudian menjadikan berita media A akan
punya warna yang berbeda dengan media B. Apakah ini menjadikan media A atau
media B salah? Tentu tidak. Justru perbedaan warna ini yang membuat suatu
berita menarik dan menjadi dasar keputusan kita cenderung menyukai media A
atau media B.
Berita
tentu tidak akan pernah sementah dan sefaktual yang diinginkan. Meminjam
pengertian Allan (dalam Burton, 2011), berita adalah konstruksi ideologis
atas realitas. Sebuah berita sama sekali bukan seperti yang kerap kali
diklaim, yakni merepresentasikan realitas sebagaimana adanya. Justru, berita
akan berbicara atas nama ideologi dominan.
Secara
sederhana tak perlu jauh-jauh bicara soal keberpihakan media. Keberpihakan
juga dapat terjadi pada saya–sebagai mahasiswa, saat mengerjakan tugas
jurnalistik misalnya. Saat saya mengangkat tema penderitaan pedagang kaki
lima akibat penggusuran, artinya saya telah memihakkan diri pada pedagang.
Keberpihakan ini sah-sah saja apabila saya mempunyai data dan bukti bahwa
telah terjadi penyelewengan dalam proses penggusuran.
Namun,
akan menjadi salah ketika saya tidak meliput dua sisi dengan tidak
menyertakan pernyataan pelaku penggusuran. Juga akan salah ketika saya
melakukan keberpihakan akibat adanya kepentingan individual atau intervensi
orang lain. Analogi sederhana ini saya rasa juga terjadi pada pemberitaan
dengan skala industri media.
Dengan
demikian, bisa dikatakan, keberpihakan merupakan keniscayaan dalam
pemberitaan. Netralitas berita, dari segi konten, hanyalah sebuah utopia. Namun, netral sangat mungkin dilakukan dari
segi metode. Dalam hal ini, saya menyebutnya sebagai imparsial yang artinya
pemberitaan dilakukan secara fair dan menyeluruh. Bukan sekadar mengambil
bagian-bagian tertentu demi mendukung keberpihakannya. Keberpihakan harus
didasarkan pada kriteria obyektif dan faktual, bukan bias atau praduga
semata.
Howard
Zinn, seorang pengarang dan sejarawan, pernah berkata, ”You can’t be neutral on a moving train.” Dalam kasus ini,
pemberitaan diposisikan sebagai kereta bergerak dan kode etik jurnalistik
yang harus mengambil peran sebagai stasiunnya. Kepada apa atau siapa pun
suatu media berpihak, kode etik tetap harus jadi acuan utama dalam
pemberitaan.
Seperti
yang disebutkan pada Kode Etik Jurnalistik Persatuan Wartawan Indonesia Bab I
Pasal 3, wartawan Indonesia pantang menyiarkan karya jurnalistik yang
menyesatkan, memutarbalikkan fakta, bersifat fitnah, cabul, atau sensasional.
Bab II Pasal 5 menyatakan, wartawan Indonesia harus menyajikan berita secara
berimbang dan adil, mengutamakan kecermatan dari kecepatan, serta tak
mencampuradukkan fakta dan opini sendiri. Kedua pasal ini, beserta kelima
belas pasal lainnya, harus dipegang teguh para jurnalis dan media untuk terus
menjaga integritasnya.
Selain
kode etik, hal penting lain yang harus diperhatikan ialah meski memiliki
tendensi tertentu, media harus tetap memberikan ruang bagi khalayak
menentukan apa yang ingin mereka percayai dan ke mana akan berpihak lewat
data yang bisa dipertanggungjawabkan kebenarannya.
Keberpihakan
tak serta-merta menjadikan media dimaafkan menggiring publik dengan hajaran
informasi bertubi-tubi.
Toh,
seperti yang dikatakan Klapp (1986), information
overload justru menunjukkan informasi yang mengalami degradasi. Banyaknya
eskalasi opsi bukannya memperbaiki situasi, malah berdampak mendistraksi.
Akhir
kata, siapa pun pasangan kandidat yang akan
menang kali ini, mari sama-sama berharap agar yang kalah bukanlah
jurnalisme kita. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar