Kemewahan
Rhenald Kasali ;
Pendiri Rumah Perubahan
@Rhenald_Kasali
|
KORAN
SINDO, 24 Juli 2014
Sebentar
lagi warga DKI Jakarta yang tidak mudik atau yang kampung halamannya Jakarta
bakal menikmati ”kemewahan tahunan”.
Apa itu?
Jalan-jalan
raya yang bebas dari kemacetan. Langit biru jernih karena menurunnya tingkat
polusi udara. Kemewahan semacam itu tidak gratis. Ada harganya. Hitungan-hitungannya
bagaimana? Tapi bisakah kita menghitungnya dan bagaimana menikmati kemewahan
kalau tak punya waktu?
Polisi dan Biaya Sosial
Begini.
Setiap tahun biaya sosial akibat kemacetan di Jakarta terbilang tinggi.
Menurut perkiraan Infrastructure
Partnership & Knowledge Center, pada tahun 2013 saja nilainya Rp68
triliun. Di sini yang dimaksud dengan biaya sosial banyak ragamnya. Misalnya,
biaya dalam bentuk pemborosan BBM. Ada juga biaya untuk pengobatan akibat
infeksi saluran pernapasan atas (ISPA) yang dipicu polusi dari asap kendaraan
dan biaya-biaya lain. Jangan anggap remeh dengan biaya-biaya yang mungkin
sulit sekali buat kita untuk menghitung nilainya. Tapi, saya punya ilustrasi
sederhana untuk mengukurnya. Setiap pagi saya selalu rutin melewati ruas
jalan tertentu.
Di
situ selalu ada seorang polisi yang bertugas mengatur lalu lintas. Awalnya
saya selalu mengamati gerak-geriknya. Setelah sekian lama, akhirnya saya
bosan. Setahunberlalu. Duatahunjugalewat. Belakangan ketika saya melihat lagi
sosok polisi tersebut, saya agak kaget. Wajahnya terlihat lebih kurus, letih,
dan menua. Padahal, mungkin usianya hanya bertambah sekitar dua tahun.
Penasaran, saya kemudian membaca beberapa referensi tentang dampak polusi
dari asap kendaraan bermotor. Memang di situ disebutkan, polusi akibat asap
kendaraan bisa mengganggu beberapa fungsi tubuh manusia.
Kematian
akibat polusi biasanya terjadi dalam bentuk penyakit jantung, stroke,
paru-paru, dan ISPA tadi. Menurut data WHO, selama tahun 2012, 1 dari 8 orang
di dunia meninggal akibat polusi udara. Maka, saya senang ketika suatu kali
menyaksikan petugas polisi tadi sudah menggunakan masker untuk menutupi
hidung dan mulutnya. Mestinya itu sudah ia lakukan sejak dulu. Apa yang
ditanggung oleh polisi tadi adalah salah satu bentuk nyata dari kerugian
sosial. Di DKI, kalau mau dihitung per hari, biaya sosial yang kita
hamburhamburkan akibat kemacetan adalah sekitar Rp186 miliar.
Jadi
dengan libur Lebaran, yang kalau kita anggap efektif berlangsung selama dua
minggu, berarti kita menikmati kemewahan dalam bentuk penghematan biaya
sosial sebesar Rp2,6 triliun. Lumayan bukan? Kalau libur Lebarannya mau
diperpanjang sampai sebulan, barangkali penghematan dari biaya sosial ini
sudah cukup untuk menjadi modal awal membangun monorel di Jakarta yang Rp7 triliun—yang
belakangan disebut-sebut malah ingin dibatalkan. Masih ada kemewahan lain
yang dinikmati warga Jakarta selama libur Lebaran.
Selama
dua minggu ke depan, kepadatan Jakarta juga akan berkurang drastis. Dari
jumlah penduduk Jakarta yang sekitar 10 juta, menurut perkiraan Dinas
Perhubungan DKI, untuk tahun ini sebanyak 4,2 juta di antaranya bakal pulang
mudik, merayakan Lebaran di kampung halaman. Itu artinya jalan-jalan di
sekitar perumahan di Jakarta selama beberapa hari akan menjadi semakin lengang.
Buat warga Jakarta yang dulu mungkin hanya sempat jalan pagi setiap
Sabtu-Minggu, kini bisa melakukannya setiap hari tanpa harus khawatir
bersenggolan dengan pejalan kaki lain. Ini juga saya anggap sebagai sebuah
kemewahan.
Rekor Baru
Tapi,
kemewahan Lebaran juga bukan hanya milik warga Jakarta. Saudara-saudara kita
yang pulang mudik juga menikmati kemewahan yang mungkin malah tidak bisa
dirasakan warga Jakarta, yakni bertemu dengan kakek-nenek, orang tua, atau
sanak saudara dan kerabat lainnya. Ini kemewahan rohani meski di situ ada
juga harganya. Di antaranya bermacet-macet di jalan. Seorang tetangga saya
yang rutin mudik dengan mobil bercerita, setiap tahun dia selalu memecahkan
rekor baru. Jarak Jakarta-Yogyakarta tiga tahun lalu ia tempuh dalam waktu 19
jam.
Dua
tahun lalu rekornya pecah menjadi 21 jam. Tapi, setahun kemudian rekornya
sudah pecah lagi, 23 jam. Untuk tahun ini dia sudah bersiap-siap mencatatkan
rekor baru. Penyebabnya, amblesnya Jembatan Comal di Pemalang. Jadi, selama
Lebaran rupanya bukan hanya sebagian warga Jakarta yang berpindah, tetapi
juga kemacetannya. Selain kemacetan di perjalanan tadi, selama Lebaran
beberapa ruas jalan di daerah juga macet. Pemicunya, banyaknya mobil pelat B
yang lalu lalang.
Kode
pelat B adalah untuk DKI Jakarta. Meski harus menanggung beban kemacetan,
sejumlah daerah yang menjadi tujuan pemudik juga menikmati kemewahan dalam
bentuk limpahan rezeki. Di Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah, uang yang
ditransfer para tenaga kerja Indonesia (TKI) selama Lebaran mencapai lebih
dari Rp30 miliar. Itu di satu kabupaten. Kalau secara nasional, pada tahun
lalu jumlah uang yang ditransfer para TKI menjelang Lebaran sudah Rp15
triliun. Untuk tahun ini rekor tersebut bakal pecah. Kemarin saya membaca
artikel soal ini di sebuah media nasional. Anda tahu berapa nilainya? Sudah
Rp17,9 triliun. Itulahkemewahanyangdinikmati oleh sejumlah daerah yang
menjadi tujuan para pemudik.
Dalam Pikiran
Tapi,
apa itu sebetulnya kemewahan? Anda mungkin pernah dengar cerita tentang
seorang miliarder dan seorang miskin yang sama-sama pergi memancing di sebuah
sungai. Melihat teman memancingnya yang miskin, sang miliarder menasihati
tentang pentingnya bekerja keras. Sang miliarder bercerita, betapa ia memulai
usahanya dari kecil dan harus bekerja tujuh hari dalam seminggu.
Ia
melakukannya bertahun-tahun sehingga usahanya menjadi besar. Setelah usahanya
besar, ia bisa merekrut banyak orang dan mendirikan pabrik. Kini, setelah
puluhan tahun bekerja, pabriknya tersebar di mana-mana dan ia merekrut
semakin banyak orang. Setelah usahanya kian meraksasa, ia merekrut
orang-orang kunci, menggaji tinggi mereka untuk menggantikannya bekerja.
Kini, dia punya banyak waktu untuk melakukan hobinya, yakni bersantai-santai
dan memancing.
Pemancing
yang miskin tadi hanya menimpali, ”Bukankah
saya sekarang sama-sama sedang memancing.” Mungkin benar kata L Wren
Scott, seorang seniman, ”Luxury is
state of mind.” Kemewahan itu ada dalam pikiran. Selamat mudik Saudara-Saudaraku dan berbagi kemewahan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar