RRI
dan Jurnalisme Presisi
Dedi H Purwadi ;
Fasilitator Pelatihan
Jurnalisme di LP3Y Yogyakarta
|
KOMPAS,
23 Juli 2014
PEMILIHAN Presiden 2014 rupanya memunculkan banyak hal meski
semuanya bermuara pada satu hal pokok: kompetisi sengit dua pasang calon
presiden. Salah satu yang sebelumnya tak pernah disoal pun kini mencuat:
mempersoalkan RRI yang menyiarkan hitung cepat Pilpres 2014 berdasarkan
survei yang diprakarsai Puslitbang RRI.
Pertanyaannya, apa yang salah dengan kegiatan RRI tersebut?
Bukankah kegiatan serupa dilakukan RRI pada 2009 dan Pemilu Legislatif 9
April 2014, dan tidak ada yang menyoal? Komisi Pemilihan Umum pun mengakui
kinerja RRI. Bahkan, untuk Pemilu Legislatif 2014, akurasi hasil hitung cepat
RRI diakui paling mendekati hasil real count KPU.
Apakah salah jika untuk pekerjaan itu RRI menggunakan dana yang
bersumber dari APBN? Barulah menjadi soal jika RRI memanipulasi angka hitung
cepat dan sangat patut dipertanyakan jika RRI tak bersedia metode kerja
surveinya diaudit dan diverifikasi.
Masih dalam koridor
RRI barangkali dianggap ”berdosa” oleh segelintir politisi di
DPR karena hitung cepat hasil kerjanya menunjukkan pasangan Joko Widodo-Jusuf Kalla unggul atas
Prabowo Subianto-Hatta Rajasa. Mungkin karena itu lalu mereka menggagas upaya
pemanggilan RRI ke DPR. Di antara ihwal yang disoal adalah karena RRI
dibiayai APBN.
Upaya mengusik kerja RRI ini rupanya memantik respons
”perlawanan” masyarakat madani, khususnya para netizen. Muncullah gerakan di
dunia maya dengan tanda pagar #saveRRI.
Kalangan pers, melalui Dewan Pers, pun angkat bicara. Dewan Pers
mempertanyakan niat DPR memanggil RRI terkait hitung cepat Pilpres 2014 yang
dilakukan RRI. Bagi Dewan Pers, RRI selaku lembaga publik yang juga
menggunakan anggaran negara bisa saja melakukan itu atas dasar keperluan
memberikan informasi yang tepat kepada masyarakat. RRI, kata Dewan Pers,
mewakili publik, harus di depan memberikan informasi yang benar.
Dalam konteks kerja penyebarluasan informasi, demikian Dewan
Pers, hitung cepat yang dilakukan RRI masih di koridor praktik jurnalistik,
yaitu untuk mencari, memperoleh, memiliki, dan mengolah informasi yang
menjadi bagian dari riset media.
Barangkali pendapat Dewan Pers belum memadai bagi sekelompok orang atau pihak
tertentu. Sebut saja pihak peserta kontestasi Pilpres 2014. Catatan ringkas
ini berupaya melengkapinya dengan menunjukkan posisi RRI sebagai institusi
media pers dan hitung cepat yang dilakukan institusi ini sebagai salah satu
ragam kerja jurnalisme.
Sebagai lembaga penyiaran, RRI bukan hanya media hiburan. Ia
juga, dan bahkan terutama, adalah media informasi. Visi lembaga ini jelas
mencantumkan kedua hal itu, bahwa visi RRI …menjadi radio publik milik
bangsa, acuan informasi tepercaya dan hiburan yang sehat, pemberdayaan
masyarakat dst.
Untuk mencapai visi itu RRI mengemban tujuh misi. Dua di
antaranya, pertama, memberikan layanan informasi, pendidikan, dan hiburan
kepada semua lapisan masyarakat di seluruh Indonesia. Kedua, ikut
mencerdaskan kehidupan bangsa dan mendorong terwujudnya masyarakat yang
informatif.
Misi informatif RRI diimplementasikan melalui program siaran
bernama Programa 3 (Pro3). Ini berisi siaran Jaringan Berita Nasional yang menyajikan
berita dan informasi (news channel)
selama 24 jam, yang dipancarluaskan/direlai oleh setiap stasiun RRI daerah
kepada masyarakat luas di seluruh Nusantara.
Untuk kebutuhan itu ada 60 stasiun penyiaran dan stasiun
penyiaran khusus yang ditujukan ke luar negeri bernama ”Suara Indonesia” (Voice of Indonesia).
Sebagai news channel, RRI bekerja dalam koridor praktik
jurnalistik seperti disebutkan Dewan Pers di atas. Artinya, RRI mencari,
mengumpulkan, mengolah fakta, dan menyebarluaskannya sebagai berita (news) dengan berbagai ragam penyajian.
Ketika RRI, dengan Puslitbang-nya, melakukan hitung cepat
pemungutan suara pemilu (pada pileg maupun pilpres) dan menyiarkannya, kerja
ini dikaitkan dengan kepentingan RRI guna memenuhi kewajibannya sebagai penyampai
informasi tentang fakta sosial terkait peristiwa politik.
Jurnalisme presisi
Manakala kerja ilmiah berupa survei dan hitung cepat—yang
menggunakan metode riset ilmu sosial—menjadi bagian dari kerja jurnalistik
para awak pemberitaan RRI untuk menghasilkan berita tentang pemilu, kita
sedang bicara tentang jurnalisme presisi.
Praktik jurnalisme presisi tak terlalu baru di Indonesia.
Setidak-tidaknya sudah diawali harian Kompas pada April 1971. Saat itu
Litbang Kompas, yang berada di bawah redaksi, melakukan penelitian pendapat
umum atau polling bertemakan pemilu. Hasil polling ini digunakan sepenuhnya
untuk mendukung pemberitaan. Kerja sejenis kemudian diterapkan surat kabar
lain seperti Media Indonesia, Republika, kemudian Koran Tempo.
Istilah jurnalisme presisi dimunculkan Philip Meyer, Guru Besar
Jurnalisme di Indiana University, pada 1973, melalui bukunya, Precision Journalism: A Reporter’s
Introduction to Social Science Methods. Namun, praktiknya di dunia
jurnalistik, khususnya di Amerika, jurnalisme presisi sudah dimulai 38 tahun
sebelum buku itu terbit. Tahun 1935 Fortune
Magazine menerbitkan hasil polling yang mereka lakukan tentang jenis
rokok yang dikonsumsi kebanyakan orang Amerika. Polling ini dipercaya sebagai yang pertama dilakukan institusi
media untuk kepentingan pemberitaan.
Jurnalisme presisi diterapkan untuk mendapatkan gambaran setepat
mungkin tentang sikap/pandangan maupun perilaku kelompok atau populasi. Data
yang dikumpulkan melalui riset ilmu sosial dengan metodologi yang ketat ini
kemudian disajikan dalam grafis dan teks jurnalisme interpretatif untuk
membantu memudahkan khalayak memahami fakta.
Dalam konteks itu maka menjadi tidak relevan membicarakan soal anggaran
jika dikaitkan dengan hitung cepat pemungutan suara Pilpres 2014 yang
dilakukan RRI sebagaimana dipersoalkan. Sejauh anggaran dari APBN digunakan
RRI untuk memproduksi informasi, dan produk informasi itu antara lain hitung
cepat, sah-sah saja RRI menggunakan dana dari APBN untuk itu. Bukankah tugas
RRI antara lain memproduksi informasi, selain menyajikan hiburan? Dan, untuk
itulah negara membiayainya mengingat status RRI sebagai lembaga milik
pemerintah.
Yang menjadi soal adalah apabila proses hitung cepat RRI
dilakukan dengan metode yang tidak jelas, tidak terbuka untuk verifikasi dan
audit, sumber data tidak bisa dilacak dan dibuktikan keberadaannya. Apalagi
jika sejak awal ada intensi untuk menghasilkan angka dan interpretasi
jurnalistik yang menguntungkan pihak tertentu. Ini bukan saja melanggar etika
kerja ilmiah, melainkan juga membohongi publik.
Jika ada kecurigaan bahwa hitung cepat RRI ditengarai tidak
netral atau memihak salah satu kontestan, kita ingatkan bahwa RRI punya Tri
Prasetya RRI. Salah satu dari tiga komitmen awak RRI itu berbunyi: ”Kita harus berdiri di atas segala aliran
dan keyakinan, partai, atau golongan, dengan mengutamakan persatuan bangsa
dan keselamatan negara…”. Pengingkaran terhadap komitmen itu berarti awal
rontoknya kredibilitas! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar