Rabu, 23 Juli 2014

RRI dan Jurnalisme Presisi

                                      RRI dan Jurnalisme Presisi

Dedi H Purwadi  ;   Fasilitator Pelatihan Jurnalisme di LP3Y Yogyakarta
KOMPAS, 23 Juli 2014
                                                


PEMILIHAN Presiden 2014 rupanya memunculkan banyak hal meski semuanya bermuara pada satu hal pokok: kompetisi sengit dua pasang calon presiden. Salah satu yang sebelumnya tak pernah disoal pun kini mencuat: mempersoalkan RRI yang menyiarkan hitung cepat Pilpres 2014 berdasarkan survei yang diprakarsai Puslitbang RRI.

Pertanyaannya, apa yang salah dengan kegiatan RRI tersebut? Bukankah kegiatan serupa dilakukan RRI pada 2009 dan Pemilu Legislatif 9 April 2014, dan tidak ada yang menyoal? Komisi Pemilihan Umum pun mengakui kinerja RRI. Bahkan, untuk Pemilu Legislatif 2014, akurasi hasil hitung cepat RRI diakui paling mendekati hasil real count KPU.

Apakah salah jika untuk pekerjaan itu RRI menggunakan dana yang bersumber dari APBN? Barulah menjadi soal jika RRI memanipulasi angka hitung cepat dan sangat patut dipertanyakan jika RRI tak bersedia metode kerja surveinya diaudit dan diverifikasi.

Masih dalam koridor

RRI barangkali dianggap ”berdosa” oleh segelintir politisi di DPR karena hitung cepat hasil kerjanya menunjukkan  pasangan Joko Widodo-Jusuf Kalla unggul atas Prabowo Subianto-Hatta Rajasa. Mungkin karena itu lalu mereka menggagas upaya pemanggilan RRI ke DPR. Di antara ihwal yang disoal adalah karena RRI dibiayai APBN.

Upaya mengusik kerja RRI ini rupanya memantik respons ”perlawanan” masyarakat madani, khususnya para netizen. Muncullah gerakan di dunia maya dengan tanda pagar #saveRRI.

Kalangan pers, melalui Dewan Pers, pun angkat bicara. Dewan Pers mempertanyakan niat DPR memanggil RRI terkait hitung cepat Pilpres 2014 yang dilakukan RRI. Bagi Dewan Pers, RRI selaku lembaga publik yang juga menggunakan anggaran negara bisa saja melakukan itu atas dasar keperluan memberikan informasi yang tepat kepada masyarakat. RRI, kata Dewan Pers, mewakili publik, harus di depan memberikan informasi yang benar.

Dalam konteks kerja penyebarluasan informasi, demikian Dewan Pers, hitung cepat yang dilakukan RRI masih di koridor praktik jurnalistik, yaitu untuk mencari, memperoleh, memiliki, dan mengolah informasi yang menjadi bagian dari riset media.

Barangkali pendapat Dewan Pers belum  memadai bagi sekelompok orang atau pihak tertentu. Sebut saja pihak peserta kontestasi Pilpres 2014. Catatan ringkas ini berupaya melengkapinya dengan menunjukkan posisi RRI sebagai institusi media pers dan hitung cepat yang dilakukan institusi ini sebagai salah satu ragam kerja jurnalisme.

Sebagai lembaga penyiaran, RRI bukan hanya media hiburan. Ia juga, dan bahkan terutama, adalah media informasi. Visi lembaga ini jelas mencantumkan kedua hal itu, bahwa visi RRI …menjadi radio publik milik bangsa, acuan informasi tepercaya dan hiburan yang sehat, pemberdayaan masyarakat dst.

Untuk mencapai visi itu RRI mengemban tujuh misi. Dua di antaranya, pertama, memberikan layanan informasi, pendidikan, dan hiburan kepada semua lapisan masyarakat di seluruh Indonesia. Kedua, ikut mencerdaskan kehidupan bangsa dan mendorong terwujudnya masyarakat yang informatif.

Misi informatif RRI diimplementasikan melalui program siaran bernama Programa 3 (Pro3). Ini berisi siaran Jaringan Berita Nasional yang menyajikan berita dan informasi (news channel) selama 24 jam, yang dipancarluaskan/direlai oleh setiap stasiun RRI daerah kepada masyarakat luas di seluruh Nusantara.

Untuk kebutuhan itu ada 60 stasiun penyiaran dan stasiun penyiaran khusus yang ditujukan ke luar negeri bernama ”Suara Indonesia” (Voice of Indonesia).

Sebagai news channel, RRI bekerja dalam koridor praktik jurnalistik seperti disebutkan Dewan Pers di atas. Artinya, RRI mencari, mengumpulkan, mengolah fakta, dan menyebarluaskannya sebagai berita (news) dengan berbagai ragam penyajian.

Ketika RRI, dengan Puslitbang-nya, melakukan hitung cepat pemungutan suara pemilu (pada pileg maupun pilpres) dan menyiarkannya, kerja ini dikaitkan dengan kepentingan RRI guna memenuhi kewajibannya sebagai penyampai informasi tentang fakta sosial terkait peristiwa politik.

Jurnalisme presisi

Manakala kerja ilmiah berupa survei dan hitung cepat—yang menggunakan metode riset ilmu sosial—menjadi bagian dari kerja jurnalistik para awak pemberitaan RRI untuk menghasilkan berita tentang pemilu, kita sedang bicara tentang jurnalisme presisi.

Praktik jurnalisme presisi tak terlalu baru di Indonesia. Setidak-tidaknya sudah diawali harian Kompas pada April 1971. Saat itu Litbang Kompas, yang berada di bawah redaksi, melakukan penelitian pendapat umum atau polling bertemakan pemilu. Hasil polling ini digunakan sepenuhnya untuk mendukung pemberitaan. Kerja sejenis kemudian diterapkan surat kabar lain seperti Media Indonesia, Republika, kemudian Koran Tempo.

Istilah jurnalisme presisi dimunculkan Philip Meyer, Guru Besar Jurnalisme di Indiana University, pada 1973, melalui bukunya, Precision Journalism: A Reporter’s Introduction to Social Science Methods. Namun, praktiknya di dunia jurnalistik, khususnya di Amerika, jurnalisme presisi sudah dimulai 38 tahun sebelum buku itu terbit. Tahun 1935 Fortune Magazine menerbitkan hasil polling yang mereka lakukan tentang jenis rokok yang dikonsumsi kebanyakan orang Amerika. Polling ini dipercaya sebagai yang pertama dilakukan institusi media untuk kepentingan pemberitaan.

Jurnalisme presisi diterapkan untuk mendapatkan gambaran setepat mungkin tentang sikap/pandangan maupun perilaku kelompok atau populasi. Data yang dikumpulkan melalui riset ilmu sosial dengan metodologi yang ketat ini kemudian disajikan dalam grafis dan teks jurnalisme interpretatif untuk membantu memudahkan khalayak memahami fakta.

Dalam konteks itu maka menjadi tidak relevan membicarakan soal anggaran jika dikaitkan dengan hitung cepat pemungutan suara Pilpres 2014 yang dilakukan RRI sebagaimana dipersoalkan. Sejauh anggaran dari APBN digunakan RRI untuk memproduksi informasi, dan produk informasi itu antara lain hitung cepat, sah-sah saja RRI menggunakan dana dari APBN untuk itu. Bukankah tugas RRI antara lain memproduksi informasi, selain menyajikan hiburan? Dan, untuk itulah negara membiayainya mengingat status RRI sebagai lembaga milik pemerintah.

Yang menjadi soal adalah apabila proses hitung cepat RRI dilakukan dengan metode yang tidak jelas, tidak terbuka untuk verifikasi dan audit, sumber data tidak bisa dilacak dan dibuktikan keberadaannya. Apalagi jika sejak awal ada intensi untuk menghasilkan angka dan interpretasi jurnalistik yang menguntungkan pihak tertentu. Ini bukan saja melanggar etika kerja ilmiah, melainkan juga membohongi publik.

Jika ada kecurigaan bahwa hitung cepat RRI ditengarai tidak netral atau memihak salah satu kontestan, kita ingatkan bahwa RRI punya Tri Prasetya RRI. Salah satu dari tiga komitmen awak RRI itu berbunyi: ”Kita harus berdiri di atas segala aliran dan keyakinan, partai, atau golongan, dengan mengutamakan persatuan bangsa dan keselamatan negara…”. Pengingkaran terhadap komitmen itu berarti awal rontoknya kredibilitas!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar