Menatap
Indonesia Baru
Dinna Wisnu ;
Co-Founder & Direktur
Pascasarjana Bidang Diplomasi,
Universitas
Paramadina
|
KORAN
SINDO, 23 Juli 2014
Rakyat
Indonesia tampaknya masih diuji kesabarannya dengan peristiwa pengunduran
diri dan penolakan hasil pemilihan presiden tahun ini.
Para
investor asing yang mendengar pidato Prabowo Subianto langsung melakukan
penjualan dan hal ini sempat membuat indeks harga saham turun walaupun
kembali menguat sedikit. Mereka tampaknya khawatir penolakan tersebut akan
berbuntut kekacauan yang mengganggu iklim investasi ekonomi di masa depan.
Meski demikian, saya melihat masyarakat lebih dewasa menghadapi masalah ini.
Hal ini mungkin terkait dengan proses cooling
down yang berlangsung sejak mereka mencoblos pilihan mereka pada tanggal
9 Juli 2014.
Kita
berharap situasi damai ini terus berkembang di tengah masyarakat dan mereka
tidak tergoda untuk larut dalam kepentingan yang tidak menghendaki kedamaian.
Beberapa ahli tata negara mengatakan bahwa secara de facto Indonesia telah
memiliki presiden baru setelah Komisi Pemilihan Umum (KPU) mengumumkan
presiden terpilih berdasarkan rekapitulasi hasil pemungutan suara tanggal 9
Juli 2014. Tentu saja, presiden yang terpilih ini masih akan menunggu
pelantikannya tiga bulan lagi atau tepatnya pada bulan Oktober.
Kalaupun
masih ada proses pengajuan keberatan ke Mahkamah Konstitusi, pembuktian
adanya kecurangan perlu bukti yang kuat dan tidak bisa serta-merta
membatalkan keseluruhan proses pemungutan suara yang telah terjadi. Kita
tentu juga tidak bisa melupakan pasangan Prabowo- Hatta yang telah menjadi
pesaing tangguh bagi Joko Widodo dan Jusuf Kalla. Dapat kita katakan bahwa tanpa
lawan yang kuat mustahil kita dapat memiliki presiden yang kuat pula.
Oleh
sebab itu terpilihnya Joko Widodo dan Jusuf Kalla merupakan sebuah produk
dari komitmen dan usaha mereka yang terbaik. Terpilihnya presiden baru juga
bukan akhir dari ”kompetisi” ini karena sesungguhnya kompetisi yang ”riil ”
justru baru dimulai. Kita perlu mengukur presiden dan calon wakil presiden
kita bukan hanya dari membandingkannya dengan lawan mereka, tetapi juga dari
kesanggupan mereka untuk memenuhi segala janji yang telah diucapkan selama
kampanye.
Selama
sebulan penuh ini saya yakin bahwa seluruh penduduk, baik mereka yang
menggunakan maupun yang tidak menggunakan hak suaranya, telah mengetahui apa
yang menonjol dari program kandidat masing-masing. Demikian pula dengan
kampanye melalui debat capres yang telah dilaksanakan selama lima kali di
media elektronik. Apabila semua hal yang kita harapkan sudah diketahui,
lantas apa arti atau makna presiden baru buat kita saat ini? Apa yang dapat
kita lakukan setelah presiden yang terpilih ini nanti dilantik menjadi
presiden yang baru?
Secara
umum saya ingin mengatakan bahwa terpilihnya presiden baru pada saat ini
adalah sebuah keberhasilan luar biasa bila kita dapat sedikit saja menengok
apa yang terjadi dengan pemilihan umum di negara-negara tetangga seperti
Thailand, Kamboja, dan negaranegara ASEAN lain. Ketegangan dalam pemilihan
umum yang terjadi di Indonesia agak mirip dengan pemilihan umum di Malaysia
ketika koalisi partai-partai yang dipimpin Anwar Ibrahim berhadapan dengan
koalisi partai yang dipimpin PM Najib Razak.
Pada
saat itu, kelompok Anwar Ibrahim mengklaim sebagai perwakilan gerakan
reformasi yang menghendaki terkalahkannya kekuatan status quo , UMNO, yang telah berkuasa lebih dari 40 tahun.
Gesekan dan konflik yang terjadi antara dua pendukung di tingkat bawah dan
media juga amat panas. Kampanye-kampanye negatif atau kotor terhadap Anwar
Ibrahim yang dituding melakukan kejahatan seksual pemerkosaan menjadi bumbu
dalam kampanye saat itu, sementara tuduhan korupsi dan nepotisme juga
ditujukan kepada Nazib Razak dan UMNO.
Walaupun
dalam segi suara Anwar Ibrahim mengantongi banyak pemilih, karena sistem
parlementarian yang berlaku di mana kemenangan dihitung dari jumlah
kemenangan yang didapatkan menurut kursi, Nazib Razaklah yang terpilih
menjadi PM kembali. Walaupun sempat dikhawatirkan akan terjadi konflik yang
berkepanjangan, Anwar Ibrahim mampu meredam kekecewaan para pemilihnya untuk
tidak melampiaskannya dalam bentuk kekerasan. Kondisi serupa terjadi di Kamboja
ketika pemilihan umum diikuti kurang lebih 9 juta penduduk.
Hasil
pemilu yang memenangkan Partai Rakyat Kamboja dan PM Hun Sen tidak diterima
oleh pesaing utama mereka, yaitu Partai Penyelamat Kamboja. Walaupun PM Hun
Sen kehilangan 20 kursi dan partai oposisi mendapat tambahan kursi, hasil
pemilu tidak diterima dengan baik dan menimbulkan konflik horizontal yang
menyebabkan korban jiwa. Kejadian di berbagai negara tersebut adalah
peristiwa yang perlu kita ambil pelajarannya.
Apa
yang menyebabkan pemilu- pemilu pada lima tahun terakhir ini begitu sensitif
tidak lepas karena belum pulihnya ekonomi dan politik dunia akibat krisis
ekonomi yang terjadi pada tahun 2008. Perlambatan ekonomi yang menyebabkan
hilangnya lapangan pekerjaan dan meningkatnya kerentanan sosial ekonomi dan
kemiskinan adalah kondisi yang dapat memicu keresahan nasional. Masyarakat
miskin yang tidak memiliki keterampilan dan hidup berjuang setiap hari untuk
dapat makan sekali adalah kelompok masyarakat yang mudah tersulut oleh api
kebencian.
Beruntung
kita memiliki demokrasi, kebebasan pers, dan kemajuan teknologi informasi
yang dapat mengimbangi berita- berita negatif dengan positif. Kita juga
memiliki pemimpin agama dan tokoh masyarakat yang secara bijak dapat
menenangkan masyarakat. Meski demikian, pengalaman yang berharga adalah telah
berjalannya pemilu selama empat kali dengan baik sejak tahun 1998. Masyarakat
menjadi dewasa dalam berpikir dan berpolitik.
Oleh
sebab itu merayakan keterpilihan presiden dan wakil presiden semestinya
jangan diartikan sebagai kemenangan atas lawan politik, tetapi yang lebih
besar adalah perayaan bagi semakin meningkatnya kualitas demokrasi kita.
Sikap saling mengkritik, memperdebatkan gagasan, ide, ketidaksetujuan atau
bahkan saling menghormati pilihan politik masing-masing jangan usai setelah
pemilihan presiden ini berakhir. Lingkungan dan alam demokrasi tersebut harus
tetap kita jaga dengan baik agar sistem politik dan masyarakat terus-menerus
mewujudkan pendewasaan baik secara etika, moral maupun ideologis.
Koridor
pembatasnya adalah kedamaian, aturan hukum, dan kesempatan yang sama bagi
semua pihak yang cinta demokrasi untuk bersuara. Upaya untuk merawat alam
demokratis itu tidak lain dengan terus-menerus bersikap kritis terhadap
kekuasaan dan terhadap para pejabat yang memegang otoritas demokrasi. Rocky
Gerung menyebutnya dengan sinisme. Ia mendefinisikan sinisme sebagai enzim
publik untuk mencegah politik tumbuh dalam euforia kembang api yang habis
dibakar sesaat untuk kemudian gelap. Sikap kritis ini yang harus dilindungi
dari sikap-sikap antidemokrasi yang mempersempit ruang kita sebagai warga
negara.
Demokrasi
itu tidak sempurna dan terus berproses, karenanya selalu akan ada celah
ketidaksempurnaan yang akan dipakai pihak-pihak tidak bertanggung jawab untuk
melakukan kejahatan dan mencegah timbulnya keadilan. Kebebasan, baik bebas
dari rasa takut atau bebas mengemukakan pendapat, harus menjadi indikator
utama dalam mengukur demokrasi.
Sikap
antidemokrasi adalah setiap sikap yang berupaya mengerdilkan kebebasan dan
menciptakan rasa takut dan cemas. Tugas kita bersama untuk merawat alam
demokrasi terus tumbuh dan berkembang. Tugas ini perlu menjadi landasan baru
bagi kita yang telah terbelah menurut pilihan politik kita masing-masing
selama kampanye dalam beberapa bulan terakhir. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar