Presiden
bagi Rakyat Indonesia
James Luhulima ; Wartawan
Senior Kompas
|
KOMPAS,
26 Juli 2014
PADA
tanggal 22 Juli lalu pukul 21.33, Komisi Pemilihan Umum secara resmi
menetapkan calon presiden dan calon wakil presiden nomor urut 2, Joko Widodo
dan Jusuf Kalla, sebagai presiden dan wakil presiden terpilih periode
2014-2019. Joko Widodo, yang akrab disapa dengan Jokowi, dan Jusuf Kalla
unggul atas pasangan nomor urut 1, Prabowo Subianto dan Hatta Rajasa.
Saat
mendengar penetapan itu, pikiran langsung melayang ke kata-kata bijak yang
diucapkan pada tahun 1941 oleh Presiden Filipina Manuel Quezon (1878-1944), ”Kesetiaan saya pada partai berakhir
ketika kesetiaan saya pada negara dimulai (Aking katapatan sa partido ay
nagtatapos kapag ang aking katapatan sa estado ay nagsisimula)”. Sengaja
yang dikutip pernyataan dalam bahasa Tagalog, dan bukan bahasa Inggris, untuk
menunjukkan bahwa kata-kata bijak itu diucapkan oleh seorang kepala negara
dari Asia Tenggara.
Kata-kata
bijak yang diucapkan Presiden Manuel Quezon itu sangat relevan bagi Jokowi
ketika dilantik sebagai presiden untuk periode 2014-2019. Ia harus mengambil
jarak dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) dan menjadi bapak
bagi seluruh rakyat Indonesia.
Jokowi
tidak boleh melupakan bahwa ia hanya dipilih oleh 70.997.833 orang (53,15
persen dari pemilih), di luar sana masih ada 62.576.444 orang (46,85 persen)
yang tidak memilihnya. Sebagai Presiden Indonesia, Jokowi harus dapat
mengayomi semuanya. Oleh karena itu, hanya dengan cara itulah Jokowi dapat
membangun karisma sebagai bapak bangsa.
Namun,
hal itu tentunya lebih mudah diucapkan daripada dilakukan, apalagi Prabowo
belum mau mengakui kekalahannya, apa pun alasan yang dikemukakannya untuk
membungkusnya. Meskipun demikian, tentunya itu juga bukan berarti, hal itu
tidak mungkin dilakukan.
Dalam
pidato kemenangannya di atas kapal pinisi Hati Buana Setia di Pelabuhan Sunda
Kelapa, Jakarta, seusai penetapan KPU, 22 Juli lalu, Jokowi telah
mengisyaratkan keinginan untuk menjadi presiden bagi seluruh rakyat
Indonesia. Namun, tentunya, yang diperlukan bukan pernyataan, melainkan
perbuatan.
Megawati
Soekarnoputri pernah berada dalam posisi itu saat ia menjabat sebagai presiden
(2001-2004). Tidak dapatnya Mega melepaskan diri dari PDI-P membuatnya gagal
membangun karisma sebagai ibu bangsa. Itu sebabnya, ketika ia memerlukan
dukungan mayoritas rakyat untuk membuatnya unggul dalam pemilihan presiden,
dukungan itu tidak diperolehnya. Ia kalah dari calon presiden pendatang baru,
Susilo Bambang Yudhoyono.
Namun,
10 tahun sesudahnya, Mega membayar kegagalannya. Ia menunjukkan kualitasnya
sebagai ibu bangsa ketika ia pada akhirnya menunjuk Jokowi dan Jusuf Kalla
sebagai calon presiden dan calon wakil presiden dari PDI-P untuk periode
2014-2019. Keputusan itu tentunya tidak mudah diambil Megawati mengingat pada
desakan untuk mengajukan trah
(garis keturunan) Soekarno amat sangat besar. Baik itu sebagai calon presiden
maupun sebagai calon wakil presiden.
Mega
melampaui perannya sebagai Ketua Umum PDI-P dan mantan presiden pilihan MPR
ketika ia menangkap tanda-tanda zaman, yang ditunjukkan dengan fenomena
Jokowi. Mega bahkan menyadari bahwa garis keturunan Soekarno itu tidak harus
diartikan melalui hubungan darah, melainkan juga melalui gagasan, ide, atau
cita-cita.
Saat
berkunjung ke kantor harian Kompas, 11 Juli lalu, dua hari setelah dinyatakan
unggul oleh hasil hitung cepat, Jokowi mengatakan, ia masih sulit mencerna
fenomena perjalanan hidupnya yang tiba-tiba meningkatkan
begitu cepat. Rasanya baru kemarin menjadi Wali Kota Solo, tiba-tiba sudah
menjadi Gubernur DKI Jakarta, dan kini menjadi presiden terpilih, jabatan
tertinggi di negara ini. Sama seperti Jokowi, kita pun masih sulit mencerna
fenomena itu.
Prihatin
Bersamaan
dengan itu, kita juga prihatin mengikuti perilaku Prabowo Subianto. Prabowo
yang sebelum pelaksanaan pemilu presiden langsung dengan gagahnya menyatakan,
siap kalah, tiba-tiba menunjukkan sikap sangat berbeda ketika hasil hitung
cepat (quick count) yang diadakan
beberapa lembaga survei menunjukkan bahwa Jokowi-Jusuf Kalla unggul.
Prabowo
memilih untuk mengabaikan hasil hitung cepat yang dilakukan lembaga-lembaga
yang telah memiliki reputasi yang baik dan kredibilitas yang tinggi, yang
mengunggulkan Jokowi dan memilih untuk lebih memercayai hasil hitung cepat
yang dilakukan lembaga yang tidak memiliki reputasi yang baik dan
kredibilitas yang tinggi dalam hitung cepat yang mengunggulkan dirinya.
Sikap
ini berbeda jauh dengan yang ditunjukkan Fauzi Bowo, Gubernur DKI Jakarta,
yang dikalahkan oleh Jokowi dalam hitung cepat Pemilihan Kepala Daerah
(Pilkada) DKI Jakarta 2012. Padahal sebelumnya, Fauzi Bowo, yang akrab disapa
Foke, yakin seyakin-yakinnya bahwa ia dapat mengalahkan Jokowi. Foke bahkan
yakin akan menang dalam satu putaran. Namun, ketika semua hasil hitung cepat
menunjukkan bahwa Jokowi unggul, Foke langsung memberikan selamat kepada
Jokowi. Padahal, pada saat itu hasil hitung cepat baru mendekati 90 persen,
belum mencapai 100 persen.
”Metode hitung cepat adalah metode
ilmiah yang digunakan di mana saja, kita patut menghargainya. Dari berbagai
hitung cepat yang diumumkan, kami berdua tertinggal. Oleh karena itu, sambil
menunggu proses final KPU DKI Jakarta, kami sampaikan penghargaan bagi
pasangan nomor 3 selaku pemenang dalam hitung cepat,”
kata Foke, saat itu.
Ia
menambahkan, ”Kami sadar, dalam setiap
kompetisi ada yang menang, ada yang kalah. Ada yang terpilih dan tidak
terpilih. Mari kita junjung proses demokrasi yang menentukan gubernur dan
wakil gubernur DKI Jakarta 2012-2017.”
Bahwa
ada kecurangan atau ketidaksempurnaan di sana sini itu memang bisa terjadi,
tetapi soal tuduhan bahwa kecurangan itu berlangsung secara masif dan terstruktur,
itu masih memerlukan pembuktian. Namun, haruskah ia mendeklarasikan menolak
pelaksanaan Pemilu Presiden 2014 dan menarik diri dari proses yang sedang
berlangsung?
Kembali
ke Jokowi. Ia harus menyadari, terpilih sebagai presiden baru langkah awal. Perjalanan
panjang masih membentang di hadapannya. Kita berharap Jokowi hati-hati
menunjuk anggota kabinetnya, jangan sampai mengulangi kesalahan dari presiden
sebelumnya…. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar