Kamis, 31 Juli 2014

THR

                                                                        THR

Sarlito Wirawan Sarwono  ;   Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia
KORAN SINDO, 27 Juli 2014
                                                


Saya dan istri saya punya beberapa pegawai: dua PRT, dua sopir, dan saya punya staf pribadi (spri). Semua mau Lebaran masing-masing (mau beli baju anak-anak, mau ke Kebun Binatang sama keluarga, mau mudik, dan sebagainya), tetapi ongkosnya dibebankan ke kami, bos nya.

Padahal mereka cuti sampai 2-3 minggu, kami harus bayar full gajinya plus THR (satu bulan gaji full juga). Padahal di mana-mana, orang cuti melebihi jatah, dipotong gaji, minimal dapat SP (surat peringatan), tetapi saya malah harus tambah satu bulan gaji. Tambah celaka lagi spri saya yang nonmuslim pun ikut-ikutan minta THR. Alasannya keluarganya banyak yang muslim. Lah , keluarganya yang muslim, kok saya yang menanggung Lebaran-nya? Ini dari mana logikanya? Padahal dari uang pensiun PNS, saya enggak ada THR.

Saya kerja di PTS (perguruan tinggi swasta) juga enggak ada THR dalam kontrak saya. Honor sebagai konsultan dan penasihat di sana-sini juga enggak ada THR-THR-an. Jadi tiap Lebaran yang ada saya dan istri pusing saja berduaan urus RAPBRTR (Rencana Anggaran dan Belanja Rumah Tangga Ramadan) yang awut-awutan. Untung, anak-anak semua sudah mandiri, jadi enggak usah dipikirkan lagi. Tetapi, THR itu sudah telanjur jadi kebiasaan, bahkan adat, bahkan sudah jadi budaya. Budaya yang salah kaprah. Artinya yang benar jadi salah (enggak kasih THR) dan yang salah jadi benar (harus memberi THR).

Lebaran yang jor-joran hanya khas Indonesia. Di negara-negara lain orang Lebaran biasa-biasa saja. Agama pun menganjurkan puasa dan Idul Fitri diisi dengan memperbanyak ibadah, bukan dengan makan-makan, baju baru, Kebun Binatang, dan mudik. Kebiasaan ini justru sering menimbulkan masalah bagi pihak-pihak tertentu. Sebagai contoh seorang kapolsek (kepala polisi sektor, setingkat kecamatan) mengeluh karena ia bersama rekan-rekan kapolsek lain barusan menerima perintah dari kapolres (kepala kepolisian resor, setingkat kabupaten) untuk memberi THR kepada anak buah masing-masing.

THR itu hanya Rp100.000 per anggota (relatif rendah dibandingkan dengan gaji polisi yang minimal sekitar Rp2.500.000). Tetapi, karena di polseknya ada 60 anggota, kapolsek harus menyiapkan dana sebesar Rp6.000.000. Padahal dana THR tidak disiapkan dalam anggaran Polri, baik dalam PGPol (peraturan gaji polisi) maupun dalam dana operasional. Maka itu, kapolsek yang rata-rata hanya berpangkat AKP (ajun komisaris polisi, setingkat kapten) atau kompol (komisaris polisi, setingkat mayor) pusing sendiri karena perintah kapolres harus ditanggungnya sendiri, padahal gaji penuhnya sendiri sebagai polisi lebih rendah dari dana THR yang harus disiapkannya.

Maka itu, dibutuhkan kreativitas yang luar biasa tinggi dari kapolsek untuk keluar dari masalah ini. Ada kapolsek yang bisa melakukannya, tetapi lebih banyak yang kena migran. Lagi pula tugas siaga I menjelang pilpres yang lalu membuat kapolsek harus fokus kepada tugasnya. Tetapi, itulah faktanya, THR sudah telanjur jadi adat, malah sudah jadi budaya. Kesalahannya di sini adalah kapolres perintahkan kapolsek yang tanggung. Terang saja kapolsek kelimpungan.

Memangnya kapolsek pabrik uang? Ini pola pikir Orde Baru, di mana para kasatwil dianggap take it for granted bisa memanfaatkan jabatannya untuk berbagai keperluan (di zaman KPK kok masih ada pikiran begini, ya ?). Sementara itu, para kapolsek (dan bawahan umumnya) juga rata-rata enggak punya nyali untuk bertanya kepada kapolres (atasan), ”Izin, mohon petunjuk, sumber dana bisa diperoleh dari mana saja, ndan ?” Biar kapolresnya yang pusing untuk menjawab pertanyaan yang mengandung kontradiksi itu.

Tetapi, kalau sudah jadi budaya, mau tidak mau harus diadakan. Ibaratnya adat pengantin Jawa, air siraman harus dari tujuh sumber dan kembang setaman harus tujuh rupa. Tidak masuk akal sama sekali. Tetapi, itulah tuntutan adat budaya, jadi harus dipenuhi. Kalau tidak, kualat . Begitu juga THR.

Dari sudut ilmu manajemen maupun dari sudut agama, sangat dianjurkan untuk memberi imbalan yang sangat layak kepada orang-orang yang sudah bekerja dengan baik. Negara dan bangsa dibangun dengan bekerja, kata orang bijak. Bahkan ada Hadis Rasulullah yang menyatakan bahwa orang yang sudah bekerja wajib dibayar upahnya sebelum keringatnya kering. Di perusahaan swasta ada bonus, di perkebunan ada tantiem, yang besarnya bergantung pada besar-kecil laba perusahaan. Di lingkungan PNS (pegawai negeri sipil) ada gaji ke- 13.

Itulah sistem imbalan yang benar yang bergantung pada sistem merit , bukan pada adat, apalagi agama. Kalau memakai kriteria agama, malah rancu. Muslim enggak muslim sama-sama dapat THR karena terlalu ribet untuk menciptakan sistem THNt (tunjangan hari Natal), THNy (tunjangan hari Nyepi), THW (tunjangan hari Waisak), dan THI (tunjangan hari Imlek) yang terpisah-pisah. Belum kalau ada pegawai-pegawai yang gonta-ganti agama. Tentu saja saya tidak bisa ikut-ikut mencarikan jalan keluar karena saya bukan ulama, pejabat publik, atau komandan. Tetapi, semangatnya adalah marilah kita kembali ke khitah Idul Fitri yang aslinya tidak ada satu pun ayat dan hadis tentang THR.

Jadi mari kita ber-Idul Fitri tanpa THR. Mau belanja baju buat anak-anak, mau mudik, mau bagi-bagi duit ke anak-anak tetangga, silakan. Tetapi, dengan uang sendiri, yang sudah ditabung sejak beberapa bulan sebelumnya. Ibaratnya kalau kita mau mengawinkan anak, mau pakai air dari tujuh sumber atau pakai kembang setaman tujuh rupa, silakan saja, tapi duitnya jangan minta bos.

Sementara itu, saya pernah mendapat cerita tentang seorang tauke (sekarang dipanggil bos ) yang marah-marah pada pegawainya, ”Giliran Lebaran, lo minta THR! Giliran Imlek, lo minta angpau! Kapan giliran gua ... haaa ?”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar