Pentingnya
Rekonsiliasi
Irfani Nurmaliah ;
Peneliti Muda
di
Lembaga Analisa Politik dan Demokrasi, Jakarta
|
HALUAN,
23 Juli 2014
Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono telah memperingatkan akan adanya potensi konflik pasca pemilihan
presiden. Tentunya pernyataan dari seorang kepala negara tidak dapat dianggap
sebagai suatu isapan jempol belaka. Ia tentunya telah menerima masukan dari
para pembantunya di kementerian dan lembaga negara lainnya, terutama lembaga
intelijen dan kepolisian.
Suhu politik pasca hari
pencoblosan pun belum menurun, bahkan dapat dikatakan kian memanas. Kedua
kubu kandidat presiden saling mengklaim sebagai pemenang pemilu. Tim sukses
pun turut memanasi suasana dengan menyebarkan informasi yang belum tentu
valid. Kampanye hitam antar kelompok masih saja berlanjut. Tindakan anarkis
pun akhirnya tidak terhindarkan yang dapat menyulut konflik horizontal
secara nasional.
Untuk menjaga kedamaian
dan kesuksesan berdemokrasi, maka semua pihak harus mewaspadai potensial
konflik pasca pilpres. Seluruh langkah antisipatif harus dilakukan. Belajar
dari pengalaman di sesama negara ASEAN, semua pihak tentunya tidak mau
perpecahan di Thailand yang diakibatkan kisruh pemilihan presiden, akan
terjadi pula di Indonesia.
Merupakan sebuah ancaman
yang sangat besar bila dalam dunia politik dan demokrasi yang semakin
terbuka, masih saja terdapat praktik untuk menjatuhkan lawan dengan kampanye
hitam yang membahayakan kemajemukan bangsa. Pasca hari pencoblosan, kampanye
hitam masih terus saja terjadi. Kedua belah pihak menyatakan bahwa lembaga
survey yang memenangkan masing-masing pihak tidaklah kredibel, dan
mendapatkan bayaran. Rekapitulasi atau tabulasi suara yang tidak valid
dikeluarkan oleh masing-masing tim sukses demi mendapatkan legtimiasi sebagai
pemenang.
Isu yang melibatkan Suku,
Agama, Ras, dan Antar Golongan (SARA) masih terus saja didengungkan.
Padahal hal ini sangatlah sensitif bagi kesatuan bangsa. Sepertinya himbauan
serta peringatan akan larangan dan bahaya atas kampanye hitam tidak berlaku
bagi mereka yang ingin meraih kekuasaan dengan menghalalkan semua cara.
Dalam situasi demikian, masyarakatlah yang harus dewasa dan mampu menyaring
setiap informasi yang diterima.
Klaim saling menang bagaikan
sebuah bom waktu sambil menunggu keputusan resmi KPU pada 22 Juli 2014.
Beberapa jam setelah perhitungan dimulai, Ketua Umum PDI-P, Megawati Soekarnoputri,
sudah mendeklarasikan kemenangan bagi kubu Jokowi-JK. Hal ini didasari hasil
hitung cepat 7 lembaga survey. Beberapa jam kemudian, kubu Prabowo juga
melakukan sujud syukur dan berterima kasih kepada rakyat Indonesia yang sudah
memilihnya sebagai presiden Indonesia selanjutnya.Dan hingga kini, kedua
pasangan kandidat tetap berkeyakinan sebagai pemenang pemilu. Kondisi ini
diperparah oleh pernyataan provokatif dari dua pakar terkenal yang
berkecimpung dalam bidang survei dan sering menjadi narasumber berbagai
seminar dan diskusi. Pakar tersebut pada intinya mengatakan “jika Prabowo-Hatta yang memenangkan
Pilpres 2014, maka KPU telah melakukan kesalahan”.
Seharusnya kedua belah
pihak dapat menahan diri hingga ada pengumuman resmi dari KPU
sebagai lembaga yang berwenang menyatakan pemenang pemilu. Menunggu
waktu rekapitulasi suara selama dua minggu pasca pencoblosan tentunya
lebih baik, dari pada deklarasi yang hanya berdasarkan perhitungan
cepat. Hal yang paling riskan adalah apabila kubu yang kalah tidak dapat
meredam atau mengendalikan emosi dari para pendukungnya.
Dengan semakin memanasnya
suhu politik, maka aksi anarkis tidak terhindarkan. Salah satu aksi yang menuntut
keprihatinan adalah penyerangan dan penyegelan terhadap TV One. Terlepas
dari pemberitaan TV One yang cenderung memprovokasi pihak tertentu, aksi
tersebut jelas mencederai demokrasi dan kebebasan pers. Seharusnya para pihak
yang berkeberatan dan merasa dirugikan menempuh jalur hukum.
Berkaca pada kejadian
tersebut maka bukan tidak mungkin aksi-aksi serupa kembali terjadi. Bisa jadi
timbul aksi yang lebih dahsyat dalam skala yang lebih luas. Oleh karena itu,
para elit politik seharusnya berinisiatif mendinginkan suasana dan bukan
sebaliknya dengan melontarkan isu-isu yang semakin memanaskan suasana.
Tidak hanya itu saja,
rencana untuk mengepung dan menduduki kantor KPU, Mahkamah Konstitusi dan
kantor beberapa lembaga survei akan dilakukan oleh sejumlah massa pendukung
jika salah satu pasangan capres-cawapres yang diidolakannya kalah.
Sebuah Solusi, Yakni
Rekonsiliasi Nasional
Salah satu agenda nasional
terpenting pasca pilpres adalah dicapainya sebuah rekonsiliasi. Maksud
rekonsiliasi disini adalah memulihkan hubungan menjadi kembali normal antara
kedua pasang kandidat, tim sukses, simpatisan dan masyarakat luas setelah
proses politik yang membelah masyarakat beberapa bulan terakhir.Semua
perseteruan, konflik, pertikaian harus diselesaikan dalam sebuah rekonsiliasi
nasional.
Rekonsiliasi harus
dilakukan dengan menimbang masa kampanye yang telah dilalui telah dipenuhi
oleh polemik dan perseteruan antara dua pendukung kandidat. Bahkan dalam
debat kandidat presiden yang dilaksanakan oleh KPU, suasana panas sangat
begitu terasa. Pada tataran akar rumput, di sebagian tempat kampanye diwarnai
dengan kekerasan. Fitnah dan umpatan yang sangat keras juga dengan mudah juga
ditemui di media massa dan media sosial.
Jiwa besar dari kedua
pasangan kandidat presiden dan wakil presiden merupakan kunci utama
tercapainya rekonsiliasi nasional. Pihak yang kalah harus dengan berbesar
hati menerima kekalahan mereka. Sementara itu, pihak yang menang tidak boleh
menyombongkan diri, dan berusaha untuk mengajak kubu lawan untuk
bersama-sama membangun Indonesia ke depan. Momentum rekonsiliasi inilah
yang sangat dinanti seluruh masyarakat terhadap pasangan Prabowo
– Hatta dan Jokowi-Kalla. Mereka akan diingat sebagai negarawan yang meletakkan
ambisi pribadi demi keutuhan bangsa dan negara Indonesia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar