Kenegarawanan
F Budi Hardiman ;
Pengajar Program
Pascasarjana STF Driyarkara
|
KOMPAS,
24 Juli 2014
PERBEDAAN
antara ciri politikus partai dan negarawan cukup kita kenali, sekurangnya
secara intuitif. Di dalam pemilu presiden yang baru saja lewat, kedua
kategori ini diandaikan ketika salah satu calon menyebut calon lain sebagai
seorang negarawan, yakni dengan siratan harapan agar ia mengutamakan
kepentingan bangsa di atas kepentingan golongan. Kenegarawanan,
statesmanship, menjadi kategori yang sangat penting, khususnya ketika negara
dalam ancaman konflik sektarian.
Polarisasi
politis dalam demokrasi elektoral, misalnya, bukanlah sebuah pertarungan
total. Ia ”hanyalah” sebuah prosedur untuk suksesi kekuasaan secara damai.
Pihak-pihak yang terpolarisasi menundukkan diri di bawah mekanisme hukum yang
sama. Dengan ungkapan lain, the will to
power direlatifkan di dalam batas-batas hukum. Seorang calon yang
menerima kekalahan dengan ikhlas dan mengakui kemenangan pihak lawan dianggap
memiliki kualitas kenegarawanan karena supremasi hukum diletakkan di atas
hasrat pribadinya untuk berkuasa.
Kenegarawanan
mengandung muatan-muatan normatif yang tidak dapat disamakan begitu saja
dengan kualitas seorang politikus partai. Di dalam demokrasi, semua warga
negara berhak menjadi politikus, tetapi tidak semua politikus memiliki
kualitas kenegarawanan sehingga demokrasi menjadi arena
kepentingan-kepentingan pragmatis belaka.
Tidak
dibutakan oleh kepentingan kekuasaan semata, seorang negarawan tidak dapat
dilepaskan dari keutamaan-keutamaan moral yang dimiliki oleh seorang manusia
yang bijak dan bajik. Mengetahui perbedaan ini adalah sentral bagi pendidikan
politis dalam masyarakat kita.
”Politikos” dan ”stasiastikos”
Kedua
konsep itu dapat dijelaskan dengan ide tentang keseluruhan dan bagian-bagian.
Seorang negarawan memperhatikan keseluruhan, sementara seorang politikus
biasa terobsesi pada bagian-bagian. Di dalam dialog Politikos, misalnya, Plato membedakan ”politikos” (negarawan) dari ”sophistes”
(sofis). Seorang sofis adalah seorang guru yang ”menjual” pengajarannya kepada orang-orang muda yang berambisi
untuk karier politis.
Apa
yang mereka pelajari dari seorang sofis adalah bagaimana merayu dan
memanipulasi para warga negara. Ahli dalam agitasi massa, sofis adalah
seorang ahli rekayasa politis yang ulung yang dapat mengubah kebenaran
menjadi kesalahan dan kesalahan menjadi kebenaran, tentu lewat provokasi dan
mobilisasi massa. Maka, Plato menyamakannya dengan stimulator monster.
Konsep
sofis memang tidak dapat seluruhnya dialihkan menjadi politikus dalam
pengertian modern, tetapi sulit menyangkal bahwa cukup banyak ciri politikus
partai, tim sukses pemilu, dan konsultan politik dalam demokrasi elektoral
mendekati ciri sofis sehingga kita boleh mengatakan bahwa politikus modern
adalah saudara batin para sofis.
Kaum
sofis ini mengajari para klien mereka untuk menang dalam perkara atau untuk
merebut posisi kuasa, tetapi tidak membawa mereka pada kebenaran dan
kebajikan yang terkait dengan kepentingan semua pihak. Mereka, seperti kata
Plato, adalah stasiastikos atau expert dalam golongan karena para klien
mereka tidak dibawa ke dalam kesadaran akan keseluruhan, tetapi ke dalam
kepentingan sempit untuk sebagian orang.
Kenegarawanan
bukanlah pengetahuan partisan, seperti yang diajarkan para sofis, melainkan
pengetahuan tentang kepentingan semua pihak. Menarik untuk mencermati di sini
bahwa, menurut Plato, kenegarawanan adalah sebuah pengetahuan, suatu keahlian
khusus, tetapi obyeknya adalah keseluruhan yang disebutnya politiké epistemé atau pengetahuan
negara.
Jadi,
kenegarawanan tidak diraih lewat agitasi massa atau dengan mengecoh para
warga negara, tetapi lewat pendidikan karakter untuk adil, bijak, berani, dan
bersahaja. Seorang negarawan adalah seorang expert dalam keseluruhan atau, katakan, seorang spesialis dalam
generalitas.
Karena
tidak semua politikus adalah negarawan yang ahli, hukum tetap merupakan
sarana untuk mengarahkan diri pada kepentingan semua pihak. Karena itu, Plato
berpendapat bahwa jika tidak ada keahlian kenegarawanan, cara terbaik untuk
memerintah adalah dengan menundukkan diri di bawah supremasi hukum. Dengan
menjadi ”penjaga hukum”, seorang penguasa mendidik diri menjadi seorang
negarawan. Akan tetapi, kenegarawanan tidak sama dengan legalisme, kepatuhan
buta pada hukum.
Menurut
Plato, kenegarawanan memungkinkan seorang penguasa juga untuk menyesuaikan
hukum dengan kondisi yang terus berubah-ubah. Alasan dasarnya sekali lagi
adalah bahwa kenegarawanan adalah sebuah pengetahuan tentang keseluruhan,
bukan pengetahuan partisan seorang stasiastikos.
Kenegarawanan calon yang kalah
Saya
sengaja mengacu kepada Plato, pemikir dari dua setengah milenium yang silam,
karena kategori-kategori yang dikemukakannya sedang kita hadapi akhir-akhir
ini. Kita memiliki banyak politikus partai yang bahkan di dalam Pilpres 2014
ini nyaring mengeluarkan klaim-klaim keseluruhan, padahal kebanyakan tidak
lebih daripada stasiastikos.
Pilpres
bukan momen normal, melainkan sebuah momen luar biasa sebuah suksesi
kekuasaan. Dalam momen normal, para politikus partai dibatasi oleh sebuah
pemerintahan politis. Namun, dalam suksesi kekuasaan, mereka memiliki klaim
keseluruhan untuk membentuk sebuah pemerintahan politis. Artinya, suksesi
kekuasaan adalah sebuah momen luar biasa karena para politikus partai yang
dalam kondisi normal bersikap sebagai expert
dalam golongan sekarang mengklaim diri sebagai expert dalam keseluruhan.
Klaim
itu dalam demokrasi adalah wajar karena proses demokratis seperti pemilu
merupakan momen seluruh warga negara bersentuhan dengan dimensi keseluruhan
politis sekalipun mereka bertolak dari kepentingan bagian-bagian.
Pernyataan-pernyataan, seperti seluruh bangsa terbelah menjadi dua, dan
kecemasan akan terjadinya kerusuhan setelah pengumuman Komisi Pemilihan Umum
(KPU) menunjukkan seolah-olah kedua kubu yang bertarung di dalam pilpres
berhak atas keseluruhan, atas komunitas politis sebagai keseluruhan.
Satu
hal yang dilupakan bahwa kita memiliki sistem hukum sebagai ”yang ketiga” yang menengahi suksesi
demokratis itu. Di dalam negara hukum demokratis, yang ketiga ini, sistem
hukum, memiliki prioritas atas para politikus partai dalam klaim atas
keseluruhan. Karena itu, kualitas kenegarawanan para capres-cawapres diukur
dari pelaksanaan komitmen mereka untuk menjadi ”penjaga hukum”.
Memang
tidaklah mudah menerima kekalahan setelah menghabiskan banyak waktu, tenaga,
dan harta disertai imajinasi agung untuk memenangkan pilpres. Perbedaan
jumlah perolehan kedua kubu tidaklah sangat besar, tetapi lalu hanya ada satu
pemenang yang boleh diterima oleh keseluruhan. Bagaimana mungkin dukungan
oleh sebagian kemudian berubah menjadi dukungan oleh keseluruhan?
Itulah
keajaiban sekaligus absurditas demokrasi elektoral! Karena itu, sangatlah
berbahaya bagi keseluruhan jika kubu yang kalah tidak merelatifkan imajinasi
politisnya di bawah sistem hukum. Menerima kekalahan merupakan sebuah
keutamaan demokratis seorang kandidat yang telah terbukti memiliki dukungan
suara yang hampir sama kuatnya dengan kandidat yang menang.
Kualitas
kenegarawanan ditunjukkan lewat pelaksanaan komitmennya pada hukum dan
demokrasi. Dengan cara itu, dia tidak bersikap sebagai stasiastikos yang
dikurung oleh kesempitan kepentingannya dan yang mengancam keseluruhan,
tetapi sebagai politikos yang mengutamakan kepentingan keseluruhan dan
menjamin keutuhan komunitas politis. Untuk menerima kemenangan cukup
dibutuhkan sikap seorang stasiastikos.
Namun, untuk menerima kekalahan dibutuhkan sikap seorang politikos.
Tanpa
damai sejahtera di hati dan kebesaran jiwa seorang negarawan, mustahil
menerima kekalahan.
Kenegarawanan pemimpin baru
Pemimpin
baru yang menang tidak lagi sendirian dengan kepentingan kubunya yang sewaktu
kampanye lebih menunjukkan kepentingan kubunya. Dia sudah membawa momen
keseluruhan di dalam fakta legal kemenangannya. Kualitas kenegarawanan
ditunjukkan olehnya jika ia dapat merangkul kubu yang kalah di dalam sebuah
gramatika kepentingan keseluruhan sebuah komunitas politis sehingga di
dalamnya tidak ada lagi ”kita dan mereka”, melainkan hanya ”kita”.
Seorang
pemenang yang masih berbicara dalam gramatika kepentingan golongan tak lebih
daripada seorang stasiastikos yang memerintah. Orang ini berbahaya bagi
keseluruhan. Kemampuan untuk mengubah gramatika kepentingan tersebut banyak
tergantung bukan hanya dari karakter atau keutamaan politis seorang penguasa,
melainkan juga dari sistem hukum yang membatasi kekuasaannya.
Selama
Pilpres 2014, kita sudah telanjur terlalu percaya pada karakter para
kandidat, padahal karakter bisa membusuk di dalam lingkungan sistem kekuasaan
yang buruk. Dalam Politikos, Plato mengatakan bahwa penguasa dan pejabat yang
gagal mengikatkan diri mereka pada hukum adalah seorang bajingan yang
mengejar kepentingan golongannya. Membereskan negara dari para bajingan bukan
pekerjaan mudah karena godaan untuk menjadi pembela golongan sendiri
sangatlah besar.
Di
sini kita bisa membedakan antara kenegarawanan yang sudah dan yang belum.
Kenegarawanan calon yang kalah sudah terbukti begitu dia menerima kekalahan
demi kepentingan keseluruhan. Akan tetapi, kenegarawanan seorang pemenang
pilpres belum terbukti pada saat dia menerima kemenangannya, melainkan justru
masih harus dibuktikan selama dia memerintah.
Baru
dalam proses ujian panjang pemerintahannya dia akan menyingkapkan diri, entah
sebagai seorang negarawan atau sebenarnya hanyalah seorang politikus partai
yang mementingkan golongannya saja, seorang stasiastikos. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar