Doktrin
Maritim ala Jokowi-JK
Auhadillah Azizy ;
Pemerhati Kelautan dan
Perikanan, Alumnus Sekolah Pascasarjana Program Studi Pengelolaan Sumber Daya
Pesisir dan Laut IPB
|
JAWA
POS, 25 Juli 2014
SETELAH
ditetapkan sebagai pemenang Pilpres 2014, pasangan Jokowi-JK langsung menuju
Pelabuhan Sunda Kelapa dan menyatakan pidato kemenangannya di atas kapal
Phinisi Hati Buana Setia. Simbolisasi itu menegaskan betapa pemimpin nasional
yang baru (Jokowi) mempunyai kesadaran yang kuat untuk membawa kapal bangsa
Indonesia yang selama ini kebanyakan berlabuh di daratan kembali ke laut.
Kesadaran itu menunjukkan bahwa Jokowi sebagai presiden Indonesia yang baru
mengerti dan menghayati natur kemaritiman Indonesia.
Menjawab Natur Maritim Indonesia
Soekarno
mengawali kesadaran natur maritim dengan menunjuk PM Djoeanda untuk membuat
deklarasi wawasan Nusantara pada 13 Desember 1957 dan memperjuangkan di forum
internasional asas archipelago Indonesia melalui United Nations Convention on
the Law of the Sea (UNCLOS) 1958. Keseriusan Bung Karno itu kembali
ditegaskan dalam Munas Maritim 1963 dengan menyatakan, ”Kita tidak bisa kuat,
sentosa, dan sejahtera selama kita tidak kembali menjadi bangsa bahari
seperti masa dahulu.” Melalui penunjukan Ali Sadikin sebagai menteri
koordinator maritim, Soekarno menjadikan laut Nusantara sebagai pilar utama
penggerak perekonomian nasional.
Pergantian
kepemimpinan dari orde lama ke orde baru telah menjadikan orientasi maritim
yang sudah tertanam dalam pembangunan nasional kembali meredup, bahkan
menghilang. Orientasi pembangunan bergeser ke daratan atau continental
oriented development (COD).Orde baru dengan dibantu IMF dan Bank Dunia telah
menyurutkan pembangunan maritim yang menjadi natur bangsa Indonesia.
Pasang
kesadaran kesejarahan kembali hidup saat Gus Dur membentuk Departemen
Eksplorasi Laut dan Perikanan serta menunjuk Sarwono Kusumaatmadja sebagai
menterinya. Gus Dur sepertinya ingin menghormati jasa Mochtar Kusumaatmadja
atas kegigihannya dalam memperjuangkan Deklarasi Djoeanda sehingga pada 1982
UNCLOS mengakui kepemilikan laut Indonesia seluas 5,8 juta kilometer persegi.
Setelah era Gus Dur, wacana maritim kembali surut meskipun kelembagaan
Kementerian Kelautan dan Perikanan masih terus ada dalam era pemerintahan
berikutnya sampai era SBY. Selanjutnya, Jokowi kembali menyegarkan ingatan
kesejarahan bangsa dengan memberikan harapan baru melalui doktrin maritim
dunianya.
Kesadaran
Jokowi-JK juga mengoreksi kesalahan mendasar cara pandang selama ini dalam
memaknai Indonesia sebagai negara kepulauan (archipelago state). Definisi masa lalu sering menyebutnya
”gugusan pulau”, yang memberikan gambaran sebagai ”pulau-pulau yang
dikelilingi air”. Kesalahan cara pandang itu telah menjadikan kita tersesat
selama puluhan tahun sejak orde baru hingga saat ini. Padahal sejatinya
adalah ”perairan yang bertabur pulau-pulau”. Tidak salah jika Sumpah Pemuda
1928 menyebutnya sebagai ”tanah air” karena mereka menyadari bahwa 75 persen
wilayah Indonesia adalah laut. Untuk mengonfirmasi keseriusannya dalam
membangun doktrin maritim, Jokowi-JK membuat sembilan agenda prioritasnya,
termasuk menghadirkan lagi negara untuk melindungi segenap bangsa dan
memberikan rasa aman kepada seluruh warga negara. Salah satu agendanya adalah
pengamanan kepentingan dan maritim Indonesia, khususnya batas negara,
kedaulatan maritim, dan sumber daya alam. Agenda itu selanjutnya diperkuat
tiga doktrin ideologis, yaitu berdaulat dalam bidang politik, berdikari dalam
bidang ekonomi, dan berkepribadian dalam bidang kebudayaan.
Tantangan bagi Doktrin Maritim
Implementasi
doktrin maritim akan mendapatkan tantangan. Setidaknya ada beberapa tantangan
ke depan yang harus diantisipasi dan berpeluang menyurutkan lagi mimpi
menjadi negara besar dari kejayaan maritim. Pertama, membalikkan kesadaran
membantu. Politik divide et impera yang ditanamkan Belanda pada abad XVIII
telah berhasil mamatikan jati diri sebagai bangsa maritim menjadi agenda
kolonialnya. Dengan sistem tanam paksa, Belanda mendorong pribumi untuk
membangun perkebunan. Bangsa Indonesia terjatuh pada mental inlander, tidak
percaya diri. Gagasan revolusi mental idealnya ditaruh dalam kapasitasnya
mengubah mental inlander, dari inward looking menjadi outward looking, dari
introvert menjadi extrovert, dari pedalaman menuju pesisir, dan dari negara
sedang berkembang menjadi negara maju. Pendidikan adalah solusi dalam menempa
kepribadian bahari bangsa.
Kedua,
ketimpangan ekonomi yang selama ini menganga antara daratan utama (mainland) dan pulau-pulau kecil (PPK).
Doktrin maritim idealnya mampu mengubah cara pandang pembangunan terhadap
pulau daratan dengan PPK. Wilayah seperti Kepulauan Riau, Natuna, dan wilayah
kepulauan lain tidak bisa didekati dengan pendekatan daratan. Sebagai contoh,
betapa timpang pembangunan wilayah di DKI Jakarta jika dibandingkan dengan
Kepulauan Seribu. Hal itu terjadi karena kesalahan cara pandang pembangunan
dalam melihat pulau daratan dan PPK.
Ketiga,
konflik perbatasan dan regional. Ketidakseriusan pemerintah menggarap maritim
terlihat sejak insiden gugus tempur kapal induk USS Carl Vinson Juli 2003 di
perairan Bawean, lepasnya pulau-pulau terluar Sipadan-Ligitan, pengerukan
pasir laut di banyak wilayah Riau sehingga memperluas wilayah daratan
Singapura dan berakibat hilangnya PPK, sampai kasus blok ambalat. Itu adalah
serangkaian sejarah masa lalu yang tidak boleh terulang. Selain itu, konflik
Laut China Selatan akan menjadi tantangan tersendiri bagi pemerintahan
Jokowi-JK. Wilayah tersebut telah diperebutkan enam negara Pasifik yang
sama-sama mengklaim kedaulatan nasionalnya atas area yang kaya sumber daya
alam itu. Salah satunya Tiongkok dengan kekuatan lautnya. Belum lagi potensi
Selat Malaka serta alur laut kepulauan Indonesia (ALKI) yang belum optimal
dimanfaatkan.
Keempat,
mengapitalisasi potensi kekayaan sumber daya alam maritim menjadi kekuatan
ekonomi baru. Indonesia memiliki wilayah laut seluas 5,8 juta kilometer
persegi dan 17.504 pulau kecil serta dikelilingi garis pantai sepanjang
95.161 kilometer. Sedikitnya terdapat sebelas sektor ekonomi yang dapat
dikembangkan dari kekayaan laut itu. Yakni, perikanan tangkap, perikanan budi
daya, industri pengolahan hasil perikanan, industri bioteknologi kelautan,
pertambangan dan energi, pariwisata bahari, transportasi laut, kehutanan,
sumber daya wilayah pulau-pulau kecil, industri dan jasa maritim, serta
sumber daya alam nonkonvensional. Potensi total nilai ekonomi sebelas sektor
kelautan tersebut diperkirakan mencapai USD 800 miliar (Rp 7.600 triliun) per
tahun atau lebih dari tujuh kali lipat APBN 2009 dan 1,5 kali PDB saat ini.
Ekonomi kelautan semakin strategis bagi Indonesia seiring dengan pergeseran
pusat ekonomi dunia dari poros Atlantik ke Asia Pasifik. Dewasa ini, 70
persen perdagangan dunia berlangsung di kawasan Asia Pasifik. Sekitar 75
persen dari seluruh produk dan komoditas yang diperdagangkan di kawasan itu
ditransportasikan melalui laut Indonesia dengan nilai sekitar USD 1.300
triliun per tahun (Dahuri, 2010).
Kelima,
melakukan pengarusutamaan (mainstreaming) pembangunan kelautan dan perikanan.
Membongkar kesadaran akan natur Indonesia membutuhkan kerja keras semua
pihak. Sebab, keterlupaan sejarah itu menjangkiti hampir semua elemen bangsa,
mulai elite sampai rakyat. Perubahan pendekatan pembangunan seharusnya antara
pulau daratan dan PPK. Keenam, mencari sumber-sumber pertumbuhan ekonomi baru
di wilayah maritim. Indonesia memiliki sekitar 17.504 PPK yang tersebar di
seluruh Indonesia. PPK tersebut memiliki sumber daya perairan dan darat yang
kaya, baik perikanan, sumber daya mineral, pariwisata, maupun energi.
Dibutuhkan tata kelola PPK yang tepat untuk mengurangi kesenjangan
pembangunan yang terjadi selama ini antara mainland dan PPK. Belum lagi
energi terbarukan yang dapat dibangkitkan dari air laut dan angin di
wilayah-wilayah pesisir. Terdapat pula 35 juta ton garam, 66.000 ton bromium,
200 ton litium, 50 ton yodium, titanium, uranium, serta perak dan emas yang
tersimpan di dasar lautan.
Ketujuh,
menjawab takdir geografis. Tuhan tentu tidak asal menciptakan Indonesia
berupa kepulauan, apalagi kebetulan. Pertanyaannya, seberapa jauh kemauan
kita memenuhi takdir Tuhan tersebut. Jawabannya berada pada cara pandang
sebagai bangsa dan tentu saja di bawah kepemimpinan nasional Jokowi-JK,
menjemput takdir itu dilakukan bersama-sama. Semoga terpilihnya presiden baru
Indonesia yang bertepatan dengan Ramadan menjadi pertanda baik bagi kerinduan
semua anak bangsa untuk Indonesia yang besar, Indonesia yang bangkit,
Indonesia yang hebat, dan Indonesia yang maju di bawah rida Allah SWT. Semoga. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar