Kamis, 31 Juli 2014

Doktrin Maritim ala Jokowi-JK

                                Doktrin Maritim ala Jokowi-JK

Auhadillah Azizy  ;   Pemerhati Kelautan dan Perikanan, Alumnus Sekolah Pascasarjana Program Studi Pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan Laut IPB
JAWA POS, 25 Juli 2014
                                                


SETELAH ditetapkan sebagai pemenang Pilpres 2014, pasangan Jokowi-JK langsung menuju Pelabuhan Sunda Kelapa dan menyatakan pidato kemenangannya di atas kapal Phinisi Hati Buana Setia. Simbolisasi itu menegaskan betapa pemimpin nasional yang baru (Jokowi) mempunyai kesadaran yang kuat untuk membawa kapal bangsa Indonesia yang selama ini kebanyakan berlabuh di daratan kembali ke laut. Kesadaran itu menunjukkan bahwa Jokowi sebagai presiden Indonesia yang baru mengerti dan menghayati natur kemaritiman Indonesia.

Menjawab Natur Maritim Indonesia

Soekarno mengawali kesadaran natur maritim dengan menunjuk PM Djoeanda untuk membuat deklarasi wawasan Nusantara pada 13 Desember 1957 dan memperjuangkan di forum internasional asas archipelago Indonesia melalui United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) 1958. Keseriusan Bung Karno itu kembali ditegaskan dalam Munas Maritim 1963 dengan menyatakan, ”Kita tidak bisa kuat, sentosa, dan sejahtera selama kita tidak kembali menjadi bangsa bahari seperti masa dahulu.” Melalui penunjukan Ali Sadikin sebagai menteri koordinator maritim, Soekarno menjadikan laut Nusantara sebagai pilar utama penggerak perekonomian nasional.

Pergantian kepemimpinan dari orde lama ke orde baru telah menjadikan orientasi maritim yang sudah tertanam dalam pembangunan nasional kembali meredup, bahkan menghilang. Orientasi pembangunan bergeser ke daratan atau continental oriented development (COD).Orde baru dengan dibantu IMF dan Bank Dunia telah menyurutkan pembangunan maritim yang menjadi natur bangsa Indonesia.

Pasang kesadaran kesejarahan kembali hidup saat Gus Dur membentuk Departemen Eksplorasi Laut dan Perikanan serta menunjuk Sarwono Kusumaatmadja sebagai menterinya. Gus Dur sepertinya ingin menghormati jasa Mochtar Kusumaatmadja atas kegigihannya dalam memperjuangkan Deklarasi Djoeanda sehingga pada 1982 UNCLOS mengakui kepemilikan laut Indonesia seluas 5,8 juta kilometer persegi. Setelah era Gus Dur, wacana maritim kembali surut meskipun kelembagaan Kementerian Kelautan dan Perikanan masih terus ada dalam era pemerintahan berikutnya sampai era SBY. Selanjutnya, Jokowi kembali menyegarkan ingatan kesejarahan bangsa dengan memberikan harapan baru melalui doktrin maritim dunianya.

Kesadaran Jokowi-JK juga mengoreksi kesalahan mendasar cara pandang selama ini dalam memaknai Indonesia sebagai negara kepulauan (archipelago state). Definisi masa lalu sering menyebutnya ”gugusan pulau”, yang memberikan gambaran sebagai ”pulau-pulau yang dikelilingi air”. Kesalahan cara pandang itu telah menjadikan kita tersesat selama puluhan tahun sejak orde baru hingga saat ini. Padahal sejatinya adalah ”perairan yang bertabur pulau-pulau”. Tidak salah jika Sumpah Pemuda 1928 menyebutnya sebagai ”tanah air” karena mereka menyadari bahwa 75 persen wilayah Indonesia adalah laut. Untuk mengonfirmasi keseriusannya dalam membangun doktrin maritim, Jokowi-JK membuat sembilan agenda prioritasnya, termasuk menghadirkan lagi negara untuk melindungi segenap bangsa dan memberikan rasa aman kepada seluruh warga negara. Salah satu agendanya adalah pengamanan kepentingan dan maritim Indonesia, khususnya batas negara, kedaulatan maritim, dan sumber daya alam. Agenda itu selanjutnya diperkuat tiga doktrin ideologis, yaitu berdaulat dalam bidang politik, berdikari dalam bidang ekonomi, dan berkepribadian dalam bidang kebudayaan.

Tantangan bagi Doktrin Maritim

Implementasi doktrin maritim akan mendapatkan tantangan. Setidaknya ada beberapa tantangan ke depan yang harus diantisipasi dan berpeluang menyurutkan lagi mimpi menjadi negara besar dari kejayaan maritim. Pertama, membalikkan kesadaran membantu. Politik divide et impera yang ditanamkan Belanda pada abad XVIII telah berhasil mamatikan jati diri sebagai bangsa maritim menjadi agenda kolonialnya. Dengan sistem tanam paksa, Belanda mendorong pribumi untuk membangun perkebunan. Bangsa Indonesia terjatuh pada mental inlander, tidak percaya diri. Gagasan revolusi mental idealnya ditaruh dalam kapasitasnya mengubah mental inlander, dari inward looking menjadi outward looking, dari introvert menjadi extrovert, dari pedalaman menuju pesisir, dan dari negara sedang berkembang menjadi negara maju. Pendidikan adalah solusi dalam menempa kepribadian bahari bangsa.

Kedua, ketimpangan ekonomi yang selama ini menganga antara daratan utama (mainland) dan pulau-pulau kecil (PPK). Doktrin maritim idealnya mampu mengubah cara pandang pembangunan terhadap pulau daratan dengan PPK. Wilayah seperti Kepulauan Riau, Natuna, dan wilayah kepulauan lain tidak bisa didekati dengan pendekatan daratan. Sebagai contoh, betapa timpang pembangunan wilayah di DKI Jakarta jika dibandingkan dengan Kepulauan Seribu. Hal itu terjadi karena kesalahan cara pandang pembangunan dalam melihat pulau daratan dan PPK.

Ketiga, konflik perbatasan dan regional. Ketidakseriusan pemerintah menggarap maritim terlihat sejak insiden gugus tempur kapal induk USS Carl Vinson Juli 2003 di perairan Bawean, lepasnya pulau-pulau terluar Sipadan-Ligitan, pengerukan pasir laut di banyak wilayah Riau sehingga memperluas wilayah daratan Singapura dan berakibat hilangnya PPK, sampai kasus blok ambalat. Itu adalah serangkaian sejarah masa lalu yang tidak boleh terulang. Selain itu, konflik Laut China Selatan akan menjadi tantangan tersendiri bagi pemerintahan Jokowi-JK. Wilayah tersebut telah diperebutkan enam negara Pasifik yang sama-sama mengklaim kedaulatan nasionalnya atas area yang kaya sumber daya alam itu. Salah satunya Tiongkok dengan kekuatan lautnya. Belum lagi potensi Selat Malaka serta alur laut kepulauan Indonesia (ALKI) yang belum optimal dimanfaatkan.

Keempat, mengapitalisasi potensi kekayaan sumber daya alam maritim menjadi kekuatan ekonomi baru. Indonesia memiliki wilayah laut seluas 5,8 juta kilometer persegi dan 17.504 pulau kecil serta dikelilingi garis pantai sepanjang 95.161 kilometer. Sedikitnya terdapat sebelas sektor ekonomi yang dapat dikembangkan dari kekayaan laut itu. Yakni, perikanan tangkap, perikanan budi daya, industri pengolahan hasil perikanan, industri bioteknologi kelautan, pertambangan dan energi, pariwisata bahari, transportasi laut, kehutanan, sumber daya wilayah pulau-pulau kecil, industri dan jasa maritim, serta sumber daya alam nonkonvensional. Potensi total nilai ekonomi sebelas sektor kelautan tersebut diperkirakan mencapai USD 800 miliar (Rp 7.600 triliun) per tahun atau lebih dari tujuh kali lipat APBN 2009 dan 1,5 kali PDB saat ini. Ekonomi kelautan semakin strategis bagi Indonesia seiring dengan pergeseran pusat ekonomi dunia dari poros Atlantik ke Asia Pasifik. Dewasa ini, 70 persen perdagangan dunia berlangsung di kawasan Asia Pasifik. Sekitar 75 persen dari seluruh produk dan komoditas yang diperdagangkan di kawasan itu ditransportasikan melalui laut Indonesia dengan nilai sekitar USD 1.300 triliun per tahun (Dahuri, 2010).

Kelima, melakukan pengarusutamaan (mainstreaming) pembangunan kelautan dan perikanan. Membongkar kesadaran akan natur Indonesia membutuhkan kerja keras semua pihak. Sebab, keterlupaan sejarah itu menjangkiti hampir semua elemen bangsa, mulai elite sampai rakyat. Perubahan pendekatan pembangunan seharusnya antara pulau daratan dan PPK. Keenam, mencari sumber-sumber pertumbuhan ekonomi baru di wilayah maritim. Indonesia memiliki sekitar 17.504 PPK yang tersebar di seluruh Indonesia. PPK tersebut memiliki sumber daya perairan dan darat yang kaya, baik perikanan, sumber daya mineral, pariwisata, maupun energi. Dibutuhkan tata kelola PPK yang tepat untuk mengurangi kesenjangan pembangunan yang terjadi selama ini antara mainland dan PPK. Belum lagi energi terbarukan yang dapat dibangkitkan dari air laut dan angin di wilayah-wilayah pesisir. Terdapat pula 35 juta ton garam, 66.000 ton bromium, 200 ton litium, 50 ton yodium, titanium, uranium, serta perak dan emas yang tersimpan di dasar lautan.

Ketujuh, menjawab takdir geografis. Tuhan tentu tidak asal menciptakan Indonesia berupa kepulauan, apalagi kebetulan. Pertanyaannya, seberapa jauh kemauan kita memenuhi takdir Tuhan tersebut. Jawabannya berada pada cara pandang sebagai bangsa dan tentu saja di bawah kepemimpinan nasional Jokowi-JK, menjemput takdir itu dilakukan bersama-sama. Semoga terpilihnya presiden baru Indonesia yang bertepatan dengan Ramadan menjadi pertanda baik bagi kerinduan semua anak bangsa untuk Indonesia yang besar, Indonesia yang bangkit, Indonesia yang hebat, dan Indonesia yang maju di bawah rida Allah SWT. Semoga. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar