Mudik,
Urbanisasi, dan Kesehatan
Saratri Wilonoyudho ;
Ketua Koalisi Kependudukan Jateng,
Dosen Tata Kota Universitas Negeri
Semarang
|
SUARA
MERDEKA, 26 Juli 2014
“Andai
pertumbuhan penduduk dan migrasi ke kota besar tetap tak terkendali maka
bencana akan menanti”
FENOMENA arus mudik yang
luar biasa, terutama dari Jakarta ke wilayah pedesaan di Jawa Tengah dan Jawa
Timur menunjukkan betapa superioritasnya Jakarta atas daerah lain di
Indonesia. Ibu Kota mengalami urbanisasi berlebih dan tampaknya akan diikuti
oleh kota-kota besar lain di Indonesia, seperti Semarang, Bandung, Surabaya,
Medan, dan Palembang.
Urbanisasi punya berbagai
dampak ikutan, menyangkut terutama masalah kesejahteraan dan kesehatan.
Tulisan ringan ini hanya mengingatkan kota-kota lain untuk mewaspadai dampak
kesehatan akibat urbanisasi yang tak terkendali. Tema tentang ”Urbanisasi dan
Kesehatan” yang diusung pada 7 April 2010 sangat menarik untuk dikupas lebih
dalam.
Sederhana saja, kepesatan
pembangunan di negeri ini yang masih
urban bias mengakibatkan kota-kota mengalami permasalahan lebih berat, yakni
makin membesarnya jumlah penduduk di satu sisi, serta penyediaan lapangan kerja
dan pelayanan sosial yang kurang baik di sisi lain.
Akibat lebih jauh, daya
tampung kota makin terbatas, dan pemerintah kota kesulitan menyediakan sarana
dan prasarana umum serta pelayanan sosial yang baik.
Daerah-daerah kumuh
bertambah luas karena banyak penduduk miskin menyerobot tanah di tepi rel,
kolong jembatan, bantaran sungai, dan sebagainya, untu bermukim. Kondisi itu
menyebabkan mereka mudah terserang penyakit menular. Perkampungan kumuh
ini umumnya jauh dari pelayanan kota, seperti air minum, listrik, fasilitas
pelayanan mandi, cuci, kakus (MCK), sistem pembuatan sampah, fasilitas
kesehatan dan sebagainya.
Data Survei Demografi dan
Kesehatan Indonesia (2007), menunjukkan hanya 65,7% penduduk perkotaan
memiliki WC dengan septic tank, dan hanya 42,7% yang menggunakan sumber air
minum dari sumur/ledeng yang terlindung. Sulitnya mendapatkan pelayanan air
bersih yang murah mendorong penduduk perkotaan yang bermukim di tepi sungai
menggunakan sungai untuk mandi, cuci, kakus, dan tempat membuang sampah.
Keadaan ini diperburuk oleh ulah industriwan yang membuang limbah di daerah
aliran sungai (DAS).
Masalah lain adalah
pencemaran yang diakibatkan oleh asap kendaraan bermotor atau asap pabrik di
kota-kota besar. Kualitas udara di perkotaan umumnya telah tercemar berbagai
polutan seperti karbon monoksida, timah hitam, hidrokarbon, dan sebagainya.
Kualitas yang tidak menguntungkan ini tentu saja merupakan aspek yang tidak
dapat diremehkan karena dapat mengganggu kesehatan.
Penelitian dari Adair
(2005) menunjukkan tingkat kematian anak dari golongan miskin kota di wilayah
pinggiran megaurban Jakarta lebih tinggi dibanding tingkat kematian anak di
pedesaan. Yulinawati (2005) juga menemukan fakta bahwa Jakarta mengalami
degradasi lingkungan luar biasa. Warga miskin kota justru mengeluarkan dana
lebih besar untuk mendapatkan pelayanan air bersih.
Badan Kesehatan Dunia, WHO
(2002) juga melaporkan lebih dari 3 miliar penduduk dunia kekurangan kalori,
nutrient dan vitamin, serta menderita malnutrisi, dan sebagainya hingga rawan
terkena penyakit (Cassils, 2004).
Di India, Chandrasekhar (2007) juga menyebutkan bahwa tingkat konsumsi dan
distribusi rumah tangga miskin kota terhadap private goods dan public goods
yang tinggal di daerah non-slum, ternyata tidak lebih baik jika dibanding
mereka yang tinggal di kawasan kumuh dan liar. Hal itu mengingat derajat
kesehatan mereka sangat rendah.
Urbanisasi
di Indonesia
Data BPS (1995, 2005)
menunjukkan bahwa proporsi penduduk perkotaan di Indonesia makin membesar,
yakni 22,3% pada 1980 menjadi 30,9% pada 1990 dan melonjak tajam menjadi
43,1% pada 2005, bahkan kini sudah lebih dari 50%. Pertumbuhan kota-kota di
Tanah Air ini juga terkait pertumbuhan ekonomi dunia.
Menurut Cohen (2006),
pada awal abad XX hanya ada 16 kota di dunia yang berpenduduk lebih dari 1
juta jiwa, namun sekarang ada sekitar 400 kota.
Bahkan tahun 2017
diperkirakan, urban area akan lebih menonjol dibanding rural area.
Diperkirakan pertumbuhan penduduk pedesaan menurun dari 3,3 miliar jiwa
(2003) menjadi 3,2 miliar jiwa (2030). Kalau tahun 1950-an ada sekitar 1,8
miliyar orang yang tinggal di pedesaan atau rural area, tahun 2000 jumlah itu
akan menjadi 3,2 miliar jiwa. Pada sisi lain, dalam 30 tahun jumlah penduduk
kota bertambah 2 miliar jiwa.
Namun akibat lemahnya
manajemen maka pembangunan kota di negeri ini banyak mengalami masalah.
Menurut Laquian (2008) permasalahan tersebut di antaranya sulitnya mengontrol
pertumbuhan kota dan pembangunan wilayah periferi; peremajaan kawasan pusat
kota; pengurangan polusi lingkungan; isu perencanaan wilayah dan kota;
kesenjangan kemampuan keuangan; partisipasi masyarakat; dan keterbukaan dan
akuntabilitas.
Dari sketsa singkat itu terlihat jelas bahwa
andai pertumbuhan penduduk dan arus migrasi ke kota besar tetap tidak
terkendali maka bencana akan menanti. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar