Sahur
Sosial Warga Kos
Eko Triono ;
Mahasiswa Program
Pascasarjana PBI UNS Surakarta
|
SUARA
MERDEKA, 21 Juli 2014
Anda pernah atau bahkan sedang bermukim di kos-kosan, baik karena
harus studi di tempat yang jauh atau karena pekerjaan, dan kemudian bertemu
dengan bulan suci Ramadan? Kalau demikian, perhatikan rangkaian hal-hal
menarik berikut. Dimulai dari toleransi. Andai di wilayah kos terdapat warga
nonmuslim, kita bisa membuktikan toleransi antarumat beragama.
Bahkan tidak sedikit dari mereka yang nonmuslim ’’ikut’’ dalam
kegiatan berbuka puasa bersama, termasuk membangunkan makan sahur bagi
tetangga kosnya yang muslim dan hendak berpuasa. Soal bangun-membangunkan
ini, meskipun berkesan sederhana, di dalamnya terdapat muatan kecerdasan
sosial yang bermanfaat.
Ketika Anda dibangunkan sahur oleh tetangga kos, sebelah kamar,
atau sejenisnya, ada satu hal yang tidak bisa diperoleh saat dibangunkan oleh
alarm, yaitu: mengucapkan terima kasih. Terima kasih adalah kesadaran untuk
bersyukur atas nikmat atau bantuan yang diperoleh. Bukankah baik sekali jika
seorang manusia bangun tidur langsung merasa bersyukur?
Bagi yang tidak memasak sendiri, waktu sahur adalah saat di mana
warga kos-kosan mencari warung terdekat untuk makan bersama-sama. ’’Ritual’’
sosial religius berkumpul pada sekitar pukul 03.00 untuk makan bersama dengan
orang-orang yang belum lama dikenal, adalah kejadian sosial yang langka.
Mereka menyantap masakan dari pemasak yang sama, rasa yang sama,
harga yang sama, dan memulainya dengan berdoa: doa yang sama. Di lingkungan
kos-kosan, kecil kemungkinan mereka yang berbeda pilihan capres akan memilih
warung makan yang jauh, sesuai dengan kelompoknya masing-masing.
Ada contoh oasis yang menunjukkan betapa muslim adalah saudara,
apa pun pilihan politik dan status sosialnya, di tempat yang mungkin tidak
kita duga sebelumnya: warung di daerah koskosan pada masa sahur. Saat para
peminta jabatan saling berebut kursi, di warung tersebut, orang-orang justru
tampil mulia dengan memberikan kursi pada yang dirasa lebih butuh; perempuan,
orang tua, dan sejenisnya.
Karakter Sosial
Mereka yang sudah duduk, tidak memperlama-lama makan sebab di
luar masih mengantre pembeli lain. Para ahli pendidikan boleh berteori
tentang karakter sosial masyarakat dan sebagainya, tapi di warung sahur,
warga kos-kosan sudah aktif mempraktikkannya, bahkan mungkin sebelum teori
tersebut ada.
Yang lebih sederhana adalah jika Anda laki-laki lajang dan percaya
pada teori perempuan cantik adalah yang baru bangun tidur maka jika Anda
merasa perlu tahu, waktu sahur di warung kos-kosan adalah salah satu saat
paling tepat untuk melakukan ’’survei’’dengan data valid.
Cantik di sini bukan hanya soal fisik tapi dalam arti ia
menjalankan puasa dan mau bersosialisasi. Begitu juga tidak ada laki-laki
baik yang tidak menjalankan perintah agamanya, sehingga Anda (wanita lajang)
bisa mengecek di warung saat sahur, dan bisa jadi ada di antara mereka adalah
jodoh Anda.
’’Jodoh’’ yang akan malu saat teman kuliahnya berpuasa,
sementara ia tidak. Oleh karena itu, momen sahur bersama warga koskosan yang
natural tersebut juga menjadi alat untuk mengajak beribadah, tanpa teriakan,
tanpa ancaman, bahkan tanpa kata yang pernah terucap.
Tidak hanya bersama warga kos lain, sosialisasi tersebut juga
terjadi bersama dengan penduduk asli pada malam hari dengan bertarawih,
mendengarkan ceramah, tadarus, atau bersama- sama menuju masjid sambil
kenalan. Ramadan di sekitar koskosan, membantu kita belajar banyak hal. Kita
bahkan dapat tarawih bersama dengan ibu atau bapak kos di masjid terdekat. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar