Pidana
Kejahatan Korporasi
Widyopramono ;
Jaksa Agung Muda Tindak
Pidana Khusus (Jampidsus) Kejakgung
|
SUARA
MERDEKA, 22 Juli 2014
TAK
bisa dimungkiri korupsi di Indonesia sudah menjadi persoalan bangsa, bahkan
sampai pada titik nadir yang memprihatinkan. Jajak pendapat Kompas yang
dilansir pada 2 Desember 2013 menyebutkan hampir semua (94%) responden
menyatakan perilaku korupsi, khususnya di tingkat elite, sudah amat parah.
Korupsi bukan saja bertransformasi menjadi kejahatan profesional melainkan
juga telah melahirkan generasi koruptor. Di sisi lain, upaya pemberantasan
masih fokus pada penghukuman pelaku orang per orang. Padahal berdasarkan
pengalaman penulis, kerap ada keterkaitan antara pelaku individu dan
korporasi sebagai tempat terjadinya kejahatan korupsi.
”Kegamangan”
terhadap fenomena itu telah lama diungkapkan Edwin H Sutherland berkait
sedikitnya data statistik kriminal.’ Dikatakan, tak lebih dari 2% yang
mencatat kejahatan oleh kelas atas, termasuk kejahatan oleh korporasi.
Sedikitnya perhatian aparat penegak hukum terhadap kejahatan korporasi tidak
sebanding dengan dampak yang ditimbulkan. Padahal kerugian masyarakat akibat
kejahatan korporasi dalam bentuk price
fixing, pencemaran udara, tanah, dan air, serta kejahatan perpajakan dan
penyuapan diperkirakan 200 miliar dolar AS setahun. Sementara cost of crime dari tindak pidana
konvensional ”hanya” 10 miliar dolar AS setahun atau 1/20 dari kejahatan
korporasi. Belum lagi soal terkurasnya sumber daya alam, sumber daya sosial,
dan modal kelembagaan mengingat kejahatan korporasi telah menggerogoti fungsi
dan kepercayaan masyarakat terhadap institusi dan pejabat publik.
Penulis
mengapresiasi kegiatan 4th Indonesia
Anti Corruption Forum, yang digagas United
Nations Office on Drugs and Crime (UN ODC). Pasalnya kegiatan itu antara
lain bertujuan menggalang dukungan publik dalam upaya bersama masyarakat
mencegah korupsi. Berkait praktik penegakan hukum terhadap korporasi, sejak 2010
hingga 2013 aparat penegak hukum (kejaksaan, KPK dan Polri) telah menangani
7.651 perkara tindak pidana korupsi (TPK). Khusus kejaksaan se-Indonesia,
dalam 5 tahun terakhir (2009- 2013) telah menyidik 8.628 perkara dan
mengajukan penuntutan 8.022 perkara. Namun intensitas dan tindakan masif
penegak hukum dalam pemberantasan korupsi tidak diimbangi praktik penanganan
perkara terhadap korporasi. Padahal kejahatan korporasi berisiko menimbulkan
dampak luar biasa. Terlebih bila berkolaborasi dan berkolusi dengan kekuasaan
pemerintahan negara. ”Sinergitas” itu bahkan memunculkan jenis kejahatan baru
dalam bentuk state capture, yang merusak sendi-sendi pemerintahan negara
demokratis. Salah satu penyebab sedikitnya praktik penegakan hukum terhadap
korporasi dikarenakan persoalan legislasi, khususnya terkait penempatan
korporasi sebagai subjek hukum berikut pertanggungjawaban pidananya. Dalam
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang berlaku saat ini subjek hukum
masih tertuju pada manusia alamiah (naturlijke
persoon). Menunjuk Korporasi Hal itu tercermin dari penggunaan unsur
”barang siapa” dalam berbagai rumusan delik dalam KUHP, jadi tertuju pada
subjek hukum manusia alamiah atau orang perseorangan.
Rumusan
Pasal 59 KUHP misalnya, tidak mengenal subjek hukum korporasi. Akibatnya,
ketika terjadi kejahatan yang berkait badan hukum atau korporasi maka ”hanya”
orang perorangan dari korporasi itulah yang dimintai pertanggungjawaban
pidananya. Tak diakuinya korporasi sebagai subjek hukum dalam KUHP, merupakan
pengaruh dari doktrin societas
delinquere non potest. Doktrin itu menganggap korporasi tidak mungkin
melakukan kesalahan semisal dalam kejahatan pemerkosaan, pencabulan ataupun
jenis kejahatan konvensional lain. Paradigma yang hanya menjadikan orang
perseorangan sebagai subjek hukum pidana terasa mengusik rasa keadilan.
Karena itu, secara yuridis harus dikonstruksikan dengan menunjuk korporasi
sebagai subjek hukum. Upaya itu untuk memudahkan menentukan pihak yang
bertanggung jawab terhadap perbuatan dari mereka, yang terhimpun dalam suatu
badan hukum.
Upaya
mengeliminasi pengaruh doktrin societas delinquere non potest telah dilakukan
lewat berbagai perundang-undangan di luar KUHP. Perundang-undangan di bidang
administrasi atau perundang-undangan teknis lainnya telah mengatur tentang
subjek hukum korporasi berikut pertanggungjawaban pidananya. Menurut
pengamatan Muladi dan Diah Sulistyani, setidak-tidaknya ada 62 perundang-undangan
di Indonesia yang mengatur pertanggungjawaban pidana korporasi. Begitu pula
penelitian Hasbullah F Sjawie sejak Maret 1996 hingga Desember 2009
menyebutkan ada 71 perundang-undangan di bidang administrasi yang
mengakomodasi korporasi. Hanya saja sebagian masih terbatas pada pencantuman
istilah dan pengertian korporasi. Praktik penyidikan, penuntutan dan
pembubaran korporasi merupakan tindakan aparat kejaksaan dalam meminta
”pertanggungjawaban” korporasi. Publik bisa mencatat poin penting, yakni
penyidikan, penuntutan, dan pembubaran korporasi telah diakui dalam berbagai
teori hukum sebagai doktrin, ataupun dalam perundang- undangan sebagai hukum
positif. Selain itu, upaya tersebut telah diakui dalam praktik peradilan
sebagai suatu yurisprudensi. Ke depan perlu menyamakan persepsi antaraparat
penegak hukum terhadap pertanggungjawaban pidana korporasi. Komitmen dan
kesungguhan antarpenegak hukum merupakan modal utama untuk mewujudkan
tegaknya hukum dan keadilan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar