Cara
Kembali Memaknai Lebaran
Chusmeru ;
Dosen Jurusan Ilmu
Komunikasi FISIP
Universitas
Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto
|
SUARA
MERDEKA, 21 Juli 2014
"Diperlukan
pemaknaan kembali Lebaran, baik dalam perspektif komunikasi maupun sosial
budaya"
LEBARAN bagi masyarakat Indonesia sarat
dengan tradisi dan budaya. Seremoni perayaan Idul Fitri terasa begitu kental.
Meski Ramadan baru dimulai, nuansa Lebaran sudah mulai terasa. Harga
kebutuhan pokok melonjak. Tiket bus dan kereta api Lebaran pun ludes terjual
jauh sebelum hari H.
Lebaran dalam perspektif komunikasi selalu
kontekstual dengan lingkup sosial budaya masyarakat Indonesia. Teknologi
komunikasi dan informasi telah menjadi bagian dari peradaban masyarakat.
Telepon seluler, teknologi 3G, BBM, dan short
message service (SMS) sudah akrab bagi masyarakat. Pesan singkat itu
bahkan telah menggeser peran kartu Lebaran yang dahulu dikirim lewat jasa
pos.
Meski demikian komunikasi sosial dan
interpersonal dalam momentum Hari Raya ternyata tidak mudah tergantikan oleh
komunikasi bermedia. Kehadiran personal secara fisik di tengah lingkungan
keluarga dan masyarakat saat Idul Fitri masih dianggap penting.
Berdesak-desakan mudik, terjebak kemacetan
dalam perjalanan pulang ke kampung halaman, dan tradisi bersalam-salaman
tetap saja jadi bagian dari ritual berkait Hari Kemenangan. Lebaran lebih
menjadi momentum komunikasi sosial dan interpersonal ketimbang momentum
intrapersonal-transendental berupa kontemplasi dan introspeksi untuk kembali
ke fitrah.
Konteks fisik dan sosial dalam Lebaran
tidak lepas dari karakteristik masyarakat Indonesia yang atributif.
Masyarakat atributif sangat menghargai simbol, lambang, atau atribut sebagai penanda
status dan posisi sosial seseorang. Tidak heran, menjelang Lebaran tiba
segala hal yang berkaitan dengan atribut itu harus disiapkan.
Pagar rumah dicat, baju baru disiapkan,
jajanan, opor ayam, ketupat, dan segala atribut Bakda menandai ”kesiapan” sosial
seseorang menyambut Lebaran. Tanpa atribut tersebut, orang akan merasa
dianggap tidak siap berlebaran.
Visualisasi atribut dipandang penting dalam
konteks komunikasi Lebaran. Mudik dijadikan momentum kebanggaan bagi
seseorang untuk menunjukkan perkembangan atribut yang berhasil dicapainya di
tempat lain.
Orang akan dianggap berhasil secara sosial
jika saat Lebaran pulang kampung dengan mobil baru atau bercerita tentang
jabatan baru. Puncak kenikmatan berpuasa bukan pada perasaan haru saat shalat
Id melainkan justru pada ‘’keriangan’’ di tengah kemacetan arus mudik. Tanpa
atribut seremoni Lebaran dan atribut kebaruan, seseorang masih dipandang
belum berhasil.
Memaknai
Lebaran
Memang tidak serta merta salah dari tradisi
dan seremoni Idul Fitri yang sudah berlangsung sejak dahulu itu. Mudik
Lebaran bisa menjadi upaya continuum sosial kultural ketika seseorang
merantau ke lain daerah sehingga orang tidak tercerabut dari akar budayanya.
Tradisi mudik juga dapat berfungsi membangun soliditas, kohesivitas, sekaligus
solidaritas sosial seseorang dengan daerah asalnya.
Tradisi Lebaran akan menjadi bermasalah
ketika seremoni atributif lebih dihargai ketimbang substansi religiositas
Idul Fitri. Lebaran akan hanya menjadi tradisi tanpa makna saat ekses yang
ditimbulkan dari mudik dan atribut kebaruan tersebut tidak dibarengi dengan
peningkatan kadar religiositas seseorang.
Nilai sosial kultural Hari Raya dipandang
lebih penting dibanding nilai-nilai moral yang terkandung di dalamnya.
Sungguh ironis andai ‘’hanya’’ demi berlebaran misalnya, seseorang harus
melakukan tindak kriminal karena tidak punya ”modal” untuk mudik. Alih-alih
berkumpul bersama sanak saudara di kampung, malah mendekam di balik jeruji
besi. Lebaran menjadi tidak afdal bagi seorang pegawai jika tanpa parsel atau
bingkisan untuk pejabat di atasnya. Meski untuk itu dia harus melakukan
korupsi kecil-kecilan.
Mengubah tradisi Lebaran yang sudah
mengakar di tengah masyarakat tidaklah mudah. Bukan saja kita akan dianggap
”tidak sosial” melainkan juga berisiko dinilai kurang, bahkan tidak
menghargai orang tua, keluarga, dan tidak paham makna Idul Fitri. Pemaknaan
Lebaran lantas diukur dari kacamata sosial, bukan perspektif komunikasi
intrapersonaltransendental seseorang dengan Sang Khalik.
Diperlukan pemaknaan kembali Lebaran, baik
dalam perspektif komunikasi maupun sosial budaya. Substansi Idul Fitri
semestinya lebih menjadi acuan ketimbang seremoni tradisi Lebaran. Kualitas
komunikasi intrapersonal-transendental harus dijadikan indikator keberhasilan
seseorang sejak Ramadan hingga Lebaran, dan bukan kebaruan yang atributif
semata. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar