Renungan Menyambut
Hari Anak, 23 Juli 2014
Nadia Egalita ;
Mahasiswa Faculty of Art,
Monash University, Australia
|
JAWA
POS, 22 Juli 2014
DALAM peringatan Hari Anak kali ini, ada baiknya kita menoleh
pada nasib dan penderitaan anak-anak korban perang di berbagai wilayah.
Ketika perang terjadi, kita tahu korban yang paling menderita dan kali
pertama harus menanggung dampak konflik adalah anak-anak yang tidak berdosa.
Laporan terbaru yang membuat kita mengelus dada adalah perang
yang berkecamuk di Jalur Gaza. Serangan Israel di wilayah tersebut tidak
hanya merusak sejumlah bangunan dan membuat lebih dari 330 jiwa penduduk
menjadi korban, tetapi juga menewaskan puluhan anak. Tidak sedikit pula anak
yang kehilangan masa depan karena terperangkap dalam situasi konflik yang
berkepanjangan.
Selain di Jalur Gaza, perang tengah melanda Syria dan Nigeria.
Di Syria, dampak perang tidak kalah mencemaskan. Banyak anak yang menjadi
korban karena pertikaian atau perang saudara yang berlangsung brutal.
Sebagaimana dilaporkan UNICEF, saat ini di Syria sedikitnya 5,5 juta anak
terpaksa hidup dalam ketakutan dan hak-hak dasarnya tidak terpenuhi karena
terperangkap dalam situasi konflik perang sipil yang tidak terjangkau bantuan
kemanusiaan.
Sementara itu, di Nigeria, ulah kelompok Boko Haram dilaporkan
tidak hanya menewaskan ribuan penduduk sipil yang tidak berdosa. Tetapi,
anak-anak di sana juga menjadi korban yang paling rentan diperlakukan salah.
Lebih dari seratus anak dilaporkan telah menjadi korban penculikan kelompok
Boko Haram dan dijadikan alat tawar-menawar untuk membebaskan anggota mereka
yang kini dipenjara pemerintah Nigeria.
Di luar contoh-contoh negara tersebut, perang dilaporkan juga
pernah dan tengah meletus di berbagai negara lain seperti Rwanda, Bosnia,
Herzegovina, Kroasia, Bangladesh, Kamboja, Haiti, Siprus, Somalia, Uganda,
Kolombia, Liberia, serta sejumlah negara di kawasan Eropa, Afrika, dan
lain-lain. Anak-anak yang seharusnya tumbuh dalam lingkungan keluarga yang
bahagia dan lingkungan sosial yang aman ternyata justru sebaliknya. Gara-gara
pertikaian yang absurd pada zaman manusia mengklaim makin beradab, kini
anak-anak tidak hanya tidak bisa melanjutkan pendidikan, tetapi juga terancam
kelaparan, kesakitan, korban child abuse, dan terpaksa meninggal pada usia
dini.
Rapuh
Anak-anak korban perang tidak berbeda dengan anak-anak korban
tindak kekerasan lainnya. Mereka cenderung rapuh dan akan mengalami
penderitaan yang sangat berat. Bagi anak-anak, perang adalah mimpi buruk yang
sangat menakutkan. Dampak perang bagi mereka tidak hanya melahirkan trauma
psikologis, tetapi juga penderitaan yang berkepanjangan. Anak-anak di daerah
konflik, selain rawan menjadi korban gempuran roket dan tembakan senjata,
rawan menjadi korban tindak kejahatan seksual. Boleh dikatakan, kejahatan
seksual merupakan salah satu momok paling mengerikan bagi anak-anak tatkala
peperangan berlangsung di berbagai wilayah.
Laporan kelompok Save The
Children, 10 April 2013, misalnya, mengungkapkan fakta yang benar-benar
mengerikan. Lebih dari separo korban kekerasan seksual di zona konflik adalah
anak-anak. Di berbagai negara yang dilanda perang seperti Liberia, dilaporkan
tindak kejahatan seksual terhadap anak mencapai lebih dari 70 persen. Di
Liberia, tercatat 80 persen korban kekerasan seksual berusia di bawah 17
tahun. Hampir seluruh korban diperkosa. Di Sierra Leone, tercatat sekitar 70
persen korban adalah anak perempuan di bawah 18 tahun. Seperlima anak perempuan
yang menjadi korban kejahatan seksual bahkan dilaporkan berusia kurang dari
11 tahun.
Sudah bukan rahasia, ketika perang berkecamuk, batas-batas
moralitas dan nilai kemanusiaan, tampaknya, hilang. Kesaksian korban dan
saksi kekejaman perang sudah sering mengungkapkan, ketika perang berlangsung,
sejumlah anak yang menjadi korban perang, selain diperkosa, tidak jarang
langsung dibunuh di tempat tanpa belas kasihan sedikit pun. Kelompok
bersenjata dan pasukan pemerintah sering menjadi bagian dari pelaku
penculikan dan pelecehan anak perempuan maupun laki-laki. Anak-anak yang
tidak mengalami cedera langsung akhirnya bernasib tidak jauh berbeda dengan
anak-anak yang menjadi korban sexual
abuse, penculikan, dan sandera. Dalam situasi perang yang ricuh, sering
tidak terhindarkan bagi anak-anak untuk kehilangan rumah serta menderita
kekurangan gizi dan berbagai penyakit lainnya.
Dalam perang, anak-anak yang tewas malah sering lebih bersyukur
karena tidak masuk dalam penderitaan baru yang lebih berat. Banyak bukti,
anak-anak yang selamat dari peperangan justru mengalami penderitaan baru
karena menjadi korban kekerasan seksual (sexual
abuse) tentara lawan. Dalam perang, anak-anak perempuan yang ditawan
musuh sering kemudian diperlakukan tidak senonoh. Di Rwanda, Bosnia,
Herzegovina, Kroasia, Bangladesh, Kamboja, Haiti, Siprus, Somalia, dan
Uganda, dalam berbagai kasus peperangan, sering terjadi pemerkosaan terhadap
anak perempuan yang bahkan dijadikan senjata untuk mendemoralisasi semangat
musuh. Dalam peperangan yang diimbuhi sentimen antaretnis seperti yang
terjadi di beberapa negara bekas Uni Soviet, anak-anak perempuan sengaja
diperkosa hingga hamil agar harga diri mereka terpukul karena mengandung anak
dari musuh-musuh yang mereka benci. Bisa dibayangkan bagaimana rumitnya
konflik batin yang mesti dihadapi anak perempuan jika mereka harus menerima
kenyataan bahwa ayah anaknya adalah orang yang selama ini mereka benci?
Rehabilitasi Psikis
Dalam berbagai forum internasional, baik sidang-sidang di PBB
maupun agenda pertemuan menteri luar negeri kelompok negara maju seperti G-8,
fenomena anak-anak korban perang sesungguhnya telah banyak dibahas. Dunia
internasional umumnya memprihatinkan perang yang hingga kini masih terjadi di
berbagai belahan dunia, terutama karena mengakibatkan anak-anak yang tidak
berdosa menjadi korban kekejaman perang.
Selama ini, ketika perang berkecamuk, banyak pihak yang memang
telah turun tangan dan membantu upaya penyelamatan anak-anak korban perang.
Di berbagai pengungsian, anak-anak korban perang biasanya ditampung dan
diupayakan untuk segera keluar dari situasi buruk.
Tetapi, satu hal yang perlu disadari, upaya penanganan anak
korban perang tidaklah cukup hanya dengan cara memenuhi kebutuhan dasarnya,
menyediakan tempat-tempat penampungan di pengungsian serta memenuhi kebutuhan
hidup sehari-hari seperti makan, tempat tinggal, serta fasilitas layanan
kesehatan dan pendidikan. Dalam upaya penanganan anak-anak korban perang,
yang tidak kalah penting adalah memastikan layanan rehabilitasi psikis agar
mereka tidak tenggelam dalam perasaan traumatis mendalam yang akan menjadikan
mereka sebagai bom waktu mesin-mesin pembunuh masa depan karena dendam
kesumat atau trauma atas pengalaman yang dialami. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar