Agenda
Ekonomi Presiden Baru
Ahmad Erani Yustika ;
Guru Besar Fakultas
Ekonomi dan Bisnis
Universitas
Brawijaya; Direktur Eksekutif Indef
|
KORAN
SINDO, 25 Juli 2014
Pada
malam hari 22 Juli 2014 KPU telah menetapkan pemenang pemilihan presiden
(pilpres), yakni Joko Widodo-Jusuf Kalla dengan perolehan suara 53,15%.
Kemenangan ini memang masih menyisakan persoalan karena pasangan Prabowo
Subianto- Hatta Rajasa menyatakan menarik diri dari proses rekapitulasi
penghitungan suara karena menganggap proses pilpres berjalan tidak adil.
Terlepas dari masalah itu, KPU sudah menetapkan pemenang dan sisa masalah
tentu akan diselesaikan secara hukum, khususnya di Mahkamah Konstitusi (jika
ada pihak yang menggugat).
Dengan
begitu, secara politik kemenangan Jokowi-JK harus dimulai dengan menyatukan
seluruh kelompok kepentingan karena beda suara yang tidak terlalu jauh.
Sementara itu, secara ekonomi terdapat banyak agenda yang ditunggu rakyat
sesuai dengan janji-janji yang telah diikrarkan.
Fiskal dan Birokrasi
Dalam
jangka pendek, pemerintahan baru telah dibekap oleh tiga masalah pokok yang
perlu segera diputuskan. Pertama, defisit fiskal membutuhkan penyikapan yang
solid dengan mempertimbangkan keseluruhan bangunan ekonomi. Defisit fiskal
bersumber dari subsidi BBM yang membengkak karena jumlah impor yang terus
naik dan harga minyak internasional yang meningkat. Pada tahun ini
diperkirakan subsidi minyak sekitar Rp300 triliun, jumlah yang teramat besar
bila dibandingkan dengan pos belanja lain (misalnya belanja modal hanya pada
kisaran Rp240 triliun).
Sungguhpun
begitu, penyelesaian dengan menaikkan harga minyak bukanlah solusi tunggal
untuk mengatasi ini, sebab hulu persoalan sebetulnya adalah manajemen
pengelolaan SDA (eksplorasi minyak) dan tata kelola impor minyak. Pemerintah
mesti mengidentifikasi soal ini secara menyeluruh dan mengambil kebijakan
yang adil. Kedua, perbaikan birokrasi yang mendukung kegiatan ekonomi. Penyakit
yang membuat ekonomi biaya tinggi di Indonesia adalah praktik pungutan liar
(pungli) yang sebagian dilakukan oleh birokrasi dan perizinan yang mahal (dan
lama).
Pungli
sudah diketahui oleh umum, tapi tak juga ada penanganan secara sistematis.
Contoh yang paling gamblang terjadi di Jawa Tengah beberapa waktu lalu,
ketika Ganjar Pranowo (gubernur) memergoki aparat di jembatan timbang yang
menerima uang dari sopir truk. Kejadian semacam ini jamak terjadi pada
kegiatan ekonomi dengan modus yang tak jauh berbeda. Perizinan juga sama, di
mana ongkos menjadi bengkak akibat praktik pungutan ilegal semacam itu,
ditambah dengan waktu yang lama. Hal ini membuat kegiatan ekonomi menjadi
tidak efisien dan menurunkan daya saing dalam persaingan internasional.
Ketiga,
eksekusi pembangunan infrastruktur merupakan tugas yang harus diperhatikan
secara saksama. Problem utama infrastruktur bukanlah aspek pendanaan,
meskipun memang jumlah anggaran yang dimiliki pemerintah sangat terbatas.
Sampai saat ini, anggaran infrastruktur kurang 3% dari PDB (idealnya 5%),
padahal negara lain sudah di atas 7% (seperti China dan Vietnam). Jika tidak
ada komitmen penambahan dana, upaya pembangunan infrastruktur memang akan
tersendat.
Namun,
soal yang lebih mendesak adalah optimalisasi pemanfaatan dana yang sudah ada.
Sampai hari ini pemerintah tidak pernah menyerap belanja modal secara penuh,
cuma sekitar 85-90%/tahun. Demikian pula persetujuan kredit dari perbankan
yang tidak dieksekusi mencapai Rp750 triliun, yang sebagian tentu saja terkait
dengan proyek infrastruktur. Pemerintah mesti mengidentifikasi sebabnya dan
mencari solusi dengan sigap.
Reformasi Struktural
Di
luar soal-soal jangka pendek yang harus dituntaskan, pemerintahan mendatang
juga dibebani tugas berat terkait reformasi struktural perekonomian. Tema
keadilan ekonomi, penguatan ekonomi domestik, dan partisipasi ekonomi rakyat
menjadi pertaruhan yang harus dimenangkan. Keadilan ekonomi dirasakan makin
menjauh dalam 10 tahun terakhir. Ekonomi tumbuh, namun sebagian besar dinikmati
oleh golongan menengah-atas.
Pendapatan
golongan bawah memang meningkat, tapi pertumbuhannya hanya cukup untuk
menyerap inflasi. Sebaliknya, golongan menengah-atas pertumbuhannya di atas
20% tiap tahun. Akibatnya, ketimpangan pendapatan antargolongan kian melebar.
Kebijakan penguatan aset (tanah dan modal) kaum miskin, reformasi pajak, dan
transfer sosial merupakan pembaruan kebijakan yang seyogianya dijalankan
pemerintah. Berikutnya, penguatan ekonomi domestik harus dimaknai sebagai
kedaulatan dalam memformulasikan kebijakan ekonomi bagi kepentingan ekonomi
nasional.
Sektor
pertanian, industri, dan energi merupakan kegiatan ekonomi yang sarat dengan
kepentingan pada level global, sehingga independensi pemerintah merupakan
syarat yang tak bisa dikompromikan. Kebijakan input, produksi, dan distribusi
pertanian harus diabdikan untuk kesejahteraan petani dan jangan dibuat
sebagai instrumen transaksi dengan negara lain, misalnya lewat skema
liberalisasi yang masif. Pada sektor energi, penguasaan produksi dan tata
niaga impor harus diurus dengan benar, khususnya dengan merujuk spirit
konstitusi.
Sementara
itu, sektor industri merupakan pertarungan nilai tambah ekonomi yang mesti
dijalankan dengan konsisten agar ekonomi hulu menjadi kokoh. Terakhir, partisipasi
ekonomi merupakan tantangan mendesak karena selama ini pelaku ekonomi lemah
kian tersisih dari kegiatan ekonomi. Pedagang tradisional, sektor informal,
koperasi, dan usaha mikro/kecil merupakan bagian dari pelaku ekonomi yang
terpinggirkan. Mereka harus dimasukkan dalam arena ekonomi lagi lewat
pengaturan usaha yang adil dan akses ekonomi yang luas. Sektor keuangan
didesain untuk melayani kepentingan mereka, bukan sekadar korporasi kakap.
Ekonomi
pedesaan dihidupkan dan dijadikan jangkar modernisasi ekonomi, sehingga
pendalaman pengetahuan dan akses lembaga keuangan memegang peranan utama.
Bangun usaha koperasi menjadi model pengembangan ekonomi sehingga nisbah
ekonomi terbagi secara merata dan berpotensi memperkuat kohesivitas sosial.
Ikhtiar ini memang rumit dan penuh onak, namun hanya dengan jalan ini amanat
konstitusi dapat ditunaikan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar