Membumikan
Lailatul Qadar
Usep Romli HM ; Pengasuh
Pesantren Budaya Raksa Sarakan, Garut
|
KOMPAS,
26 Juli 2014
DALAM
bulan Ramadhan terdapat satu malam yang bernilai lebih daripada seribu bulan.
Malam penuh kemuliaan yang disebut Lailatul Qadar.
Pada
malam itu, para malaikat, dipimpin malaikat Jibril, atas izin Allah SWT turun
ke Bumi: mengatur segala urusan, menebar kesejahteraan, dan keselamatan hingga terbit fajar (QS. 97:1-5).
Malam
istimewa tersebut diperkirakan muncul pada sepuluh hari terakhir Ramadhan,
antara tanggal 20-30 Ramadhan. Pada saat itu, umat Islam dianjurkan untuk
melakukan iktikaf: tinggal di masjid, khusus untuk melakukan ibadah.
Suatu
ibadah untuk meningkatkan hubungan vertikal melalui berbagai kegiatan ritual,
seperti shalat, berdoa, membaca Al Quran, yang bersifat mendekatkan diri
kepada Allah SWT. Meski demikian,
tetap memelihara hubungan horizontal dengan sesama manusia. Misalnya,
melakukan shalat berjamaah, menengok orang sakit, melayat jenazah, serta
memberikan santunan uang atau makanan kepada yang membutuhkan.
Iktikaf
selama masa Lailatul Qadar
berfungsi sebagai koreksi internal diri masing-masing (al muhasabah), sekaligus koreksi eksternal (al muamalah). Membersihkan jiwa dari berbagai perbuatan rendah
dan kasar, kemudian mengisinya dengan segala perbuatan penuh keutamaan, serta
berkonsentrasi penuh mengingat Allah SWT.
Dari
kegiatan spritual amat individual itulah kelak terpancar daya nalar dan
kehendak untuk mengaplikasikannya dalam kenyataan. Berbekal watak keutamaan
yang terbentuk selama iktikaf, semangat sosial menjadi bertambah. Iktikaf
menyambut Lailatul Qadar bukan lagi
merupakan kenikmatan tersendiri bagi diri pribadi yang amat personal,
melainkan kenikmatan bersama yang universal.
Menurut Az-Zuhri, salah seorang ulama abad
ke-14, Ramadhan mengandung dua kegiatan pokok. Kegiatan membaca Al Quran,
sebagai bagian dari menegakkan ibadah malam (qiyamul lail), dan memberi makan fakir miskin (it’amuth tha’am).
Secara
fisik, iktikaf menyambut Lailatul Qadar
adalah mengasingkan diri dari kehidupan sehari-hari yang serba materi. Sebuah
kondisi kontras di tengah kecenderungan konsumtif menggebu-gebu menjelang
hari raya.
Itulah
risiko dari penjabaran makna puasa yang bukan hanya menahan lapar, dahaga,
dan syahwat di siang hari. Puasa juga pembenahan otak dan hati dari
ketimpangan mental akibat situasi sosial, ekonomi, politik, dan segala
rutinitas realitas sehari-hari.
Iktikaf dan
Lailatul Qadar membenamkan seluruh gemuruh hawa nafsu ke kebeningan
kepasrahan diri kepada Yang Maha Kuasa. Sebuah penempaan rohaniah yang akan
menghasilkan spirit simpati, solidaritas, dan apresiasi terhadap keberagaman
hidup manusia sekitar. Semakin menumbuhkan cinta kepada fakir miskin, semakin
memperbesar pengertian dan pemahaman terhadap segala hal-hal yang berbeda,
baik titik tolak maupun aplikasi.
Manusia
yang berhasil menyelami hakikat Lailatul Qadar adalah penabur salam
(keselamatan), penebar kemurahan berbagi rezeki dan kebutuhan (anith tha’am), serta pembuhul kekuatan
jalinan persaudaraan yang universal (wasilatul
arham).
Salam,
kemurahan, dan silaturahim tanpa batas agama, kepercayaan, ideologi, serta
strata sosial, itulah yang dibawa Jibril dan ribuan malaikat yang turun ke
Bumi pada saat Lailatul Qadar, mulai dari gelap malam hingga merekah fajar.
Itulah pesan yang harus ditindaklanjuti oleh semua orang yang menempuh puasa
Ramadhan dan penemu Lailatul Qadar
untuk hari-hari dan masa-masa seterusnya.
Kedamaian,
kesejahteraan, apresiasi, simpati, dan solidaritas sosial yang menyatu pada
watak orang-orang berpuasa, merupakan transformasi Lailatul Qadar. Itulah yang menjadi tujuan puasa Ramadhan dalam
membentuk manusia bertakwa, yang siap menjalankan segala perintah Allah SWT,
yaitu beriman kepada-Nya dan berbuat bajik serta santun kepada sesama
manusia. Sekaligus tentu meninggalkan larangan-Nya, terutama berbuat
kerusakan di muka bumi dalam segala format dan jenisnya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar