Kamis, 31 Juli 2014

Berpuasa di Mekkah Al-Mukarramah

                       Berpuasa di Mekkah Al-Mukarramah

Hajriyanto Y Thohari  ;   Wakil Ketua MPR RI
KORAN SINDO, 27 Juli 2014
                                                


Islam itu di mana pun dan kapan pun adalah agama rakyat. Ada sedikit protokoler, tetapi tidak primer. Agama yang sangat populis dan bersemangat egaliter.

Coba pada Ramadan ini datang dan lihatlah suasana di Masjidilharam di Mekkah al-Mukarramah, Masjid Nabawi di Madinah, dan Masjid al-Aqsha di Yerusalem. Masjid yang terhampar sangat luas dan besar itu dari ujung ke ujung, dari sudut ke sudut, dipenuhi orang dari seluruh penjuru dunia yang bisa tidur di dalam masjid seenaknya. Mereka hanya bangun untuk salat dan setelah itu kembali tidur lagi. Pada Ramadan perilakusepertiitudibiarkansaja karenasudahmenjaditradisidari tahun ke tahun dan dari abad ke abad.

Berpuasa Ramadan di Mekkah al-Mukarramah dan Madinah al-Munawwarah memang sangat mengesankan. Meski Masjidilharam sedang mengalami renovasi dan pembangunan besar-besaran sejak dua tahun terakhir ini, kesemarakan bulan Ramadan di sana tetap terus terpancar terpendarpendar bagaikan mercusuar. Jamaahumrahdari seluruhdunia semakin membeludak membanjiri Kota Suci (al-Haram), Mekkah dan Madinah. Beberapa orangmenyatakankesaksiannya bahwa pada sepuluh ketiga pada Ramadan jumlah jamaah umrah di Masjidilharam hampir menyamai jumlah jamaah haji di musim haji.

Tak heran jika harga sewa hotel di Mekkah pada sepuluh hari terakhir pada Ramadan mahalnya berkali-kali lipat dibandingkan dari hari-hari biasa. Sebuah kamar kelas junior suite sebuah hotel berbintang lima di samping Masjidilharam bahkan dipatok USD10.000 semalam. Harga kamar kelas eksekutif sedikit di bawah itu. Kamar-kamar hotel dan penginapan-penginapan lain yang lebih sederhana habis dipesan dan full booked jauh-jauh hari sebelumnya.

Tetapi unik dan hebatnya harga-harga makanan dan minuman yang sifatnya konsumsi tidak mengalami kenaikan yang signifikan sebagaimana akomodasi. Sempitnya ruang (space) Mekkah dengan pusatnya Masjidilharam barangkali yang menjadikan tingginya biaya akomodasi di sana. Secara fisik suasana di Masjidilharam sekarang ini kurang nyaman. Bukan hanya ada ribuan pekerja yang siangmalam melakukan pembangunan atau renovasi Masjidilharam besar-besaran di sana, melainkan juga tampak terlihat ada ratusan alat-alat berat yang ada di lantai dalam dan luar masjid.

Bahkan juga ada ratusan (bukan puluhan!) mesin jungkit di atap atap masjid yang terus beroperasi siang-malam tanpa berhenti melakukan aktivitas pembangunan. Bisa diduga, meski tidak kelihatan, debu beterbangan di mana-mana. Untung saja ribuan petugas kebersihan selalu siap sedia di setiap sudut dan jengkal masjid untuk selalu mengepel membersihkan debu di lantai dan sampah-sampah kotoran lainnya. Dalam soal yang satu ini kita angkat topi dengan kesigapan pemerintah menjaga kebersihan demi keanggunan Masjidilharam tersebut.

Demikian juga secara fisik. Pemerintah Arab Saudi memang all out untuk membangun infrastruktur fisik dan sumber daya manusia untuk melayani jamaah haji dan umrah yang sangat besar itu. Bangunan-bangunan lama di sekitar masjid diruntuhkan untuk menampung dan menata bangunan-bangunan baru akibat dari gerak perluasan masjid. Jalan-jalan layang, jalan-jalan bawah tanah, dan terowongan terus bertambah di segala jalan dan penjuru sekitar masjid. Meski sedang ada renovasi besar-besaran, suasana Masjidilharam tetap khas.

Berbuka puasa bersama di masjid sungguh sangat nikmat. Ada banyak sekali dermawan yang menyediakan buka puasa bagi seluruh jamaah yang mencapai ratusan ribu orang itu. Saya tidak tahu pasti bagaimana mengorganisasi dan mengatur jadwal para dermawan memberikan buka puasa sepanjang bulan Ramadan di Masjidilharam dan Masjid Nabawi. Yang pasti setiap buka puasa makanan itu tersedia di masjid.

Mengapa menginjak sepuluh ketiga atau sepertiga terakhir Ramadan jumlah jamaah umrah menjadi begitu sangat besar? Space Kota Mekkah menjadi sangat kecil untuk menampung jamaah umrah pada akhir Ramadan. Tradisi semacam ini memang sudah berlangsung sejak dulu kala, tetapi menjadi semakin dramatis beberapa puluh tahun terakhir. Tak heran jika umrah pada akhir Ramadan ongkosnya beberapa kali lipat umrah hari biasa, bahkan tiga atau empat kali lipat dengan ongkos umrah awal dan pertengahan Ramadan.

Umrah pada Ramadan, apalagi di sepertiga terakhir Ramadan, yang semula dimaksudkan agar lebih serius dan khusyuk, kini dengan semakin ramainya para jamaah umrah semakin sulit diwujudkan. Suasana Mekkah di sepertiga terakhir Ramadan terlalu penuh sesak, ramai, dan mahal. Tetapi, tetap saja jamaah berdatangan ke Mekkah untuk berumrah, apalagi diajarkan bahwa umrah pada Ramadan itu kebaikannya sama dengan haji.

Orang juga pergi umrah pada Ramadan sekalian berusaha mendapatkan anugerah lailatulkadar yaitu malam pada Ramadan yang kebaikannya melebihi seribu bulan itu. Kapan persisnya lailatulkadar itu diturunkan oleh Allah SWT? Tidak ada seorang pun yang bisa memastikannya. Tetapi, Nabi Muhammad SAW memberikan beberapa petunjuk yang bersifat indikatif, tanda-tanda, atau isyarat. Pertama, lailatulkadar di-turunkan pada satu malam di tanggal-tanggal sepuluh terakhir Ramadan. Maka itu, sepuluh malam terakhir itu jangan dilewatkan untuk salat, berdoa, tadarus, itikaf, dan ibadah lain.

Jika dalam sepuluh malam itu seseorang beribadah secara intensif dan ekstensif, pastilah akan mendapatkan lailatulkadar. Kedua, lailatulkadar diturunkan pada malam-malam ganjil di sepuluh terakhir Ramadan. Mungkin malam 21, 23, 25, 27, atau 29 Ramadan. Ketiga, ada dikatakan bahwa malam lailatulkadar itu jatuh pada malam tanggal 27 Ramadan. Ada juga diriwayatkan bahwa tanda-tanda pada malam lailatulkadar antara lain malam itu suasana sangat tenang dan hening, langit tampak jernih dan bening, bulan bersinar sangat terang, angin bertiup sepoi-sepoi, pepohonan pun tenang dengan daun-daun yang tidak bergerak banyak, dan lain-lain.

Di Masjidilharam (Mekkah al-Mukarramah) sebagaimana juga di Masjid Nabawi (Madinah al-Munawwarah) dan Masjid al-Aqsha (Baitul Maqdis, al-Quds, Yerusalem) pada sepuluh malam terakhir Ramadan itu diselenggarakan, sebut saja, salat qiyamullail di samping salat tarawih. Tarawih diselenggarakan seusai salat isya sebanyak 20 rakaat dengan dua rakaat salam. Pada malam-malam itu jamaah salat tarawih membeludak bukan hanya sampai halaman masjid, melainkan sampai jalan-jalan raya di belakang Hotel Hilton, belakang Hotel Intercontinental, dan jalan belakang hotel atau tower Jam Zaman! Bahkan jamaah salat meluber sampai jembatan layang Misfalah. Mereka membentuk saf-saf sendiri di sepanjang jalan itu.

Demikianlah juga di arah di luar bukit Shafa dan Marwah. Kira-kira dari titik pusat Kakbah jamaah berlingkarlingkar dan berkumpar-kumpar dalam radius 2 kilometer! Meskipun jauh suara bacaan imam salat tetap saja terdengar jelas, jernih, dan lantang berkat teknologi sound system yang sangat besar dan canggih. Salat tarawih di Masjidilharam dan Masjid Nabawi memang sangat khusyuk, panjang, dan lama. Surat-surat yang dibaca imam salat sangatlah panjang. Rukuk dan sujud pun panjang-panjang. Tak heran salat 20 rakaat itu berlangsung hampir jam 24.00 malam.

Tetapi, jangan kaget, qiyamullail yang dimulai jam 01.00 dini hari berlangsung jauh lebih panjang lagi. Salat yang hanya terdiri 10 rakaat dengan dua rakaat salam ditambah dengan salat witir tiga rakaat (dibagi dua rakaat salam dan satu rakaat salam) bisa berlangsung sampai jam 03.00 dini hari! Panjangnya qiyamullail bukan hanya karena rukuk dan sujudnya panjang sekali, melainkan karena surat-surat Alquran yang dibaca memang surat-surat yang sangat panjang dan lama. Tetapi, bukan hanya itu, doa qunut pada rakaat terakhir salat witir sangat panjang dan mengharukan.

Imam selalu berdoa dengan suara serak dan parau menangis tersedu-sedu. Para jamaah yang mencapai ratusan ribu, bahkan jutaan, itu selalu menyambut satu potong doa dari sang imam dengan ucapan “amin” dengan sedu sedan penuh tangisan. Ada beberapa imam salat tarawih (seusai isya) dan qiyamullail (dini hari sekitar jam 01.00) di Masjidilharam yang sering menangis tersedu-sedan ketika membaca surat-surat Alquran dan doa dalam salat-salat itu. Para jamaah pun terbawa suasana jiwa yang syahdu dan khusyuk itu sehingga tidak mampu menahan tangis tersedu mengikuti tangisan sang imam.

Suasana betul-betul sangat religius dan emosional, bukan sentimentil. Ketika imam membaca doa qunut yang amat sangat panjang, fasih, dan untaian kalimatnya indah sekali itu, jamaah menyambutnya setiap potong doa dengan “amin”. Maka bisa dibayangkan betapa membahananya ucapan “amin” dari ratusan ribu jamaah di satu tempat itu. Ketika imam mulai berdoa sambil menangis, jamaah pun menyambut “amin” dengan tangisan pula. Apalagi sang imam tahu betul memilih doa-doa yang menyentuh kalbu jamaah, terutama doa-doa untuk mohon ampunan atas dosa-dosa kita. Sungguh sebuah pengalaman kerohanian yang luar biasa menyejukkan hati.

Agama memang bukan hanya konsumsi akal dalam bentuk pemikiran-pemikiran filosofis semata. Agama juga menyangkut soal kedalaman jiwa, perasaan atau intuisi, dan kehangatan kerohanian. Agama yang terlalu rasional menjadikan kehidupan spiritual kita terasa kering. Jiwa kita perlu kesejukan spiritual dan kehalusan mistis. Berumrah dan beribadah di Masjidilharam di sepertiga terakhir Ramadan sangat menyentuh jiwa. Sayang, ongkosnya mahal sekali. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar