Berpuasa
di Mekkah Al-Mukarramah
Hajriyanto Y Thohari ;
Wakil Ketua MPR RI
|
KORAN
SINDO, 27 Juli 2014
Islam
itu di mana pun dan kapan pun adalah agama rakyat. Ada sedikit protokoler,
tetapi tidak primer. Agama yang sangat populis dan bersemangat egaliter.
Coba
pada Ramadan ini datang dan lihatlah suasana di Masjidilharam di Mekkah
al-Mukarramah, Masjid Nabawi di Madinah, dan Masjid al-Aqsha di Yerusalem.
Masjid yang terhampar sangat luas dan besar itu dari ujung ke ujung, dari
sudut ke sudut, dipenuhi orang dari seluruh penjuru dunia yang bisa tidur di
dalam masjid seenaknya. Mereka hanya bangun untuk salat dan setelah itu
kembali tidur lagi. Pada Ramadan perilakusepertiitudibiarkansaja
karenasudahmenjaditradisidari tahun ke tahun dan dari abad ke abad.
Berpuasa
Ramadan di Mekkah al-Mukarramah dan Madinah al-Munawwarah memang sangat
mengesankan. Meski Masjidilharam sedang mengalami renovasi dan pembangunan
besar-besaran sejak dua tahun terakhir ini, kesemarakan bulan Ramadan di sana
tetap terus terpancar terpendarpendar bagaikan mercusuar. Jamaahumrahdari
seluruhdunia semakin membeludak membanjiri Kota Suci (al-Haram), Mekkah dan
Madinah. Beberapa orangmenyatakankesaksiannya bahwa pada sepuluh ketiga pada
Ramadan jumlah jamaah umrah di Masjidilharam hampir menyamai jumlah jamaah
haji di musim haji.
Tak
heran jika harga sewa hotel di Mekkah pada sepuluh hari terakhir pada Ramadan
mahalnya berkali-kali lipat dibandingkan dari hari-hari biasa. Sebuah kamar
kelas junior suite sebuah hotel
berbintang lima di samping Masjidilharam bahkan dipatok USD10.000 semalam.
Harga kamar kelas eksekutif sedikit di bawah itu. Kamar-kamar hotel dan
penginapan-penginapan lain yang lebih sederhana habis dipesan dan full booked jauh-jauh hari sebelumnya.
Tetapi
unik dan hebatnya harga-harga makanan dan minuman yang sifatnya konsumsi
tidak mengalami kenaikan yang signifikan sebagaimana akomodasi. Sempitnya
ruang (space) Mekkah dengan
pusatnya Masjidilharam barangkali yang menjadikan tingginya biaya akomodasi
di sana. Secara fisik suasana di Masjidilharam sekarang ini kurang nyaman.
Bukan hanya ada ribuan pekerja yang siangmalam melakukan pembangunan atau
renovasi Masjidilharam besar-besaran di sana, melainkan juga tampak terlihat
ada ratusan alat-alat berat yang ada di lantai dalam dan luar masjid.
Bahkan
juga ada ratusan (bukan puluhan!) mesin jungkit di atap atap masjid yang terus
beroperasi siang-malam tanpa berhenti melakukan aktivitas pembangunan. Bisa
diduga, meski tidak kelihatan, debu beterbangan di mana-mana. Untung saja
ribuan petugas kebersihan selalu siap sedia di setiap sudut dan jengkal
masjid untuk selalu mengepel membersihkan debu di lantai dan sampah-sampah
kotoran lainnya. Dalam soal yang satu ini kita angkat topi dengan kesigapan
pemerintah menjaga kebersihan demi keanggunan Masjidilharam tersebut.
Demikian
juga secara fisik. Pemerintah Arab Saudi memang all out untuk membangun infrastruktur fisik dan sumber daya
manusia untuk melayani jamaah haji dan umrah yang sangat besar itu. Bangunan-bangunan
lama di sekitar masjid diruntuhkan untuk menampung dan menata bangunan-bangunan
baru akibat dari gerak perluasan masjid. Jalan-jalan layang, jalan-jalan
bawah tanah, dan terowongan terus bertambah di segala jalan dan penjuru
sekitar masjid. Meski sedang ada renovasi besar-besaran, suasana
Masjidilharam tetap khas.
Berbuka
puasa bersama di masjid sungguh sangat nikmat. Ada banyak sekali dermawan
yang menyediakan buka puasa bagi seluruh jamaah yang mencapai ratusan ribu
orang itu. Saya tidak tahu pasti bagaimana mengorganisasi dan mengatur jadwal
para dermawan memberikan buka puasa sepanjang bulan Ramadan di Masjidilharam
dan Masjid Nabawi. Yang pasti setiap buka puasa makanan itu tersedia di
masjid.
Mengapa
menginjak sepuluh ketiga atau sepertiga terakhir Ramadan jumlah jamaah umrah
menjadi begitu sangat besar? Space
Kota Mekkah menjadi sangat kecil untuk menampung jamaah umrah pada akhir
Ramadan. Tradisi semacam ini memang sudah berlangsung sejak dulu kala, tetapi
menjadi semakin dramatis beberapa puluh tahun terakhir. Tak heran jika umrah
pada akhir Ramadan ongkosnya beberapa kali lipat umrah hari biasa, bahkan tiga
atau empat kali lipat dengan ongkos umrah awal dan pertengahan Ramadan.
Umrah
pada Ramadan, apalagi di sepertiga terakhir Ramadan, yang semula dimaksudkan
agar lebih serius dan khusyuk, kini dengan semakin ramainya para jamaah umrah
semakin sulit diwujudkan. Suasana Mekkah di sepertiga terakhir Ramadan
terlalu penuh sesak, ramai, dan mahal. Tetapi, tetap saja jamaah berdatangan
ke Mekkah untuk berumrah, apalagi diajarkan bahwa umrah pada Ramadan itu
kebaikannya sama dengan haji.
Orang
juga pergi umrah pada Ramadan sekalian berusaha mendapatkan anugerah
lailatulkadar yaitu malam pada Ramadan yang kebaikannya melebihi seribu bulan
itu. Kapan persisnya lailatulkadar
itu diturunkan oleh Allah SWT? Tidak ada seorang pun yang bisa memastikannya.
Tetapi, Nabi Muhammad SAW memberikan beberapa petunjuk yang bersifat
indikatif, tanda-tanda, atau isyarat. Pertama, lailatulkadar di-turunkan pada satu malam di tanggal-tanggal
sepuluh terakhir Ramadan. Maka itu, sepuluh malam terakhir itu jangan
dilewatkan untuk salat, berdoa, tadarus, itikaf, dan ibadah lain.
Jika
dalam sepuluh malam itu seseorang beribadah secara intensif dan ekstensif,
pastilah akan mendapatkan lailatulkadar.
Kedua, lailatulkadar diturunkan
pada malam-malam ganjil di sepuluh terakhir Ramadan. Mungkin malam 21, 23,
25, 27, atau 29 Ramadan. Ketiga, ada dikatakan bahwa malam lailatulkadar itu
jatuh pada malam tanggal 27 Ramadan. Ada juga diriwayatkan bahwa tanda-tanda
pada malam lailatulkadar antara
lain malam itu suasana sangat tenang dan hening, langit tampak jernih dan
bening, bulan bersinar sangat terang, angin bertiup sepoi-sepoi, pepohonan
pun tenang dengan daun-daun yang tidak bergerak banyak, dan lain-lain.
Di
Masjidilharam (Mekkah al-Mukarramah) sebagaimana juga di Masjid Nabawi
(Madinah al-Munawwarah) dan Masjid al-Aqsha (Baitul Maqdis, al-Quds,
Yerusalem) pada sepuluh malam terakhir Ramadan itu diselenggarakan, sebut
saja, salat qiyamullail di samping
salat tarawih. Tarawih diselenggarakan seusai salat isya sebanyak 20 rakaat
dengan dua rakaat salam. Pada malam-malam itu jamaah salat tarawih membeludak
bukan hanya sampai halaman masjid, melainkan sampai jalan-jalan raya di
belakang Hotel Hilton, belakang Hotel Intercontinental, dan jalan belakang
hotel atau tower Jam Zaman! Bahkan jamaah salat meluber sampai jembatan
layang Misfalah. Mereka membentuk saf-saf sendiri di sepanjang jalan itu.
Demikianlah
juga di arah di luar bukit Shafa dan Marwah. Kira-kira dari titik pusat
Kakbah jamaah berlingkarlingkar dan berkumpar-kumpar dalam radius 2
kilometer! Meskipun jauh suara bacaan imam salat tetap saja terdengar jelas,
jernih, dan lantang berkat teknologi sound system yang sangat besar dan
canggih. Salat tarawih di Masjidilharam dan Masjid Nabawi memang sangat
khusyuk, panjang, dan lama. Surat-surat yang dibaca imam salat sangatlah
panjang. Rukuk dan sujud pun panjang-panjang. Tak heran salat 20 rakaat itu
berlangsung hampir jam 24.00 malam.
Tetapi,
jangan kaget, qiyamullail yang
dimulai jam 01.00 dini hari berlangsung jauh lebih panjang lagi. Salat yang
hanya terdiri 10 rakaat dengan dua rakaat salam ditambah dengan salat witir
tiga rakaat (dibagi dua rakaat salam dan satu rakaat salam) bisa berlangsung
sampai jam 03.00 dini hari! Panjangnya qiyamullail
bukan hanya karena rukuk dan sujudnya panjang sekali, melainkan karena
surat-surat Alquran yang dibaca memang surat-surat yang sangat panjang dan
lama. Tetapi, bukan hanya itu, doa qunut
pada rakaat terakhir salat witir sangat panjang dan mengharukan.
Imam
selalu berdoa dengan suara serak dan parau menangis tersedu-sedu. Para jamaah
yang mencapai ratusan ribu, bahkan jutaan, itu selalu menyambut satu potong
doa dari sang imam dengan ucapan “amin” dengan sedu sedan penuh tangisan. Ada
beberapa imam salat tarawih (seusai isya) dan qiyamullail (dini hari sekitar jam 01.00) di Masjidilharam yang
sering menangis tersedu-sedan ketika membaca surat-surat Alquran dan doa
dalam salat-salat itu. Para jamaah pun terbawa suasana jiwa yang syahdu dan
khusyuk itu sehingga tidak mampu menahan tangis tersedu mengikuti tangisan
sang imam.
Suasana
betul-betul sangat religius dan emosional, bukan sentimentil. Ketika imam
membaca doa qunut yang amat sangat panjang, fasih, dan untaian kalimatnya
indah sekali itu, jamaah menyambutnya setiap potong doa dengan “amin”. Maka
bisa dibayangkan betapa membahananya ucapan “amin” dari ratusan ribu jamaah
di satu tempat itu. Ketika imam mulai berdoa sambil menangis, jamaah pun
menyambut “amin” dengan tangisan pula. Apalagi sang imam tahu betul memilih
doa-doa yang menyentuh kalbu jamaah, terutama doa-doa untuk mohon ampunan
atas dosa-dosa kita. Sungguh sebuah pengalaman kerohanian yang luar biasa
menyejukkan hati.
Agama
memang bukan hanya konsumsi akal dalam bentuk pemikiran-pemikiran filosofis
semata. Agama juga menyangkut soal kedalaman jiwa, perasaan atau intuisi, dan
kehangatan kerohanian. Agama yang terlalu rasional menjadikan kehidupan
spiritual kita terasa kering. Jiwa kita perlu kesejukan spiritual dan
kehalusan mistis. Berumrah dan beribadah di Masjidilharam di sepertiga
terakhir Ramadan sangat menyentuh jiwa. Sayang, ongkosnya mahal sekali. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar