Sabtu, 26 Juli 2014

Jokowi-JK dan Harapan Berantas Korupsi

                Jokowi-JK dan Harapan Berantas Korupsi

M Naiful Haris  ;   Seorang Peneliti,
Alumnus Fisipol Universitas Wahid Hasyim, Semarang
KORAN JAKARTA, 24 Juli 2014
                                                


Setelah penetapan KPU atas kemengangan Pilpres 2014 pasangan Jokowi-JK bakal memimpin negeri ini untuk lima tahun ke depan. Banyak pekerjaan berat menanti dan yang paling urgen antara lain korupsi. Membicarakan korupsi di negeri ini seolah tidak pernah habis.

Mendagri Gamawan Fauzi ketika membuka Orientasi Kepemimpinan dan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah bagi Bupati/Wali Kota dan Wakil Bupati/Wakil Wali Kota, beberapa bulan lalu, menyatakan, 291 kepala daerah dari 536 kabupaten/kota menjadi tersangka korupsi. Dengan demikian, korupsi seolah memunyai daya tarik tersendiri untuk menggaet mangsanya. I

tu terbukti betapa banyak pejabat daerah terjerat hukum. Begitu banyak dana yang dikorup. Selain dugaan korupsi, hubungan kepala daerah dan wakil kepala daerah turut menimbulkan konflik politik, meskipun secara kasat mata tidak muncul di permukaan. Kelengseran Wakil Bupati Garut, Dicky Candra, dan Wakil Gubernur DKI Jakarta, Prijanto, beberapa waktu lalu, menunjukkan potret kelemahan tingkat konsolidasi pemimpin politik pemerintahan daerah.

Secara kuantitas, pejabat daerah terjerat kasus korupsi cukup mencengangkan. Sebanyak 155 kepala daerah menjadi tersangka korupsi, 17 di antaranya masih menjabat sebagai gubernur. Hal ini membuktikan betapa kebobrokan moralitas kepala daerah.

Harapan masyarakat akan pemimpin daerah sesuai dengan aspirasi masyarakat semakin pupus. Bahkan, ada anggapan jika dulu korupsi hanya “meracuni” anggota DPRD dalam proses pemilu kepala daerah, kini telah menyebar ke seluruh lapisan masyarakat.

Sekarang nyaris tidak ada kepala daerah tidak memakai jurus politik uang dalam meraih kursi. Di sisi lain, masyarakat makin pragmatis, tidak akan mencoblos kandidat apabila tidak ada manfaat “konkret” seperti uang. Korupsi sangat memperihatinkan. Contoh kasus di Jawa Tengah sejak tahun 2000-2011 ada 20 mantan kepala daerah terjerat korupsi. Ada tiga kepala daerah aktif menjadi tersangka.

Dua mantan wakil kepala daerah dan seorang mantan gubernur sedang diproses di pengadilan. Akibatnya, kerugian negara ditaksir mencapai 240 miliar. Itu baru kasus yang terungkap. Jadi, mungkin lebih banyak lagi yang belum terungkap. Ironis memang tapi itulah kenyataannya. Ironisnya lagi, semua kasus korupsi para pejabat daerah terjadi ketika masih aktif.

Dari 20 orang tersebut, 13 sudah disidangkan, termasuk dua mantan kepala daerah yang divonis bebas di tingkat pengadilan negeri, yakni mantan Bupati Demak, Endang Setyaningdyah, dan mantan Wakil Bupati Karanganyar, Sri Sadoyo. Adapun tiga mantan kepala daerah sudah meninggal.

Sembilan belum disidangkan. Dua kasusnya di-SP3-kan. Banyak pejabat daerah aktif dan pensiunan terlibat korupsi sungguh menyedihkan. Pejabat harus jujur, sebab tidak ada jaminan setelah tugas berarti habis pula permasalahan. Bahkan, bisa sebaliknya, habis masa jabatan, baru muncul masalah. Namun, yang lebih menarik lagi, dari sejumlah tersangka kasus korupsi masih tetap saja dilantik sebagai kepala daerah.

Tahun 2008 sampai 2011 terjadi delapan kali pelantikan kepala daerah berstatus tersangka dan terdakwa. Kasus terakhir pada 7 Januari 2011, Jefferson Soleiman Rumajar dilantik sebagai Wali Kota Tomohon periode 2010-2015. Jefferson tersangkut kasus korupsi menggunakan dana kas daerah untuk kepentingan pribadi 33,7 miliar.

Para elite politik pusat dan daerah cenderung korup karena biaya sistem pemilu terlalu mahal. Namun, dalam kenyataan, ketika kepala daerah dipilih DPRD yang dianggap berbiaya lebih murah, mereka tetap saja korup. Jadi, mahal dan murah biaya pemilu tidak terlalu signifikan untuk mengerem perilaku korup pejabat.

Tugas

Salah satu cita-cita reformasi adalah menciptakan birokrasi dan sistem pemerintahan yang bebas korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Cita-cita itu sudah berjalan hampir 16 tahun sejak reformasi bergulir.

Namun, cita-cita reformasi birokrasi dan penciptaan pemerintahan yang bersih dari KKN gagal. Buktinya, begitu banyak kepada daerah menjadi tersangka korupsi. Reformasi yang semestinya bisa menekan korupsi yang pernah dilakukan pemerintahan Orde Baru ternyata bukan salah.

Korupsi justru subur. Jika dulu para bupati, apalagi camat, sulit korupsi, kini sampai kepala desa pun banyak dipenjara karena korupsi. Jadi reformasi ini telah berhasil memeratakan korupsi di semua level yang memiliki wewenang.

Bila dikaji lebih jauh, program pemberantasan korupsi, terutama di bidang reformasi birokrasi dan penciptaan pemerintahan yang bersih, lebih merupakan kampanye pencitraan politik daripada benar-benar direalisasikan. Itu bisa dilihat dari fakta kepala daerah yang terlibat korupsi, termasuk yang berprestasi gemilang. Contoh terakhir kasus Bupati Sragen, Untung Wiyono, selama menjabat dikenal sangat sukses melakukan program pelayanan satu atap.

Intinya, pelayanan satu atap adalah program meminimalisasi korupsi. Keberhasilannya dicontoh di banyak daerah dan dia mendapat penghargaan secara nasional. Namun, toh akhirnya dia terjerat juga kasus korupsi setelah masa jabatannya berakhir. Banyaknya kepala daerah terlibat korupsi antara lain karena terlalu banyak wewenang yang mereka miliki.

Itu bisa dibuktikan dengan lebih banyak kepala yang terlibat korupsi ketimbang wakilnya. Selama 10 tahun (2000-2011) hanya ada dua wakil kepala daerah terjerat korupsi. Sedikitnya wakil terlibat korupsi karena memang tak memiliki wewenang. Kasarnya, tanda tangan mereka saja tidak laku. Bahkan, wewenang mereka kalah jauh dari sekretaris daerah di bidang keuangan.

Jika seseorang memiliki wewenang penuh dan bisa memutuskan apa saja tanpa harus melibatkan banyak orang tentu sangat terbuka peluang menyeleweng. Itulah yang terjadi selama 16 tahun reformasi ini. Masyarakat boleh jadi memang mudah lupa atau tidak peduli dengan kasus-kasus korupsi kepala daerah mereka.

Persoalannya, apakah berbagai kasus tersebut bisa menjadi bahan pelajaran para pejabat dan masyarakat lima tahun ke depan? Jokowi dan JK-lah yang akan menjawab. Kepada presiden dan wakil presiden baru masyarakat mengharapkan mampu menekan karakter korup para pejabat, baik pusat maupun daerah. Pemberantasan korupsi harus menjadi agenda utama. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar