Jokowi-JK dan
Harapan Berantas Korupsi
M Naiful Haris ;
Seorang Peneliti,
Alumnus
Fisipol Universitas Wahid Hasyim, Semarang
|
KORAN
JAKARTA, 24 Juli 2014
Setelah
penetapan KPU atas kemengangan Pilpres 2014 pasangan Jokowi-JK bakal memimpin
negeri ini untuk lima tahun ke depan. Banyak pekerjaan berat menanti dan yang
paling urgen antara lain korupsi. Membicarakan korupsi di negeri ini seolah
tidak pernah habis.
Mendagri
Gamawan Fauzi ketika membuka Orientasi Kepemimpinan dan Penyelenggaraan
Pemerintahan Daerah bagi Bupati/Wali Kota dan Wakil Bupati/Wakil Wali Kota,
beberapa bulan lalu, menyatakan, 291 kepala daerah dari 536 kabupaten/kota
menjadi tersangka korupsi. Dengan demikian, korupsi seolah memunyai daya
tarik tersendiri untuk menggaet mangsanya. I
tu
terbukti betapa banyak pejabat daerah terjerat hukum. Begitu banyak dana yang
dikorup. Selain dugaan korupsi, hubungan kepala daerah dan wakil kepala
daerah turut menimbulkan konflik politik, meskipun secara kasat mata tidak
muncul di permukaan. Kelengseran Wakil Bupati Garut, Dicky Candra, dan Wakil
Gubernur DKI Jakarta, Prijanto, beberapa waktu lalu, menunjukkan potret
kelemahan tingkat konsolidasi pemimpin politik pemerintahan daerah.
Secara
kuantitas, pejabat daerah terjerat kasus korupsi cukup mencengangkan.
Sebanyak 155 kepala daerah menjadi tersangka korupsi, 17 di antaranya masih
menjabat sebagai gubernur. Hal ini membuktikan betapa kebobrokan moralitas
kepala daerah.
Harapan
masyarakat akan pemimpin daerah sesuai dengan aspirasi masyarakat semakin
pupus. Bahkan, ada anggapan jika dulu korupsi hanya “meracuni” anggota DPRD
dalam proses pemilu kepala daerah, kini telah menyebar ke seluruh lapisan
masyarakat.
Sekarang
nyaris tidak ada kepala daerah tidak memakai jurus politik uang dalam meraih
kursi. Di sisi lain, masyarakat makin pragmatis, tidak akan mencoblos
kandidat apabila tidak ada manfaat “konkret” seperti uang. Korupsi sangat
memperihatinkan. Contoh kasus di Jawa Tengah sejak tahun 2000-2011 ada 20
mantan kepala daerah terjerat korupsi. Ada tiga kepala daerah aktif menjadi
tersangka.
Dua
mantan wakil kepala daerah dan seorang mantan gubernur sedang diproses di
pengadilan. Akibatnya, kerugian negara ditaksir mencapai 240 miliar. Itu baru
kasus yang terungkap. Jadi, mungkin lebih banyak lagi yang belum terungkap.
Ironis memang tapi itulah kenyataannya. Ironisnya lagi, semua kasus korupsi
para pejabat daerah terjadi ketika masih aktif.
Dari
20 orang tersebut, 13 sudah disidangkan, termasuk dua mantan kepala daerah
yang divonis bebas di tingkat pengadilan negeri, yakni mantan Bupati Demak,
Endang Setyaningdyah, dan mantan Wakil Bupati Karanganyar, Sri Sadoyo. Adapun
tiga mantan kepala daerah sudah meninggal.
Sembilan
belum disidangkan. Dua kasusnya di-SP3-kan. Banyak pejabat daerah aktif dan
pensiunan terlibat korupsi sungguh menyedihkan. Pejabat harus jujur, sebab
tidak ada jaminan setelah tugas berarti habis pula permasalahan. Bahkan, bisa
sebaliknya, habis masa jabatan, baru muncul masalah. Namun, yang lebih
menarik lagi, dari sejumlah tersangka kasus korupsi masih tetap saja dilantik
sebagai kepala daerah.
Tahun
2008 sampai 2011 terjadi delapan kali pelantikan kepala daerah berstatus
tersangka dan terdakwa. Kasus terakhir pada 7 Januari 2011, Jefferson
Soleiman Rumajar dilantik sebagai Wali Kota Tomohon periode 2010-2015.
Jefferson tersangkut kasus korupsi menggunakan dana kas daerah untuk
kepentingan pribadi 33,7 miliar.
Para
elite politik pusat dan daerah cenderung korup karena biaya sistem pemilu
terlalu mahal. Namun, dalam kenyataan, ketika kepala daerah dipilih DPRD yang
dianggap berbiaya lebih murah, mereka tetap saja korup. Jadi, mahal dan murah
biaya pemilu tidak terlalu signifikan untuk mengerem perilaku korup pejabat.
Tugas
Salah
satu cita-cita reformasi adalah menciptakan birokrasi dan sistem pemerintahan
yang bebas korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Cita-cita itu sudah berjalan
hampir 16 tahun sejak reformasi bergulir.
Namun,
cita-cita reformasi birokrasi dan penciptaan pemerintahan yang bersih dari
KKN gagal. Buktinya, begitu banyak kepada daerah menjadi tersangka korupsi.
Reformasi yang semestinya bisa menekan korupsi yang pernah dilakukan
pemerintahan Orde Baru ternyata bukan salah.
Korupsi
justru subur. Jika dulu para bupati, apalagi camat, sulit korupsi, kini
sampai kepala desa pun banyak dipenjara karena korupsi. Jadi reformasi ini
telah berhasil memeratakan korupsi di semua level yang memiliki wewenang.
Bila
dikaji lebih jauh, program pemberantasan korupsi, terutama di bidang
reformasi birokrasi dan penciptaan pemerintahan yang bersih, lebih merupakan
kampanye pencitraan politik daripada benar-benar direalisasikan. Itu bisa
dilihat dari fakta kepala daerah yang terlibat korupsi, termasuk yang
berprestasi gemilang. Contoh terakhir kasus Bupati Sragen, Untung Wiyono,
selama menjabat dikenal sangat sukses melakukan program pelayanan satu atap.
Intinya,
pelayanan satu atap adalah program meminimalisasi korupsi. Keberhasilannya
dicontoh di banyak daerah dan dia mendapat penghargaan secara nasional.
Namun, toh akhirnya dia terjerat juga kasus korupsi setelah masa jabatannya
berakhir. Banyaknya kepala daerah terlibat korupsi antara lain karena terlalu
banyak wewenang yang mereka miliki.
Itu
bisa dibuktikan dengan lebih banyak kepala yang terlibat korupsi ketimbang
wakilnya. Selama 10 tahun (2000-2011) hanya ada dua wakil kepala daerah
terjerat korupsi. Sedikitnya wakil terlibat korupsi karena memang tak
memiliki wewenang. Kasarnya, tanda tangan mereka saja tidak laku. Bahkan,
wewenang mereka kalah jauh dari sekretaris daerah di bidang keuangan.
Jika
seseorang memiliki wewenang penuh dan bisa memutuskan apa saja tanpa harus
melibatkan banyak orang tentu sangat terbuka peluang menyeleweng. Itulah yang
terjadi selama 16 tahun reformasi ini. Masyarakat boleh jadi memang mudah
lupa atau tidak peduli dengan kasus-kasus korupsi kepala daerah mereka.
Persoalannya,
apakah berbagai kasus tersebut bisa menjadi bahan pelajaran para pejabat dan
masyarakat lima tahun ke depan? Jokowi dan JK-lah yang akan menjawab. Kepada
presiden dan wakil presiden baru masyarakat mengharapkan mampu menekan
karakter korup para pejabat, baik pusat maupun daerah. Pemberantasan korupsi
harus menjadi agenda utama. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar