Implikasi
Penolakan Prabowo
Saldi Isra ;
Guru Besar Hukum Tata
Negara dan Direktur Pusat Studi Konstitusi Fakultas Hukum Universitas
Andalas, Padang
|
KOMPAS,
23 Juli 2014
Di tengah perhatian serius mayoritas rakyat Indonesia menunggu
hasil akhir rekapitulasi penghitungan suara pemilihan umum presiden dan wakil
presiden oleh Komisi Pemilihan Umum, tiba-tiba calon presiden Prabowo
Subianto mengeluarkan sikap yang amat mengejutkan.
Intinya, ia menyatakan menolak pelaksanaan pemilu presiden dan
menarik diri dari proses yang sedang berlangsung.
Jika dilacak perkembangan yang terjadi selama proses
rekapitulasi suara mulai dari tingkat yang lebih rendah, beberapa manuver
memang muncul ke permukaan. Misalnya, beberapa hari yang lalu kita mendengar
bahwa pihak Prabowo mengancam memidanakan KPU jika tetap meneruskan proses
rekapitulasi. Selain itu, juga dilakukan langkah melaporkan KPU kepada Dewan
Kehormatan Penyelenggara Pemilu. Melihat situasi tersebut, pernyataan menarik
diri menjadi semacam kulminasi dari beberapa sikap terdahulu.
Sontak, pernyataan Prabowo menimbulkan kerisauan luar biasa dari
berbagai kalangan yang mengkhawatirkan keabsahan dan kelangsungan proses
pemilu presiden dan wakil presiden. Kekhawatiran tersebut muncul karena
pernyataan mengejutkan itu mengarah pada satu titik: Prabowo mengundurkan
diri sebagai calon presiden. Kalau begitu maksud sesungguhnya, tentunya
dibutuhkan penjelasan lebih jauh dan akurat terkait dengan langkah yang
diambil Prabowo.
Larangan mundur
Kalau dibaca dengan cermat Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008
tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden (UU No 42/2008),
kemungkinan akan adanya manuver berupa pengunduran diri telah diantisipasi.
Karena itu, UU No 42/2008 secara tegas melarang kemungkinan manuver tersebut.
Antisipasi ini dapat dibaca dalam Pasal 15 huruf f yang menyatakan bahwa
partai politik atau gabungan partai politik dalam mendaftarkan bakal pasangan
calon ke KPU wajib menyerahkan surat pernyataan dari bakal pasangan calon
tidak akan mengundurkan diri sebagai pasangan calon.
Tidak hanya itu, Pasal 22 Ayat (1) UU No 42/2008 juga menegaskan
bahwa partai politik atau gabungan partai politik dilarang menarik calonnya
dan/atau pasangan calon yang telah ditetapkan oleh KPU. Tidak hanya partai
politik, Pasal 22 Ayat (2) UU No 42/2008 menegaskan bahwa salah seorang dari
pasangan calon atau pasangan calon dilarang mengundurkan diri terhitung sejak
ditetapkan sebagai pasangan calon oleh KPU.
Dalam batas penalaran yang wajar, antisipasi berupa larangan
mengundurkan diri atau larangan menarik calon atau pasangan calon yang telah
didaftarkan adalah upaya mencegah segala kemungkinan manuver berupa pengunduran diri. Bagaimanapun, jika kemungkinan
itu tidak diantisipasi, sangat mungkin muncul manuver berupa pengunduran diri
akan mengganggu penyelesaian tahapan pemilu presiden dan wakil presiden.
Paling tidak, sekiranya ada yang mengundurkan diri, dapat dipastikan akan
mengganggu waktu penyelesaian tahapan yang tersisa.
Karena itu, agar pengunduran diri tidak terjadi, pembentuk
undang-undang mengancam dengan ketentuan pidana. Misalnya, Pasal 245 Ayat (1)
UU No 42/2008 menyatakan bahwa setiap calon presiden atau wakil presiden yang
dengan sengaja mengundurkan diri setelah penetapan calon sampai dengan
pelaksanaan pemungutan suara putaran pertama, dipidana dengan pidana penjara
paling singkat 24 bulan dan paling lama 60 bulan serta denda paling sedikit
Rp 25 miliar dan paling banyak Rp 50 miliar.
Tidak hanya calon, pimpinan partai politik atau gabungan
pimpinan partai politik yang dengan sengaja menarik calon dan/atau pasangan
calon yang telah ditetapkan oleh KPU sampai dengan pelaksanaan pemungutan
suara putaran pertama juga dapat dijatuhi pidana. Tidak tanggung-tanggung,
mereka diancam dipidana penjara paling singkat 24 bulan dan paling lama 60
bulan. Selain itu, juga diancam denda paling sedikit Rp 25 miliar dan paling
banyak Rp 50 miliar.
Bahkan, menurut Pasal 246 Ayat (1) UU No 42/2008, apabila
pengunduran diri sengaja dilakukan calon atau pasangan calon setelah
pemungutan suara putaran pertama sampai dengan pelaksanaan pemungutan suara
putaran kedua, mereka diancam pidana penjara paling singkat 36 bulan dan
paling lama 72 bulan serta denda paling sedikit 50 miliar dan paling banyak
Rp 100 miliar. Ancaman yang sama juga ditujukan kepada pimpinan partai
politik atau gabungan partai politik yang mengajukan calon atau pasangan
calon.
Terkait dengan kemungkinan penjatuhan pidana terhadap Prabowo,
memang ada wilayah yang diperdebatkan karena langkah ini dilakukan setelah
pemungutan suara. Secara tekstual, pengunduran yang dapat dipidana adalah
yang dilakukan setelah pendaftaran calon atau setelah pemungutan suara
putaran pertama. Secara kasatmata, pengunduran tidak terjadi setelah
penetapan pasangan calon dan Pilpres 2014 hanya satu putaran, sangat mungkin
Prabowo mengelak dari kemungkinan penjatuhan pidana.
Tidak mengubah hasil
Tanpa perlu membahas lebih lanjut dari kemungkinan penjatuhan
sanksi pidana atas pihak yang sengaja mengundurkan diri, langkah Prabowo
menarik diri (mengundurkan diri?) tidak akan menimbulkan implikasi apa pun
atas hasil pemungutan suara dan rekapitulasi suara yang diakukan KPU. Karena
itu, kita tidak perlu khawatir dengan ”langkah politik” yang dilakukan
Prabowo. Apalagi, rekapitulasi suara secara nasional telah berada dalam
wilayah KPU.
Melihat ketentuan yang ada dalam UU No 42/2008, pengunduran diri
calon atau pasangan calon perlu dikhawatirkan apabila langkah tersebut dilakukan
setelah penetapan pasangan calon atau setelah pemungutan suara putaran
pertama. Jika pengunduran diri dilakukan pada tahapan sebagaimana dimaksudkan
dalam ancaman pidana Pasal 145 dan 146 UU No 42/2008, masyarakat perlu
khawatir. Apabila pengunduran terjadi pada tahap tersebut, tahapan berikutnya
akan terganggu. Dengan terganggunya tahapan berikutnya, dapat merusak jadwal
pelantikan presiden dan wakil presiden baru.
Dalam situasi seperti ini, yang perlu diantisipasi adalah jika
KPU mengalami keraguan untuk menetapkan hasil penghitungan secara nasional.
Karena itu, sepanjang KPU tetap meneruskan langkah menetapkan hasil pemilu
presiden dan wakil presiden, langkah politik Prabowo tidak akan menimbulkan
implikasi hukum apa pun. Tidak hanya itu, penetapan diperlukan karena akan
menjadi titik awal kemungkinan mengajukan permohonan sengketa ke Mahkamah
Konstitusi (MK). Dengan batas waktu mengajukan permohonan sengketa paling
lama tiga hari sejak penetapan KPU, kita akan memastikan apakah diksi Prabowo
”menarik diri” bermakna sebagai mundur atau hanya manuver belaka.
Kalau benar-benar mundur dan tidak hendak menggunakan hak
konstitusional mengajukan permohonan ke MK, langkah politik Prabowo dapat
dikatakan sebagai cara lain untuk memuluskan jalan Jokowi-JK menuju panggung
R-1 dan R-2. Paling tidak, apabila benar-benar mundur, Jokowi-JK tidak perlu
berhabis hari menunggu proses hukum di MK. Dengan berpikir positif, tidak
hanya Jokowi-JK, kita rakyat Indonesia juga seharusnya menyampaikan ucapan
terima kasih kepada Prabowo. Minimal, dengan pilihan tidak meneruskan ke MK,
ketegangan yang telah berlangsung cukup lama dapat diakhiri. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar