THR
dalam Balada Lebaran
Indra Tranggono ;
Pemerhati Kebudayaan dan
Sastrawan
|
KOMPAS,
23 Juli 2014
AKU tidak menunggu hasil pilpres. Yang kutunggu adalah THR!”
Status nakal macam ini bertebaran di banyak dinding Facebook. Tunjangan hari
raya memang menjadi isu sensitif, melebihi politik, terutama bagi pegawai
negeri sipil, karyawan, dan buruh. Capres yang dijagokan boleh kalah asal
mereka tidak ”kalah” dalam merayakan Lebaran. Atau, untuk apa capres
jagoannya menang jika mereka tidak bisa merayakan Lebaran?
Isu Lebaran dan THR
mampu meredakan ketegangan antar-pendukung capres yang ”berperang” komentar
di FB ataupun di luar FB. Favoritisme dan fanatisme terhadap capres tertentu
bisa jadi masih ada, tetapi tak sekuat sebelumnya. Ketika pencoblosan dalam
pilpres selesai ditunaikan, publik disergap persoalan Lebaran yang mengalami
transformasi material dan identik
dengan uang.
Politik anti keteladanan
Dalam kehidupan yang berbiaya tinggi, uang berpotensi
melunturkan fanatisme politik sekental apa pun. Apalagi bagi publik yang
nir-ideologi alias massa mengambang.
Selama ini publik juga banyak ”dididik” soal pragmatisme oleh elite politik dan
para politikus kelas petualang. Pindah-pindah partai atau pindah-pindah
koalisi jadi model yang disukai demi mendapatkan konsesi, baik berupa jabatan
maupun proyek. Nyaris tak ada lagi kesatria politik. Oportunisme jadi paham
yang disembah penuh sukacita.
Jagat politik yang anti keteladanan sulit melahirkan masyarakat politik yang
cerdas, dedikatif, dan militan.
Pendidikan politik tak pernah terjadi. Apa yang disangka sebagai masyarakat
politik sebenarnya tak lebih dari kerumunan massa (crowd) yang gampang direkayasa dan dimobilisasi.
Mereka umumnya bukan masyarakat politik partisipatoris dan
ideologis, melainkan sekadar figuran politik. Antara massa konstituen dan
parpol tak ada komitmen. Setelah perhelatan pemilu selesai, masing-masing
akan berjalan sendiri-sendiri. Parpol akan melanjutkan berburu kekuasaan.
Adapun massa kembali menjadi layang-layang putus di langit raya.
Politik itu abstrak, tetapi THR itu konkret. Politik adalah
omong janji-janji yang berpotensi diingkari, tetapi THR bicara kebutuhan
riil: bahan pokok, biaya transportasi, konsumsi, hiburan, piknik, pulang
kampung, menjalin silaturahim dengan sanak keluarga, berbagi rezeki kepada
banyak orang, dan seabrek kebutuhan lain. Semua kebutuhan itu mendesak, tak
bisa di-semayani (ditunda apalagi dihindari).
Ketika berkunjung ke keluarga dan sanak saudara, orang tidak ditanya, ”Piye khabare? Apa capres jagomu menang?” Tidak! Tetapi mungkin ditanya, ”Apa pekerjaanmu sekarang? Bisa bantu
dikit-dikit, kan?”
Antara ada dan tiada
Bagi rakyat yang sudah rutin menderita, presiden dan
penyelenggara negara lainnya antara ada dan tiada. Ini karena negara sering absen dalam persoalan-persoalan riil
publik. Misalnya dalam soal jaminan pelayanan kesehatan, pendidikan, lapangan
pekerjaan, keamanan, dan hak-hak menjalankan keyakinan, terutama bagi
minoritas. Energi dan uang negara lebih banyak dikorupsi dan dikuras untuk
mengurusi korupsi.
Celakanya, negara selalu dalam posisi korban di bawah kaki kaum koruptor yang adidaya. Dalam posisi
menyedihkan itu, negara tak kunjung ”sempat” mengurusi nasib rakyat, termasuk
yang berkaitan dengan Lebaran.
Lebaran itu momentum istimewa. Tidak hanya bagi kaum Muslim,
tetapi juga non-Muslim. Lebaran telah jadi kultur. Kultur bicara tentang
nilai dan perilaku yang menekankan keutamaan kedamaian, persaudaraan, dan
solidaritas. Kesediaan berbagi menjadi kata kunci, baik dalam nilai (empati,
toleransi) maupun materi. Empati mendorong
kita untuk bela rasa dengan menjadikan penderitaan orang lain sebagai
persoalan kita.
Adapun toleransi merupakan sikap dan kemampuan kita memberi
ruang dan hak hidup segala perbedaan yang dimiliki orang lain (konteks
bermasyarakat, berbangsa , dan bernegara). Setiap orang harus menjadi rahmat
bagi orang lain, apalagi mereka yang mengaku beriman kepada Tuhan (konteks religiusitas).
Kebersamaan itu indah
Kirjomulyo, penyair angkatan 1950-an, berucap dalam sajak ”Di
Tanganmu”: //Jiwa di tanah airmu adalah jiwa yang bersedia berbagi...// Sajak ini menjadi tanda kebudayaan bangsa
kita yang selalu berpikir, bersikap, dan bertindak komunal, di mana
kebersamaan menjadi sesuatu yang indah. Keindahan adalah puncak dari
kebenaran dan kebaikan.
Sastra Indonesia merekam banyak kisah tentang Lebaran, baik
berupa puisi maupun cerita pendek (karya
Sitor Situmorang, Umar Kayam, dan lainnya). Di mata para sastrawan kita,
Lebaran umumnya menjelma menjadi balada yang mengaduk-aduk perasaan: benturan
antara nilai-nilai kemanusiaan dan materi, persoalan sosial, dan lainnya. Di
situ Lebaran mengalami distorsi makna.
Lebaran merupakan momentum untuk merayakan keindahan dalam
kebersamaan, baik lingkup komunitas kecil maupun komunitas kebangsaan. Namun,
keindahan itu telah dirampas konsumerisme yang dipompa kuasa modal sehingga
rumbai-rumbai Lebaran (gebyar pesta) dianggap lebih penting daripada
silaturahim dan solidaritas kebangsaan.
Di tangan penguasa modal, Lebaran pun jadi terasa mahal secara
material, terutama bagi wong cilik,
baik yang mendapat THR maupun tidak. Celakanya, negara justru merestui ”kerakusan” penguasa modal. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar