Kamis, 24 Juli 2014

Surat untuk Tuan Capres

                                         Surat untuk Tuan Capres

Agus Maladi Irianto  ;   Antropolog,
Dosen Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Diponegoro
SUARA MERDEKA, 21 Juli 2014
                                                


TUAN-tuan calon presiden (capres) yang saya hormati. Ketika menulis surat terbuka ini, saya tak bisa menyembunyikan kegundahan dan rasa miris terhadap fenomena sosial di sekitar kita, belakangan ini. Menunggu tanggal 22 Juli 2014, saat Komisi Pemilihan Umum (KPU) mengumumkan hasil Pilpres 2014 terasa menjadi hari yang sangat panjang dan melelahkan.

Tuan-tuan calon presiden yang saya hormati. Saya memercayai kalian berdua putra terbaik negeri ini sehingga kami, rakyat Indonesia, sepakat memilih menjadi pemimpin lima tahun mendatang. Jika hak pilih kami mampu menentukan kemenangan, tentu bukan serta merta tanpa harapan dan impian. Kami menginginkan negeri ini menjadi lebih bermartabat, berdaulat, dan berkeadilan.

Sayang, hak pilih yang kami berikan pada 9 Juli 2014 pada hari-hari ini, oleh sebagian orang lebih dipersepsikan sebagai deretan angka yang kemudian dijadikan kalkulasi presentasi sebuah kemenangan atau kekalahan. Identitas kami sebagai warga negara yang mempunyai hak pilih, lebih diposisikan sebagai benda dan dijadikan objek hitung semata. Bermula dari angka-angka itu, para tim sukses tuan-tuan bersorak kegirangan atau marah.

Bermula dari angka-angka pula, mereka saling hujat, melontarkan fitnah, dan tindakan sosial lain yang ujungujungnya menyalahkan pihak lain. Angka-angka itu membentuk realitas yang dipercaya sejumlah warga negara sebagai representasi dari kemenangan atau kekalahan.

Nilai-nilai, kearifan, dan kemartabatan yang selama ini melekat dan menjadi bagian dari identitas tiap individu tergerus oleh kepentingan pragmatis yang serbasesaat. Kontestasi pilpres seperti mereduksi hakikat manusia yang memiliki sifat rasional yang bertanggung jawab atas tingkah laku intelektual dan sosial. Nilai-nilai, kearifan, dan kemartabatan manusia yang berubah jadi kepentingan pragmatis, justru membentuk pengetahuan baru yang terekspresi pada tindakan yang lebih mengedepankan kekecurigaan, ketamakan, dan manipulasi.

Maka, melalui surat ini saya berharap kepada tuan-tuan calon presiden beserta tim suksesnya untuk menempatkan kami tidak sekadar kapital yang secara kuantitatif diposisikan sebagai penentu kalah dan menang semata.

Tuan-tuan calon presiden yang saya hormati. Nilai-nilai, kearifan, dan kemartabatan pada dasarnya adalah kesadaran kultural yang melekat pada tiap individu warga negara. Kesadaran kultural pada bangsa yang berumur hampir 70 tahun ini, tidak serta merta harus termarjinalisasi oleh pengetahuan baru yang lebih mengedepankan kekecurigaan, ketamakan, dan manipulasi. Kesadaran kultural inilah yang hingga hari ini saya tunggu dari tindakan tuan-tuan yang terhormat.

Apalagi, selama kampanye, saya belum mendengar komitmen tuan-tuan terhadap isu kesadaran kultural bangsa ini. Bahkan, dalam debat di KPU tak satu pun dari tuantuan mengangkat tema strategi kebudayaan bangsa yang berpenduduk lebih dari 200 juta jiwa. Melalui surat ini, saya berharap tuan-tuan memosisikan nilai-nilai, kearifan, dan kemartabatan bangsa ini untuk tidak terjebak pada kalkulasi angka-angka yang mendorong pada rasa curiga, tamak, dan manipulatif.

Alami Perubahan

Tuan-tuan calon presiden yang saya hormati. Fenomena sosial hari ini memang tidak harus sama dengan suasana ekulibrium pada masa lalu. Keteraturan alam semesta yang mewarnai kebudayaan Indonesia hari ini telah mengalami perubahan. Kebudayaan global menjadi keniscayaan untuk memengaruhi hasrat religius dan keselarasan hidup masyarakat. Keberadaan teknologi informasi, yang jadi ciri salah satu ciri kebudayaan global, telah mengubah kebudayaan sebagian besar masyarakat Indonesia, baik di perkotaan maupun pedesaan.

Kemenjamuran pusat perbelanjaan bergaya seperti shopping mall, industri waktu luang, industri mode dan kecantikan, industri kuliner, industri nasihat, industri gosip, industri makanan cepat saji, reproduksi gaya hidup melalui iklan dan tayangan televisi, menjadi sesuatu yang tak terelakkan. Bahkan hari ini, kita menjadi sulit membedakan mana wilayah publik dan mana wilayah domestik.

Tuan-tuan calon presiden yang saya hormati. Saya menyadari bahwa fenomena hari ini tidak mungkin harus dikembalikan ke suasana masa lalu. Saya tidak setuju andai pelestarian kebudayaan dipahami hanya sebagai residu atau konservasi budaya yang serbamengedepankan artefak dan simbol-simbol.

Eksistensi kebudayaan tidak harus diisolasi dari perkembangan zaman, atau bahkan dengan cara memisahkan teks dari konteks historisnya. Kebudayaan Indonesia saat ini, tak selamanya harus merepresentasikan tentang romantisme ketenangan, keteraturan, dan keeksotisan semata. Namun persoalan nilainilai, kearifan, dan kemartabatan bangsa adalah bentuk negosiasi budaya yang harus tuan-tuan calon presiden pegang bila kelak memimpin bangsa ini.

Ya, hingga hari ini saya masih menunggu strategi kebudayaan yang akan tuan negosiasikan terhadap negeri ini. Semoga strategi itu mampu mengobati rasa miris kami terhadap fenomona sosial yang berkembang saat ini, yang menempatkan kami sebagai objek hitung yang menentukan kalah dan menang. Saya berharap tuan memosisikan kami sebagai aset nilai-nilai, kearifan, dan kemartabatan bangsa ini. Saya menolak dijadikan alat kalkulasi angka-angka yang justru yang melahirkan rasa curiga, tamak, dan manipulatif. Salam budaya. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar