Surat
untuk Tuan Capres
Agus Maladi Irianto ;
Antropolog,
Dosen
Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Diponegoro
|
SUARA
MERDEKA, 21 Juli 2014
TUAN-tuan
calon presiden (capres) yang saya hormati. Ketika menulis surat terbuka ini,
saya tak bisa menyembunyikan kegundahan dan rasa miris terhadap fenomena
sosial di sekitar kita, belakangan ini. Menunggu tanggal 22 Juli 2014, saat
Komisi Pemilihan Umum (KPU) mengumumkan hasil Pilpres 2014 terasa menjadi
hari yang sangat panjang dan melelahkan.
Tuan-tuan
calon presiden yang saya hormati. Saya memercayai kalian berdua putra terbaik
negeri ini sehingga kami, rakyat Indonesia, sepakat memilih menjadi pemimpin
lima tahun mendatang. Jika hak pilih kami mampu menentukan kemenangan, tentu
bukan serta merta tanpa harapan dan impian. Kami menginginkan negeri ini
menjadi lebih bermartabat, berdaulat, dan berkeadilan.
Sayang,
hak pilih yang kami berikan pada 9 Juli 2014 pada hari-hari ini, oleh sebagian
orang lebih dipersepsikan sebagai deretan angka yang kemudian dijadikan
kalkulasi presentasi sebuah kemenangan atau kekalahan. Identitas kami sebagai
warga negara yang mempunyai hak pilih, lebih diposisikan sebagai benda dan
dijadikan objek hitung semata. Bermula dari angka-angka itu, para tim sukses
tuan-tuan bersorak kegirangan atau marah.
Bermula
dari angka-angka pula, mereka saling hujat, melontarkan fitnah, dan tindakan
sosial lain yang ujungujungnya menyalahkan pihak lain. Angka-angka itu membentuk
realitas yang dipercaya sejumlah warga negara sebagai representasi dari
kemenangan atau kekalahan.
Nilai-nilai,
kearifan, dan kemartabatan yang selama ini melekat dan menjadi bagian dari
identitas tiap individu tergerus oleh kepentingan pragmatis yang serbasesaat.
Kontestasi pilpres seperti mereduksi hakikat manusia yang memiliki sifat
rasional yang bertanggung jawab atas tingkah laku intelektual dan sosial.
Nilai-nilai, kearifan, dan kemartabatan manusia yang berubah jadi kepentingan
pragmatis, justru membentuk pengetahuan baru yang terekspresi pada tindakan
yang lebih mengedepankan kekecurigaan, ketamakan, dan manipulasi.
Maka,
melalui surat ini saya berharap kepada tuan-tuan calon presiden beserta tim
suksesnya untuk menempatkan kami tidak sekadar kapital yang secara
kuantitatif diposisikan sebagai penentu kalah dan menang semata.
Tuan-tuan
calon presiden yang saya hormati. Nilai-nilai, kearifan, dan kemartabatan
pada dasarnya adalah kesadaran kultural yang melekat pada tiap individu warga
negara. Kesadaran kultural pada bangsa yang berumur hampir 70 tahun ini,
tidak serta merta harus termarjinalisasi oleh pengetahuan baru yang lebih
mengedepankan kekecurigaan, ketamakan, dan manipulasi. Kesadaran kultural
inilah yang hingga hari ini saya tunggu dari tindakan tuan-tuan yang
terhormat.
Apalagi,
selama kampanye, saya belum mendengar komitmen tuan-tuan terhadap isu
kesadaran kultural bangsa ini. Bahkan, dalam debat di KPU tak satu pun dari
tuantuan mengangkat tema strategi kebudayaan bangsa yang berpenduduk lebih
dari 200 juta jiwa. Melalui surat ini, saya berharap tuan-tuan memosisikan
nilai-nilai, kearifan, dan kemartabatan bangsa ini untuk tidak terjebak pada
kalkulasi angka-angka yang mendorong pada rasa curiga, tamak, dan
manipulatif.
Alami Perubahan
Tuan-tuan
calon presiden yang saya hormati. Fenomena sosial hari ini memang tidak harus
sama dengan suasana ekulibrium pada masa lalu. Keteraturan alam semesta yang
mewarnai kebudayaan Indonesia hari ini telah mengalami perubahan. Kebudayaan
global menjadi keniscayaan untuk memengaruhi hasrat religius dan keselarasan
hidup masyarakat. Keberadaan teknologi informasi, yang jadi ciri salah satu
ciri kebudayaan global, telah mengubah kebudayaan sebagian besar masyarakat
Indonesia, baik di perkotaan maupun pedesaan.
Kemenjamuran
pusat perbelanjaan bergaya seperti shopping mall, industri waktu luang,
industri mode dan kecantikan, industri kuliner, industri nasihat, industri
gosip, industri makanan cepat saji, reproduksi gaya hidup melalui iklan dan
tayangan televisi, menjadi sesuatu yang tak terelakkan. Bahkan hari ini, kita
menjadi sulit membedakan mana wilayah publik dan mana wilayah domestik.
Tuan-tuan
calon presiden yang saya hormati. Saya menyadari bahwa fenomena hari ini
tidak mungkin harus dikembalikan ke suasana masa lalu. Saya tidak setuju
andai pelestarian kebudayaan dipahami hanya sebagai residu atau konservasi
budaya yang serbamengedepankan artefak dan simbol-simbol.
Eksistensi
kebudayaan tidak harus diisolasi dari perkembangan zaman, atau bahkan dengan
cara memisahkan teks dari konteks historisnya. Kebudayaan Indonesia saat ini,
tak selamanya harus merepresentasikan tentang romantisme ketenangan,
keteraturan, dan keeksotisan semata. Namun persoalan nilainilai, kearifan,
dan kemartabatan bangsa adalah bentuk negosiasi budaya yang harus tuan-tuan
calon presiden pegang bila kelak memimpin bangsa ini.
Ya,
hingga hari ini saya masih menunggu strategi kebudayaan yang akan tuan
negosiasikan terhadap negeri ini. Semoga strategi itu mampu mengobati rasa
miris kami terhadap fenomona sosial yang berkembang saat ini, yang
menempatkan kami sebagai objek hitung yang menentukan kalah dan menang. Saya
berharap tuan memosisikan kami sebagai aset nilai-nilai, kearifan, dan
kemartabatan bangsa ini. Saya menolak dijadikan alat kalkulasi angka-angka
yang justru yang melahirkan rasa curiga, tamak, dan manipulatif. Salam budaya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar