Kamis, 24 Juli 2014

Revolusi Mental Kejaksaan

                                      Revolusi Mental Kejaksaan

Yudi Kristiana  ;   Jaksa di Komisi Pemberantasan Korupsi,
Dosen Program Pascasarjana UNS dan UKSW
SUARA MERDEKA, 23 Juli 2014
                                                


BAGI korps kejaksaan yang hari ini memperingati Hari Bhakti Adyaksa (HBA) ke-54, revolusi mental tak dapat dihindari. Bahkan dekonstruksi seluruh behaviour birokrat kejaksaan, termasuk kultur birokrasi dan struktur birokrasi menjadi sebuah keniscayaan.

Sejarah mencatat sejak Soeharto berkuasa lebih dari 6 periode, dilanjutkan Habibie, Gus Dur, Megawati, bahkan hingga SBY yang dua periode berkuasa pun, kejaksaan tak lebih ditempatkan hanya sebagai bagian ìornamen kekuasaan”.

Tugasnya mendukung pemegang kekuasaan politik dari pemerintah pusat hingga daerah. Struktur konvensional kejaksaan dengan karakter birokratis dan sentralistik, menjadi media paling efektif sekaligus paling aman bersembunyinya intervensi kekuasaan dalam bentuk kebijakan hukum.

Terlebih dengan pertanggungjawabannya yang hierarkhis dan pemberlakuan sistem komando. Jadi, ketika kejaksaan mencoba mengontrol kekuasaan dengan menjerat penyalahgunaan kekuasaan (korupsi), baik di pemerintahan pusat maupun daerah, realitas itulah yang menyebabkan kejaksaan loyo, bahkan cenderung pro status quo.

Sejarah juga mencatat, sejak Orba hingga kini, belum ada presiden yang secara tulus membangun kejaksaan menjadi lebih baik. Pasalnya, persoalan krusial yang jadi sumber patologi birokrasi tak pernah diobati tuntas. Memori kolektif kita masih segar mengingat penangkapan jaksa Urip Tri Gunawan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada masa Jaksa Agung Hendarman Supandji. Fakta itu seharusnya bisa menjadi momentum mereformasi birokrasi kejaksaan.

Namun rupanya reformasi hanya di atas kertas mengingat semua belum berubah sampai saat ini. Sumber-sumber penyimpangan dalam penanganan perkara, yang jadi akar persoalan, tetap dibiarkan. Padahal faktor itulah yang menyebabkan kinerja kejaksaan tidak optimal.

Demikian juga pembinaan karier, dari perekrutan, mutasi, kenaikan pangkat, promosi, hingga penentuan jabatan strategis. Semuanya masih jauh dari nilai-nilai keluruhan birokrasi modern yang menjunjung tinggi objektivitas. Yang terjadi justru personalisasi birokrasi, dengan mengedepankan ’’orangnya siapa’’ dan ’’gerbongnya siapa’’.

Persoalan sama juga terjadi berkait penganggaran, bahkan terlihat pemerintah tidak pernah menempatkan kejaksaan sebagai institusi penting dalam mengawal negara. Rendahnya political will pemerintah untuk memperbaiki kejaksaan juga tercermin dari penunjukan jaksa agung. Sampai saat ini (kecuali Baharudin Lopa), rasa-rasanya belum ada seorang yang ditunjuk menjadi jaksa agung benar-benar memiliki kualitas sebagai Jaksa agung.

Meskipun sebagian besar pemangku jabatan strategis di kejaksaan, baik langsung maupun tidak langsung, ìkurang senang” dengan kehadiran KPK, penulis yakin sebagian besar rakyat Indonesia menghendaki kejaksaan bisa seperti KPK. Dapatkah mengubah kejaksaan menjadi lembaga tangguh seperti KPK saat ini? Jawabnya bisa.

Bukankah sebagian awak KPK adalah jaksa yang juga masih menjalankan fungsi penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan? Mengapa ketika di kejaksaan mereka tidak memperlihatkan ”kemoncerannya”, sementara di KPK bisa bertindak hebat atau setidak-tidaknya berkontribusi besar untuk menjadikan komisi antikorupsi itu hebat?

Lebih Hebat

Permasalahan mendasarnya karena di KPK tidak lagi dijumpai sumber patologi birokrasi atau bisa diminimalisasi. Jaksa yang bertugas di komisi antikorupsi tersebut tidak dihantui karakter birokrasi kejaksaan yang konvensional, yang menjadi media bersembunyinya intervensi dan penyalahgunaan kekuasaan. Di KPK, persoalan anggaran operasional dan kesejahteraan lebih terjaga dan teratasi dibanding di kejaksaan.

Penulis yakin, kejaksaan bisa lebih hebat dari KPK, karena struktur birokrasi kejaksaan ada di seluruh Indonesia, baik di tingkat pusat, provinsi, kabupaten/kota, hingga di sebagian kecamatan. Andai manajemen birokrasi kejaksaan dibuat menyerupai KPK, bila penentu kebijakan diisi oleh orang-orang sekaliber orang KPK dengan tidak mendasarkan pada pendekatan konvensional seperti pangkat dan senioritas, jika pemerintah baru memiliki political will kuat memperbaiki kejaksaan, itu berarti sama dengan membangun KPK di seluruh pelosok Nusantara.

Rakyat menunggu jaksa agung yang bakal dipilih oleh presiden baru, untuk menjadi penentu arah kejaksaan dan negara ini ke depan. Pasalnya hanya jaksa agunglah yang punyai otoritas mengubah kejaksaan menjadi lebih bertaji. Kita tunggu apakah figur yang ditunjuk sebagai jaksa agung baru hanya tetap menjadi ornamen kekuasaan politik seperti sebelumnya atau benar-benar mampu menjadi agen revolusi mental.

Hal itu mengingat sejatinya banyak insan muda Adhyaksa yang berintegritas tinggi, cerdas, visioner, patut jadi teladan, dan memiliki keberanian ’’berseberangan’’ dengan kekuasaan, untuk diangkat menjadi jaksa agung. Realitasnya, hingga hari ini sosok semacam itu belum, bahkan tidak mendapatkan tempat di struktur kekuasaan yang sedang berdaulat. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar