Presiden
Baru dan Krisis Lingkungan
Posman Sibuea ;
Guru Besar Tetap di
Jurusan Teknologi Hasil Pertanian
Unika
Santo Thomas Sumatera Utara;
Pendiri
dan Direktur Center for National Food Security Research (Tenfoser)
|
SINAR
HARAPAN, 24 Juli 2014
Selasa,
22 Juli 2014, Komisi Pemilihan Umum (KPU) mengumumkan hasil rekapitulasi
suara nasional. Presiden baru dan wakilnya yang akan memimpin negeri ini lima
tahun ke depan patut kita dukung secara baik. Layaknya sebuah kompetisi,
tentu harus ada yang menang dan ada yang kalah. Hal yang menjadi salah satu
pertanyaan yang segera dijawab presiden terpilih adalah, bagaimana arah
pembangunan lingkungan hidup lima tahun ke depan?
Dalam
debat capres yang di gelar beberapa waktu lalu, mencuat pendapat bahwa lingkungan
hidup menjadi sebuah isu yang tidak terpisahkan dari pembangunan ekonomi
berkelanjutan. Sayangnya, krisis lingkungan dan strategi mengatasinya belum
sepenuhnya tersentuh secara baik dalam debat yang diselenggaran KPU tersebut.
Para
kandidat belum tampak memiliki konsep dan rencana kebijakan yang komprehensif
di bidang lingkungan untuk ditawarkan kepada masyarakat. Rumusan konkret
penyelamatan lingkungan seharusnya dapat menjadi way of life pemerintahan
hasil Pemilu 2014, mengingat dampak pemanasan global akan bermuara pada
krisis air dan krisis pangan yang kian masif di masa datang.
Bagi
rakyat, presiden baru yang pro lingkungan menjadi sebuah keniscayaan.
Pasalnya, persoalan lingkungan hidup menjadi salah satu isu penting
pembangunan ekonomi, tidak saja di Indonesia tetapi juga di seluruh dunia.
Berbagai pelanggaran etika lingkungan hidup yang kerap terjadi menjadi
persoalan global yang sering mengemuka di tengah diskusi publik. Dari yang
sederhana hingga yang kompleks.
Kita
tidak pernah merasa bersalah membuang sampah di sembarang tempat; Tidak
merasa risi menyajikan air mineral kemasan plastik mulai dari rapat di
tingkat RT hingga DPR di Senayan; Tidak merasa berdosa menebang dan membakar
hutan yang menyebabkan bencana kabut asap setiap tahun yang acap melumpuhkan
perekonomian nasional.
Masalah
lain yang tak kalah penting untuk segera mendapat perhatian dan penanganan
pemerintahan baru hasil Pemilu 2014 adalah krisis air bersih. Di sejumlah
daerah, air berlebihan tetapi distribusinya tidak dikelola secara baik.
Sebaliknya di daerah lain debit air bersih sangat sedikit sehingga akses
masyarakat rendah. Ketersediaan air kerap tidak diikuti dengan kualitas yang
baik karena tingkat pencemaran relatif tinggi (too much, too little, dan too
dirty).
Terobosan Baru
Permasalahan-permasalahan
lingkungan hidup tersebut perlu penanganan dan terobosan baru.
Praktik-praktik bisnis besar yang terus ingin meraup keuntungan tengah
menghancurkan kehidupan. Hutan belantara porak poranda digilas roda
pembangunan hedonis di tengah kompetisi pasar global. Tanah, air, udara, dan
laut telah beralih fungsi dari sistem yang mendukung kehidupan menjadi gudang
limbah. Degradasi lingkungan yang terjadi harus dapat dikurangi dan
diperbaiki.
Pelanggaran
etika lingkungan ini membutuhkan ketegasan komitmen politik dari presiden
terpilih. Tingkat kerusakan lingkungan hidup yang kian parah dapat menjadi
mesin pendorong konflik baru untuk memperebutkan pasokan air yang makin
langka. Sekadar menyebut contoh, konflik yang terjadi di wilayah Darfur,
Sudan konon dipicu masalah akses ke sumber air bersih.
Pemanasan
global telah memicu perubahan iklim dan berdampak pada penguapan air dari
permukaan Bumi lebih cepat. Pertambahan populasi dunia yang signifikan dari 7
miliar saat ini menjadi 9 miliar pada 2050, akan mendorong meningkatnya
penggunaan air. Jumlah penduduk yang kekurangan air akan meningkat menjadi
3,9 miliar jiwa pada 2030. Itu mendekati separuh dari jumlah populasi dunia.
Indonesia
tidak luput dari bencana itu. Kita bakal mengalami krisis pangan yang lebih
buruk jika air selalu dianggap sebagai sumber daya alam yang tak terbatas.
Dari perspektif pertanian, air adalah pilar kedaulatan pangan. Negeri yang
dipuja subur dan makmur ini kedaulatan pangannya masih keropos karena kerap
mengalami krisis air untuk pertanian.
Alam
yang selama ini diharapkan bisa memasok kebutuhan air untuk sektor pertanian
ternyata memiliki keterbatasan. Alam kerap dimaknai sebagai sumber air yang
tak terbatas sehingga saat air berlimpah orang cenderung tak memedulikannya
sebagai anugerah Tuhan. Ketika air mogok mengalir di sungai dan petani
berteriak karena air menghilang dari sawahnya, kita tersentak alam punya
batas untuk dikuras.
Keberhasilan
pemerintahan rezim Orde Baru memutar roda pembangunan untuk mendorong
pertumbuhan ekonomi telah menetaskan bentuk kemiskinan baru. Lingkungan hidup
dieksploitasi secara berlebihan. Perambahan hutan (illegal logging untuk
perluasan perkebunan kelapa sawit dan pertambangan) dikendalikan pemodal
besar guna mengisap madu sumber daya alam. Banjir dan kekeringan sebagai buah
perubahan iklim tak bisa dilepaskan dari disorientasi ekologi akibat
kerakusan sekolompok orang terhadap nilai ekonomi hutan.
Habitus Baru
Disorientasi
ekologi merupakan cermin dari persoalan kita secara keleluruhan. Kita
kehilangan etika dalam segala aspek kehidupan karena selalu berjubahkan
habitus lama dan berikatpinggangkan keangkuhan. Lingkungan hidup diposisikan
sebagai pelengkap penderita dan ditempatkan sebagai objek yang harus di
eksploitasi.
Perilaku
dan sikap kita yang kian rakus menggunakan sumber daya alam telah sampai pada
tingkat melebihi batas kemampuan lingkungan untuk menanggungnya. Patut
disadari dampak penggundulan hutan yang sistematis bisa melahirkan monster
ekologi bernama banjir bandang dan tanah longsor yang memiliki daya
dekstruktif mengerikan.
Buah
dari ketidakramahan terhadap lingkungan menempatkan Indonesia menjadi perusak
hutan tercepat di dunia. Data FAO menunjukkan Indonesia merusak hutan sekitar
1,87 juta ha setiap tahun, atau seluas 300 lapangan bola setiap jam. Prestasi
buruk ini akan melahirkan berbagai bencana alam di masa datang yang siap
memangsa kehidupan manusia.
Krisis
lingkungan yang kini mengancam kehidupan, menuntut kesadaran setiap warga
untuk kian peduli terhadap pembangunan berkelanjutan. Pembangunan ekonomi
yang tidak ramah lingkungan adalah pembangunan hegemoni yang mendatangkan
bencana ekologis.
Di
tengah perampasan madu sumber daya hutan yang kian masif, kita berharap
kepada pemerintahan baru hasil Pemilu 2014 dapat mengajak seluruh lapisan
masyarakat untuk mengenakan jubah habitus baru. Memperlakukan Bumi sebagai
rumah bersama dan menghentikan perilaku buruk yang menguras sumber daya alam
untuk kepentingan sesaat menjadi landasan habitus baru.
Selain
itu, memelihara sumber daya alam dan lingkungan memiliki arti penting dalam
menyelamatkan kehidupan sebagai bagian dari revolusi mental. Revolusi mental
yang belakangan ini menjadi topik yang hangat dan menarik dalam diskursus
publik, harus disandingkan dengan upaya percepatan pembangunan berkelanjutan
untuk kemaslahatan kehidupan masyarakat. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar