Pesan
Esoterik Puasa
Husein Ja’far Al Hadar ;
Direktur Lembaga Study of
Philosophy Jakarta
|
KOMPAS,
25 Juli 2014
SALAH
satu tesis dalam kajian Islam Sayyed Hossein Nasr, filsuf Islam kontemporer,
ialah keterdirian Islam dari dua dimensi integral: dimensi eksoterik,
lahiriah, dan dimensi esoterik, batiniah. Bagi Nasr, setiap varian dari
Islam—dalam ajaran, ritual, hingga tradisinya—mengandung dua dimensi
tersebut. Dimensi eksoterik cenderung bersifat eksklusif, partikular, dan tak
substansial. Sementara dimensi esoterik cenderung bersifat inklusif,
universal, dan substansial. Dimensi eksoterik biasanya direpresentasikan
kalangan fakih, ahli fikih. Adapun dimensi esoterik biasanya direpresentasikan
oleh kalangan sufi.
Terkait
dengan dua dimensi tersebut, keberislaman seseorang sering kali bukan hanya
mengalami ketimpangan, melainkan saling menegasikan: hanya berorientasi
eksoterik seperti kalangan fakih yang anti-tasawuf atau hanya berorientasi
esoterik seperti kalangan sufi yang menganggap hakikat bisa dicapai tanpa
tangga syariat. Adapun Nasr dalam tesisnya menegaskan keterkaitan dan
kesatuan antardua dimensi itu dalam setiap varian dalam Islam, tanpa
terkecuali. Begitu pula dalam ibadah puasa Ramadhan.
Salah
satu dimensi puasa ialah mengosongkan perut dari makanan dan minuman dalam
rentang waktu tertentu, mulai dari terbitnya fajar sampai terbenamnya
matahari. Pada dimensi ini, puasa sebenarnya juga diterapkan beberapa jenis
binatang dengan instingnya yang, setelah diteliti, merupakan salah satu
siklus alamiah tubuh untuk kesehatan.
Dalam
dimensi itu, terlebih pada suasana Ramadhan, kita mendapat banyak informasi,
baik melalui media maupun dokter dan pakar kesehatan secara langsung, tentang
manfaat puasa bagi kesehatan. Aspek semacam ini oleh sebagian agamawan
dijadikan pijakan guna mendukung tesis tentang kesesuaian agama dengan sains.
Bagi Nasr, aspek ini dinilai sebagai salah satu dimensi eksoterik puasa.
Kemanusiaan
Aspek
eksoterik puasa lainnya ialah pada tatanan sosial-kemanusiaan. Pada tatanan
ini, praktik mengosongkan perut diorientasikan agar mereka yang berpuasa dari
kalangan mampu secara ekonomi merasakan apa yang dirasakan mereka yang miskin
setiap harinya, yakni bergelut dengan rasa lapar dan haus. Diharapkan, puasa
dapat menumbuhkan sikap empati sosial pada sesama manusia. Tentu masih
berderet lagi makna puasa pada dimensi eksoteriknya.
Namun,
masih ada dimensi esoterik puasa. Bahkan, dimensi esoterik dalam puasa begitu
kental dan signifikan karena Allah sendiri dalam hadis qudsi yang menegaskan
puasa sebagai ibadah khusus bagi-Nya. Tentu bukan berarti ibadah lain tak
memiliki dimensi esoteik yang langsung berhubungan antara hamba dan Allah.
Juga, bukan berarti puasa tak memiliki dimensi eksoterik seperti telah
penulis kemukakan. Namun, hadis qudsi tersebut hendak menegaskan kental dan
signifikasinya dimensi esoterik puasa terkait hubungan manusia dan Tuhan.
Terkait
dimensi esoterik puasa tersebut, Nabi berkata, ”Berapa banyak orang yang
berpuasa, tapi tak dapatkan sesuatu dari puasanya kecuali lapar dan haus.”
Atau, dalam hadis lain, ”Sedikit betul yang berpuasa, dan banyak betul yang
hanya lapar saja.” Dimensi esoterik puasa itu dirangkum begitu indah dalam
gubahan syair sufistik Jalaluddin Rumi, sufi besar Persia, yang menegaskan
bahwa ada kelezatan, keindahan, dan kedekatan Tuhan dalam perut yang kosong
(perut yang berpuasa).
Dimensi
esoterik puasa terletak pada kata imsak, yang menurut fakih merupakan kata
dasar dalam pengertian puasa, ’menahan diri dari segala sesuatu yang merusak,
dengan maksud mendekatkan diri pada Allah’, al-imsak ’anil-mufthirat al-ma’ hudat bi qashdi qurbah.
Dalam
bahasa Arab, kata imsak (kata
dasar: amsaka) bisa disusul dengan ’an atau bi. Imsak ’an artinya
menahan diri dan imsak bi artinya
berpegang teguh. Dan, menurut penulis, dalam integrasi dua kata imsak itulah
dimensi esoterik puasa terkandung. Jika hanya ber-imsak ’an, artinya seseorang hanya mencapai makna eksoterik
puasa. Mereka hanya menahan diri dari makanan, minuman, dan segala sesuatu
yang bersumber dari hawa nafsu, tetapi bukan karena berpegang teguh dan
mendekatkan diri pada Allah.
Mereka
itu, merujuk pada hadis Nabi, adalah al-jawwa’
(orang lapar), bukan al-shawwam (orang puasa). Begitu pula sebaliknya,
seseorang yang hanya ber-imsak bi,
yakni seolah-olah berpegang teguh pada Allah dengan meneriakkan kembali pada
Al Quran dan Sunah, tetapi memonopoli kebenaran dan keras menuduh yang
berbeda dari mereka sebagai kafir, sesat, dan sebagainya. Artinya, mereka tak
mampu menahan diri (imsak ’an) dari
tindakan anarkistis dan bersikap toleran pada perbedaan pandangan dalam
Islam.
Tentu
komitmen dan sikap mengajak pada Al Quran dan Sunah atau mengajak
masyarakat—baik Muslim maupun non-Muslim—untuk menghormati Ramadhan adalah
komitmen dan sikap mulia, bagian dari ’amar ma’ruf-nahi munkar yang menjadi
salah satu fondasi Islam. Namun, jika dalam implementasinya tak dilakukan
dengan santun seperti yang diteladankan Nabi, itu menyalahi prinsip dasar
Islam yang lain: akhlak Nabi dan rahman-rahim-nya
Allah. Bukan hanya dalam konteks puasa, melainkan juga dalam seluruh ajaran
Islam.
Karena
itu, berpuasa artinya melakukan praktik imsak
’an dan imsak bi secara
integral. Dalam artian, berpegang teguh pada perintah dan ketetapan Allah
serta menahan diri dari segala sesuatu yang timbul dari hawa nafsu (sikap
anarkistis, monopoli kebenaran, memfitnah, memaki, menuduh sesat, dll)
sehingga kita menjadi seseorang yang beruntung sebagai al-shawwam, bukan al-jawwa’.
Merujuk
pada puasa sebagai salah satu parameter takwa dalam Al Quran (QS Al-Baqarah:
183), ber-imsak ’an dan imsak bi secara integral merupakan
fondasi utama ketakwaan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar