Kemenangan
Sejati
Aan Rukmana ;
Ketua Program Studi
Falsafah dan Agama Universitas Paramadina
|
SINAR
HARAPAN, 25 Juli 2014
“Allahu Akbar! Allahu Akbar!”
terdengar di mana-mana. Anak-anak kecil mengenakan baju baru bermain riang di
pekarangan rumah. Para orang tua sibuk mempersiapkan makanan sambil sesekali
keluar rumah untuk bersalaman dengan tetangga yang baru datang.
Suasana
haru tak dapat dibendung. Uraian air mata kebahagiaan seakan bercampur dengan
air mata kesedihan. Tidak terasa Hari Raya Kemenangan kembali datang.
Persis
seminggu sebelumnya, mereka yang sudah lama merantau meninggalkan tanah
kelahiran tercintanya, berbondong-bondong mudik kembali menengok tempat
asalnya. Berbagai jenis transportasi digunakan, meski sering cuek dari sisi
keselamatan, asal ia bisa membawa keluarganya mudik Lebaran.
Ada
yang naik motor, bajaj, bus, kereta, juga pesawat. Meski uang masih kurang,
tidak menghalangi mereka untuk mudik ke kampung halaman. Mudik seakan menjadi
ritual tahunan yang tidak mungkin dilewatkan.
Mudik
bukanlah fenomena sosiologis belaka. Ia membawa pesan eksistensial mengenai
asal muasal diri kita. Dengan mudik, kita kembali menatap diri kita yang
masih murni, menengok akar kita sambil mengingat kembali tujuan hidup kita.
Rumi menggambarkan peristiwa mudik sebagai peristiwa kembali diri yang kotor
menuju diri yang suci.
Mudik
ibarat kembalinya batang seruling yang sudah lama terpisah dari pohon bambu
atau seperti anak-anak kecil yang kembali ke rumah orang tuanya setelah
sekian lama bermain di pekarangan. Ketika ia kembali, suka citalah yang ada.
Kehidupan
di tanah rantau ibarat medan perjuangan. Meski sudah bertahun-tahun kita
tinggal di tanah rantau, tetap secara “psikologis” kita merasa sebagai
pendatang. Kembali ke kampung seperti kembali ke tanah asli kita. Kita pun
merasa semakin bahagia ketika sampai di tanah kelahiran. Rasa letih dalam
perjalanan pulang terobati dengan sendirinya.
Sesampainya
di kampung halaman, kita berkumpul dengan keluarga yang ada, sambil bercerita
mengenai liku-liku perjuangan di tanah rantau. Syukur kemenangan di tanah
rantau yang didapat, obrolan semakin mengasyikan. Namun, bila kegagalan yang
diraih, saudaranya saling menguatkan agar kita tidak berpatah arang.
Makna Kemenangan
Perayaan
Idul Fitri tahun ini terasa berbeda suasananya dengan tahun-tahun sebelumnya.
Itu karena bertepatan dengan pemilihan presiden. Pemilihan presiden sebagai
pesta rakyat sudah berakhir dan presiden terpilih pun sudah ditentukan.
Merayakan
Hari Kemenangan tahun ini sekaligus merayakan kemenangan bangsa kita dalam
melewati proses pemilu yang tidak mudah. Kita patut merayakan kemenangan
bukan semata karena presiden terpilih sudah ada, melainkan karena kita sudah
mampu menahan diri untuk tidak terpecah-belah karena haluan politik yang
berbeda. Inilah makna kemenangan yang sesungguhnya.
Kemenangan
sejati tidak mungkin menafikkan mereka yang kalah. Kemenangan sejati adalah
kemenangan semuanya, baik kaya maupun miskin, orang kota maupun orang desa,
pejabat maupun rakyat, yang merantau maupun yang menetap, partai berideologi
agama maupun nasionalis sekular, semuanya dapat menghirup udara kemenangan.
Inilah kemenangan kita sebagai manusia Indonesia, bahkan lebih dari itu
kemenangan kita sebagai manusia semesta.
Ketika
kemenangan sejati yang diraih, tidak ada lagi batasan-batasan keakuan.
Semuanya melebur menjadi kemenangan kita, yang ada adalah kita sebagai
manusia yang sama-sama menginginkan kebahagiaan, kedamaian, keadilan, serta
kesejahteraan hidup.
Inilah
pesan terdalam dari perayaan Idul Fitri yang setiap tahun dirayakan umat
Islam. Orang yang berbahagia idealnya bukan saja umat Islam, melainkan
seluruh umat manusia di alam jagad ini. Sama halnya ketika umat lain
merayakan hari kemenangannya, yang berbahagia adalah seluruh umat manusia.
Manusia Otentik
Sebelum
merayakan Hari Kemenangan, umat Islam menjalani ritual puasa selama sebulan
penuh. Dalam ritual itu, umat Islam tidak makan, minum, maupun melakukan
aktivitas yang dapat membatalkan puasanya.
Jika
kita renungkan lebih dalam, sebetulnya yang sedang dilatih dalam puasa itu
adalah kesadaran kita sebagai manusia yang multidimensi. Kita bukan semata
fisik lahiriah yang duniawi. Lebih daripada itu, kita adalah jiwa rohaniah
yang memiliki orientasi ketuhanan.
Kita
diingatkan bahwa tujuan hidup bukan semata makan dan minum, melainkan juga
membantu orang lain yang membutuhkan, mencukupkan mereka yang kurang, dan
membahagiakan mereka yang menderita.
Kita
dilatih untuk menjadi wakil dari mereka yang tertindas dan lemah dalam hidup
ini. Puasa melatih diri untuk dapat merasakan penderitaan sesama kita sambil
menumbuhkan dalam diri kita cinta kasih yang mendalam terhadap sesama kita.
Puasa
mengajarkan kita untuk menyapa manusia lain yang tidak pernah kita sapa
sebelumnya. Kita menyapa yang lain sebagai diri manusia, bukan semata sebagai
teman seagama atau sesukunya.
Kita
pun diajarkan menjadi manusia yang otentik. Manusia otentik adalah manusia
yang senantiasa menyadari bahwa dirinya adalah kombinasi jiwa rohaniah dan
fisik lahiriyah. Dengan fisik yang ada mereka berbeda namun dengan ruhani
mereka saling menyatu.
Hari
kemenangan tahun ini sudah tiba. Mari kita rayakan kemenangan ini bersama.
Ini adalah kemenangan umat manusia. Kullu
aamin wa antum bi-khayrin, minal aizin wal-faizin yang artinya, “Setiap tahun kita semua berada dalam
kebaikan, dan kita semua menjadi orang-orang mudik dan membawa kemenangan.”
●
|
Konsep
zero enemy perlu ditransformasikan ke dalam pendekatan baru, yakni penekanan
pada Israel sebagai pihak negara yang dikategorikan sebagai negara penjajah
bangsa Palestina. Indonesia perlu terus menggalakkan diplomasi internasional
melalui penguatan aliansi strategis dengan negara-negara di Asia, Afrika, dan
Pasifik untuk memperkuat dukungan dan solidaritas terhadap Palestina.
Oleh
karenanya, pendekatan diplomasi kemitraan komprehensif tentu perlu
disesuaikan dengan kondisi riil yang terjadi. Fokus utama kepada penyelesaian
kasus Palestina-Israel ke depan. Selain itu, Indonesia perlu mendorong dialog
dan perundingan di tingkat PBB (summit) yang dapat melahirkan resolusi
konflik Palestina-Israel.
Fokus
diplomasi Indonesia kepada prinsip-prinsip demokrasi, keadilan globa, dan
perdamaian dunia. Untuk mencapai tujuan dan target kepentingan nasional dalam
mengatasi konflik Palestina-Israel seperti itu, perlu memanfaatkan
potensi-potensi diplomatik resmi yang kita miliki di seluruh dunia, dan diaspora
Indonesia yang saat ini sedang membangun visi bersama untuk memperkokoh
hubungan internasional Indonesia di mancanegara. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar