Saat
DPR Memakan Ekor Sendiri
Redhi Setiadi ; Master
Administrasi Publik dari University of Delaware, AS,
Peneliti
JPIP
|
JAWA
POS, 25 Juli 2014
TUMBEN
para legislator di DPR tangkas menuntaskan Undang-Undang tentang MPR, DPR,
DPD, dan DPRD (UU MD3) di saat kesibukan pilpres. Padahal, biasanya, para
legislator itu lelet di bidang legislasi. Contohnya, pada 2013 hanya
menyelesaikan 16 di antara 75 target UU. Maka, pengesahan UU MD3 tersebut
kentara menyalip di tikungan pilpres.
Banyak
yang kaget karena hal itu. KPK mempertanyakan izin pemeriksaan anggota DPR
yang terkait dengan kasus hukum harus lewat Mahkamah Kehormatan DPR (MKD) di
UU baru itu. Pertanyaan tersebut logis. Sebab, dulu izin pemeriksaan
legislator diajukan kepada presiden. Namun, setelah izin pemeriksaan kepala
daerah kepada presiden dibatalkan Mahkamah Konstitusi (MK), kini izin
pemeriksaan anggota DPR justru diarahkan ke ”teman sendiri” di DPR. Selain
itu, kalau izin pemeriksaan tersebut diajukan kepada presiden, bisa saja
presiden (Joko Widodo, kan?) nanti bukan ”teman” mereka.
UU
MD3 sebenarnya merupakan tulang punggung penyangga tegaknya kedudukan dan
wewenang lembaga perwakilan tersebut dalam menjalankan mandat
konstitusionalnya. Tetapi, apakah ”mandat” rakyat itu sampai ke politicking
seperti langkah tersebut? Tak heran kubu lawanmemilihwalkout, yakniFPDIP,
PKB, dan Hanura, aliansi pendukung Jokowi-JK ke pilpres.
Ini
walkout solider dengan PDIP, sang pemenang pemilu, yang dihadapkan pada
aturan main baru dalam penetapan ketua DPR. Dalam UU sebelumnya (UU No
27/2009), pemenang pemilu otomatis terpilih sebagai ketua DPR. Tapi, revisi
menjelang pilpres itu membuat posisi ketua DPR akan dipilih secara bebas oleh
anggota DPR.
Jadi,
PDIP tak leluasa menunjuk, entah Puan Maharani atau nama yang lain dalam
daftar legislator barunya, untuk jadi ketua DPR. Tidak seperti Partai
Demokrat yang setelah memenangi Pemilu 2009 mendapat kenikmatan bisa langsung
menunjuk Marzuki Alie sebagai ketua DPR.
Dengan
mekanisme pemilihan oleh anggota DPR, Koalisi Merah Putih yang mengusung
Prabowo-Hatta dan memiliki 353 kursi di Senayan (63 persen) mempunyai peluang
lebih besar untuk merebut kursi ketua DPR. Koalisi itu bisa menjadi ganjalan
bagi pemerintah baru.
Bahkan,
belum-belum sudah muncul celetukan untuk membuat pansus Pilpres 2014 dari
kubu Koalisi Merah Putih (Jawa Pos
edisi Kamis, 24 Juli). Kalau pansus terwujud, itu semacam mission impossible karena masa jabatan
anggota DPR periode sekarang akan habis dua bulan lagi. DPR baru 2014–2019
akan dilantik pada 1 Oktober. Selain itu, di DPR baru nanti Koalisi Merah
Putih kentara tidak sesolid dan ”sepermanen” seperti yang
didengung-dengungkan.
Selepas
pengumuman resmi KPU memenangkan Jokowi-JK, Koalisi Merah Putih sudah
berganti Tim Merah Putih Perjuangan
untuk Kebenaran dan Keadilan. Tak ada kata ”koalisi” lagi. Selain itu,
muncul gerakan internal di partai yang kalah pilpres untuk mendekat ke
Jokowi. Termasuk Golkar yang diyakini akan berlabuh ke Jusuf Kalla seperti
setelah Pilpres 2004.
Tidak Pro-Daerah
Selain
kontroversi itu, UU MD3 juga ditantang DPD. Ketua DPD Irman Gusman menyatakan
akan menguji konstitusionalitas UU tersebut ke MK (Jawa Pos, 15/7). DPD
merasa ditinggalkan oleh DPR saat pembahasan pasal-pasal krusial yang
mengatur kedudukan dan kewenangannya. Irman pun merujuk pada putusan MK Maret
tahun lalu yang memberikan tambahan kewenangan kepada DPD. DPD berhak
mengusulkan dan membahas RUU tertentu meski tidak memberikan pengesahan
akhir.
Jika
dicermati, setidaknya ada tiga hal mendasar yang membuat UU 27/2009 perlu
direvisi. Pertama, sesuai dengan penjelasan umum, revisi UU MD3 bertujuan
mewujudkan lembaga permusyawaratan/perwakilan yang demokratis, efektif, dan
akuntabel. Namun, semangat mulia itu terpatahkan dengan dominasi peran DPR
dalam penyusunannya.
DPR
menempatkan DPD pada posisi subordinat. Dengan begitu, prinsip checks and balances yang dikehendaki
dalam sistem bikameraltidak terjadi. Sepanjang tidak ada kemauan politik (political will) dari DPR yang notabene
berisi orang-orang partai untuk berbagi kewenangan, posisi lembaga senator
daerah tersebut akan serbatanggung.
Kedua,
seperti disebut sebelumnya, UU MD3 memfasilitasi diskriminasi yang dilegalkan
bagi anggota DPR saat berhadapan dengan kasus hukum terkait dengan
diperlukannya izin dari Mahkamah Kehormatan DPR (MKD). Ketua DPR Marzuki Alie
mengatakan, ketentuan tersebut bertujuan mengangkat lagi wibawa lembaga
perwakilan. Selama ini, menurut dia, aparat hukum seenaknya saja memanggil
anggota DPR dan menggeledah ruang kerja mereka.
Seperti
tak sambung antara pertanyaan dan jawaban, bukannya menaikkan wibawa (self-preservation), proteksi ekstra
itu justru akan makin merusak kewibawaan lembaga perwakilan (self-destruction). Seperti ular
memakan ekornya sendiri. Kesan kebal hukum, mengulur waktu, dan memperpanjang
rantai birokrasi justru lebih kental dalam mekanisme izin MKD tersebut.
Mestinya kewibawaan DPR bisa ditingkatkan dengan memperbaiki kinerja anggota
dan melaporkannya secara transparan kepada publik. Gampangnya, jujurlah.
Terakhir,
UU MD3 itu terlihat sangat bias politik pusat dan tidak pro kepentingan
daerah. DPR yang berisi politisi tingkat nasional seolah berupaya memuaskan
diri sendiri dengan revisi pasal-pasal yang berpotensi menguntungkan kelompok
mereka. Salah satunya, menghapus dua kursi jatah DPD untuk menduduki pimpinan
MPR. Kepentingan daerah yang dititipkan lewat empat anggota DPD per provinsi
akan tetap kalah dengan kepentingan parpol-parpol di Senayan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar