Sleeping
with the Enemy
Rhenald Kasali ;
Pendiri Rumah Perubahan
@Rhenald_Kasali
|
JAWA
POS, 24 Juli 2014
SEBAGIAN
Anda tentu familier dengan judul film thriller
awal 1990-an di atas yang dibintangi Julia Robert. Kisahnya lumayan
menegangkan, tentang seorang istri yang berjuang menyelamatkan diri
menghadapi suami yang berkepribadian ganda.
Kadang
lembut, tetapi kali lain sangat kasar. Sebagaimana layaknya film-film
Hollywood, film tersebut berakhir happy
ending. Sang istri akhirnya berhasil menyelamatkan diri dan memperoleh
pasangan baru yang baik hati.
Sayang,
kehidupan kita tak selalu seperti film-film Hollywood. Banyak di antara kita
terpaksa menerima kenyataan yang berbeda: harus rela hidup bersama dengan
pesaing sepanjang waktu, Sleeping with
the Enemy.
Dalam
bisnis, itu adalah biasa. Dalam dunia perbankan, dulu bank menghabiskan
miliaran rupiah untuk membuat jaringan mesin ATM di mana-mana. Akan kelihatan
lebih gagah ketimbang pesaingnya kalau memiliki ribuan ATM yang ada di mal,
minimarket, hingga tikungan jalan.
Kini
sebaliknya, bank-bank sadar bahwa uang Rp 500 juta yang tersimpan dalam mesin
ATM tidak produktif jika tingkat utilisasinya rendah. ATM malah menjadi cost, bukan sumber pendapatan.
Maka,
ketimbang terengah-engah menyiapkan dana untuk membangun ATM, lebih baik
berkolaborasi. Kini satu ATM bisa digunakan banyak bank yang tergabung dalam
salah satu jaringan. Dalam bisnis, perilaku semacam itu kita sebut koopetisi. Bekerja sama, tetapi
sekaligus berkompetisi.
Di
industri otomotif, koopetasi bahkan
dilakukan dua raksasa otomotif dunia, General Motors dan Toyota. Keduanya
bekerja sama mengembangkan fuel cell
cars yang menggunakan bahan bakar hidrogen.
Edge of Chaos
Dalam
politik, fenomena Sleeping with the
Enemy malah lebih terang benderang. Hari ini beberapa partai mendukung pasangan capres
tertentu, beberapa hari ke depan mungkin
sudah mengalihkan dukungannya ke capres lain yang kemarin dihina dina. Karena
itu, dikenal ungkapan, hari ini kedelai, esoknya tempe atau tauge.
Kita
yang berada di luar sinis melihatnya: oportunis, tidak berpendirian. Tapi,
begitulah politik, hanya kepentingan yang abadi. Lain-lainnya boleh
disesuaikan dengan kebutuhan. Maka itu, sulit bagi politisi demikian
mendapatkan respek publik dalam kehidupan sehari-hari.
Sleeping
with the enemies bukan perkara mudah. Bayangkan, berkolaborasi dengan
pesaing. Sebagian cemas karena pesaing bisa mengintip kelemahan kita. Dalam
kasus ATM tadi, bank pemilik jaringan tentu bisa mengetahui kekuatan bank
atau perilaku nasabahnya, berapa banyak nasabah ATM-nya, dana yang berputar,
dan sebagainya. Kalau sudah tahu, bank-bank besar bisa menggunakan informasi
tersebut untuk akuisisi, misalnya.
Kecemasan
semacam itu menempatkan kita pada posisi yang saya istilahkan dengan edge of
chaos. Itu adalah kondisi yang menempatkan kita di ambang kekacauan.
Sederhananya begini. Setiap pagi kita selalu berada pada posisi itu. Kita
harus memutuskan untuk tetap berada di rumah atau meninggalkan rumah yang
berarti menembus belantara kemacetan dan siap menghadapi kekacauan lainnya.
Keduanya
punya risiko. Memilih tetap di rumah nyaman, tetapi tidak mendapat nafkah
untuk keluarga. Sementara itu, memilih meninggalkan rumah berarti siap
tersiksa dengan kemacetan yang menggila dan memperoleh ganjarannya.
Bagi
saya, mereka yang berani menempatkan diri pada posisi edge of chaos dan berani menghadapinya adalah cermin perilaku
para pemenang. Kalau sudah begitu, kita akan menikmati keterampilan self organizing, nanti semua akan
tertata dengan sendirinya, secara otomatis. Lalu, Anda mau jadi yang mana? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar