Pengorbanan
untuk Hayati Kemenangan
Hadi Priyanto ;
Penulis Buku Sosrokartono
De Javansche Prins
|
SUARA
MERDEKA, 22 Juli 2014
"Buah dari kemenangan harus
diwujudkan melalui pengabdian sepenuh hati kepada bangsa dan negara"
HARI
ini, rakyat Indonesia mengetahui hasil pilpres yang diumumkan oleh KPU,
selaku penyelenggara. Pilpres diikuti oleh hanya dua pasangan capres-cawapres
sehingga denyut kontestasi tersebut terasa lebih keras. Bukan hanya pada
tataran elite melainkan hingga tingkat akar rumput yang merasakannya. Kini
tentu ada sisa kekecewaan, luka, bahkan sakit hati. Namun itu semua harus
dimaknai sebagai jalan terjal yang
memang harus dilalui dalam belajar berdemokrasi.
Terlepas
dari siapa yang memenangi Pilpres 2014, rekonsiliasi nasional merupakan jalan
tengah terbaik. Untuk masa depan yang lebih baik, sebagaimana komitmen kedua
capres-cawapres semasa berkampanye, kita tidak dapat hidup hanya dalam
balutan pragmatisme politik yang membelenggu dalam sekat-sekat kepentingan
dan mengabaikan kepentingan bangsa. Justru sebaliknya, kita harus
mengedepankan kepentingan bangsa dan negara.
Menang
tanpa ngasorake atau menang tanda merendahkan, ajaran yang diwariskan Raden
Mas Pandji Sosrokartono, layak menjadi titian dan tuntunan. Kakak kandung
Raden Adjeng Kartini tersebut adalah intelektual pertama Jawa yang
mendapatkan gelar doctorandus in de
Oostersche Talen dari Universitas Leiden Belanda. Ia menguasai 17 bahasa
Barat dan 9 bahasa Timur. Ia juga salah satu inisiator berdirinya Perhimpunan
Pemuda Indonesia di Belanda.
Setelah
sukses bekerja sebagai wartawan perang dan juru bahasa tunggal Volken Bond (League of Nations) atau Liga
Bangsa-Bangsa, ia memilih kembali ke Tanah Air dan mengembangkan
spiritualitas Jawa. Ia kemudian dikenal sebagai tokoh besar spiritual
Indonesia. Bahkan Soekarno menyebutnya ’’Putra
Indonesia yang Besar’’. Ia memang sangat dekat dengan tokoh-tokoh
pergerakan kemerdekaan.
Ajaran
Sosrokartono terdiri atas empat fase sikap ketika menghadapi proses
pencapaian tujuan. Empat fase tersebut dikenal sebagai ’’Mustikaning Sabda’’,
yaitu sugih tanpa bandha, digdaya tanpa aji, nglurug tanpa bala, dan menang
tanpa ngasorake. Fase keempat menjalani kehidupan dengan berpegang pada
prinsip menang tanpa ngesorake atau
menang tanpa merendahkan bisa
diartikan mencapai dan menanggapi kemenangan dengan jalan/cara benar.
Dengan
demikian, pihak yang kalah tak akan merasa terzalimi dan tak merasa terhina
karena pihak yang menang tidak menyombongkan diri dan tidak merendahkan pihak
lain. Menang tanpa ngasorake
diharapkan justru menumbuhkan spirit bahwa pihak yang kalah akan berhenti
menjadi ancaman bagi yang pihak menang.
Memang
penghayatan makna kemenangan membutuhkan pengorbanan. Ada kekalahan yang
harus dilewati, ada masa sulit yang harus dilalui. Biasanya orang yang menang
akan mencapai derajat mulia dan besar. Tetapi hal itu tidak akan pernah
tercapai sebelum ada kekalahan dan kehinaan. Penghayatan akan nilai-nilai itu
membuat seorang pemimpin menjadi sabar, rendah hati, pasrah, arif, dan
bijaksana.
Seyogianya
semua elemen perlu menyadari bahwa tidak akan pernah ada kebaikan tanpa
keburukan, tidak ada yang pandai jika tidak ada yang bodoh, tidak ada yang
menang bila tidak ada yang kalah sebagai fenomena kodrati. Dua fenomena yang
tampaknya bertentangan ini sebenarnya
saling melengkapi satu sama lain. Menang dan kalah adalah fenomena kodrati.
Adapun yang membedakan hanyalah posisi yang terlihat berseberangan.
Oleh
sebab itu, manusia akan dapat merasakan arti kemenangan bila ia pernah
mengalami kekalahan. Ia juga tidak bakal bisa menikmati kemuliaan bila tidak
pernah merasakan kehinaan. Seseorang mustahil bisa merasakan besar sebelum
pernah merasakan kecil.
Pengabdian Penuh
Dalam
kaitannya dengan dua fenomena itu, Sosrokartono mengajarkan tentang sebuah
prinsip dalam mencapai kemenangan, yaitu ’’menang
tanpa mejahi tanpa nyakiti. Wenang tan ngrusak ayu, tan ngrusak adil, yen
unggul sujud bhakti marang sesami’’. Artinya adalah ’’menang tanpa membunuh, tanpa menyakiti. Berkuasa tidak merusak
kebaikan, tidak merusak keadilan. Jika unggul, sujud berbakti kepada sesama
manusia’’.
Jadi,
kemenangan yang dicapai dengan jalan damai tidak akan membuat lawan
merasa kalah, malu, terhina, dan
direndahkan. Sementara buah kemenangan harus diwujudkan dengan pengabdian
sepenuh hati kepada bangsa dan negara.
Bukan kemudian lebih mengedepankan kepentingan pribadi dan kelompoknya, yang
tentu akan merusakkan nilai-nilai
kebaikan dan keadilan.
Dengan
demikian pemenang kontestasi harus
menyadari bahwa penghargaan terbesar dari sebuah proses demokrasi
adalah mengembalikan kemenangan tersebut kepada pihak yang kalah. Selain
kebaikan, di dalam diri manusia banyak nafsu yang berisiko membujuk ke arah
jalan sesat. Karena itu menjadi kewajiban kita untuk mengalahkan dan
menundukkan nafsu tersebut. Bukan melawannya melalui kekerasan dan kekuasaan sebab hanya akan
menimbulkan sakit hati, dendam, dan amarah. Lawanlah nafsu itu dengan
kesabaran dan kelemahlembutan. Kita yakin sikap tulus bisa melunakkan dendam,
amarah, dan kebencian. Menang tanpa ngasorake adalah kekuatan jiwa yang menempatkan Nur Ilahi dalam
proses mencapai kemenangan sejati.
Dengan memegang teguh ajaran menang tanpa ngasorake, berarti kita telah
menggapai kemenangan sejati dari sebuah proses kontestasi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar