Bersatulah
Indonesia
A Zaini Bisri ;
Wartawan Suara Merdeka,
Mahasiswa
S-3 Ilmu Politik Universitas Diponegoro
|
SUARA
MERDEKA, 25 Juli 2014
PERHELATAN
Pilpres 2014 sudah usai. Gegap-gempita kampanye, kerja keras tim sukses,
semangat sukarelawan, dan perhatian rakyat Indonesia, bahkan kalangan luar
negeri terhadap pesta demokrasi elektoral itu, telah berakhir dengan
ketetapan KPU pada 22 Juli lalu. Pasangan Joko Widodo-Jusuf Kalla dinyatakan
sebagai pemenang pilpres mengalahkan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa. Untuk
kali pertama dalam sejarah, pilpres diikuti hanya dua pasangan calon, dan
Jokowi-JK menang dengan selisih suara tipis. Selisih perolehan suara kedua
pasangan hanya 6 persen atau sekitar 10 juta suara. Jokowi-JK meraih sekitar
70 juta suara dan Prabowo-Hatta sekitar 60 juta suara dari total 130 juta
suara sah. Sambutan Jokowi atas kemenangannya yang mengedepankan semangat
rekonsiliasi untuk persatuan Indonesia patut diapresiasi. ”Mari kita wujudkan
persatuan Indonesia, tidak ada lagi salam dua jari, yang ada salam tiga
jari,” begitu kira-kira pidato Jokowi setelah kemenangannya.
Keterpilihan
Jokowi sekali lagi membuktikan keunggulan figur dalam pilpres. Koalisi gemuk
di belakang Prabowo-Hatta tidak menjamin kemenangannya. Begitu pula latar
belakang militer dalam diri Prabowo tidak mampu membendung semangat perubahan
yang dibawa Jokowi. Soliditas keluarga besar TNI tidak sekuat ketika Susilo
Bambang Yudhoyono maju dalam Pilpres 2004 dan 2009. Prabowo terbebani oleh
rekam jejak masa lalu, sementara Jokowi menghimpun prestasi sebagai kepala
daerah, dari Solo hingga DKI Jakarta. Ketika kader-kader calon pemimpin
bangsa yang lain terikat oleh masa lalu atau terpuruk oleh korupsi, Jokowi
melejit sendirian. Itulah momentum yang dimiliki Jokowi. Seperti kata
pepatah, ketika bulan bersinar terang maka bintangbintang pun tenggelam.
Konsekuensi dari hasil pilpres adalah bagaimana mengawal pemerintahan baru
untuk mewujudkan Indonesia yang hebat.
Jangan
biarkan bulan madu yang pendek, setelah itu presiden pilihan rakyat justru
tak henti dihujat dan dicemooh. Partisipasi rakyat yang tinggi dan heboh
selama proses pilpres seyogianya tetap terjaga dalam lima tahun ke depan.
Fatsun Politik Masih ada koridor hukum ke Mahkamah Konstitusi jika kubu
Prabowo-Hatta jadi mengajukan sengketa pilpres. Namun, apa pun putusan MK,
tak akan menghilangkan substansi proses demokrasi yang telah berjalan tertib
dan aman. Selama tiga bulan sejak penetapan pasangan calon dan sebulan lebih
masa kampanye yang mengharu-biru, dengan segala ekses negatifnya, perhatian
dan energi rakyat Indonesia terkuras untuk menyukseskan hajatan lima tahunan
itu. Terjadi polarisasi dukungan dengan ekses stigmatisasi luar biasa pada kedua
capres dan cawapres. Keluhuran budi dan keagungan adat ketimuran bangsa
nyaris tak lagi terlihat oleh politisasi wacana pilpres. Masing-masing
pendukung kedua pasangan berlombalomba mendiskreditkan jagonya masing-masing.
Bahkan
hingga hari-hari tenang sebelum pencoblosan pada 9 Juli, kampanye hitam masih
gencar berseliweran di situssitus daring. Ketegangan sosial dan emosi tinggi
yang menyertai proses pilpres tidak sepenuhnya mencerminkan fatsun politik
bangsa. Pilpres secara langsung oleh rakyat adalah wujud demokrasi paling
liberal dengan ekses paling besar. Amerika Serikat saja yang sudah
berpengalaman 250 tahun masih memilih presiden secara bertingkat. Begitu
kerasnya nuansa persaingan pada pilpres kali ini, luka-luka yang menggores
hati akibat serangan tajam wacana kampanye barangkali tidak mudah dipulihkan.
Hal ini masih ditambah polarisasi pada wilayah pranata-pranata sosial seperti
ormas, media massa, dan kelompok kepentingan. Akibatnya, deklarasi dan janji
siap menang dan siap kalah pun tak mudah diwujudkan. Pernyataan Prabowo yang
menarik diri dari proses pilpres pada menitmenit akhir menjelang penetapan
oleh KPU, bisa dipandang sebagai ekses dari ’’big match’’yang keras menjurus
kasar. ”Pertandingan” yang brutal mengubah persepsi intrinsik keluhuran jiwa
manusia.
Modal
Sosial Bangsa Banyak hikmah positif dari hajatan pilpres kali ini. Hikmah
terbesar adalah kebesaran jiwa rakyat Indonesia untuk menerima hasil pilpres.
Pihak yang menang tidak berlebihan merayakan kemenangan dan pihak yang kalah
tidak meluapkan kekecewaannya. Aparat negara, dalam hal ini TNI dan Polri,
juga telah menunjukkan kinerja optimal. Paling penting adalah bukti
netralitas aparat keamanan. Kedewasaan politik rakyat serta profesionalisme
TNI dan Polri merupakan modal sosial terbesar bagi masa depan demokrasi
Indonesia. Tidak semua negara di dunia yang masih dalam tahap konsolidasi
demokrasi memiliki modal sosial ini. Lihatlah Mesir, Suriah, Tunisia,
Filipina, dan Thailand. Di negara-negara itu, militer masih merupakan kekuatan
politik yang menentukan dan menjadi hantu demokrasi. Penyelenggara pilpres
yang independen juga modal sosial penting. Meski independensi ini masih belum
disertai profesionalisme dan kecanggihan perangkat teknologi pemilu, sikap
dasar penyelenggara yang demikian menekan berbagai potensi komplain dari
kontestan pilpres. Kisruh di seputar hasil survei dan hitung cepat sejatinya
menunjukkan kebutuhan yang mendesak atas aplikasi teknologi pemilu. Seperti
pernah dikeluhkan Megawati Soekarnoputri, pengumuman hasil pemilu kita masih
kalah cepat dibanding pemilu di India yang jumlah pemilihnya hampir 1 miliar.
Hal ini patut menjadi agenda perbaikan demokrasi elektoral kita ke depan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar