Sabtu, 26 Juli 2014

Bersatulah Indonesia

                                                Bersatulah Indonesia

A Zaini Bisri  ;   Wartawan Suara Merdeka,
Mahasiswa S-3 Ilmu Politik Universitas Diponegoro
SUARA MERDEKA, 25 Juli 2014
                                                


PERHELATAN Pilpres 2014 sudah usai. Gegap-gempita kampanye, kerja keras tim sukses, semangat sukarelawan, dan perhatian rakyat Indonesia, bahkan kalangan luar negeri terhadap pesta demokrasi elektoral itu, telah berakhir dengan ketetapan KPU pada 22 Juli lalu. Pasangan Joko Widodo-Jusuf Kalla dinyatakan sebagai pemenang pilpres mengalahkan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa. Untuk kali pertama dalam sejarah, pilpres diikuti hanya dua pasangan calon, dan Jokowi-JK menang dengan selisih suara tipis. Selisih perolehan suara kedua pasangan hanya 6 persen atau sekitar 10 juta suara. Jokowi-JK meraih sekitar 70 juta suara dan Prabowo-Hatta sekitar 60 juta suara dari total 130 juta suara sah. Sambutan Jokowi atas kemenangannya yang mengedepankan semangat rekonsiliasi untuk persatuan Indonesia patut diapresiasi. ”Mari kita wujudkan persatuan Indonesia, tidak ada lagi salam dua jari, yang ada salam tiga jari,” begitu kira-kira pidato Jokowi setelah kemenangannya.

Keterpilihan Jokowi sekali lagi membuktikan keunggulan figur dalam pilpres. Koalisi gemuk di belakang Prabowo-Hatta tidak menjamin kemenangannya. Begitu pula latar belakang militer dalam diri Prabowo tidak mampu membendung semangat perubahan yang dibawa Jokowi. Soliditas keluarga besar TNI tidak sekuat ketika Susilo Bambang Yudhoyono maju dalam Pilpres 2004 dan 2009. Prabowo terbebani oleh rekam jejak masa lalu, sementara Jokowi menghimpun prestasi sebagai kepala daerah, dari Solo hingga DKI Jakarta. Ketika kader-kader calon pemimpin bangsa yang lain terikat oleh masa lalu atau terpuruk oleh korupsi, Jokowi melejit sendirian. Itulah momentum yang dimiliki Jokowi. Seperti kata pepatah, ketika bulan bersinar terang maka bintangbintang pun tenggelam. Konsekuensi dari hasil pilpres adalah bagaimana mengawal pemerintahan baru untuk mewujudkan Indonesia yang hebat.

Jangan biarkan bulan madu yang pendek, setelah itu presiden pilihan rakyat justru tak henti dihujat dan dicemooh. Partisipasi rakyat yang tinggi dan heboh selama proses pilpres seyogianya tetap terjaga dalam lima tahun ke depan. Fatsun Politik Masih ada koridor hukum ke Mahkamah Konstitusi jika kubu Prabowo-Hatta jadi mengajukan sengketa pilpres. Namun, apa pun putusan MK, tak akan menghilangkan substansi proses demokrasi yang telah berjalan tertib dan aman. Selama tiga bulan sejak penetapan pasangan calon dan sebulan lebih masa kampanye yang mengharu-biru, dengan segala ekses negatifnya, perhatian dan energi rakyat Indonesia terkuras untuk menyukseskan hajatan lima tahunan itu. Terjadi polarisasi dukungan dengan ekses stigmatisasi luar biasa pada kedua capres dan cawapres. Keluhuran budi dan keagungan adat ketimuran bangsa nyaris tak lagi terlihat oleh politisasi wacana pilpres. Masing-masing pendukung kedua pasangan berlombalomba mendiskreditkan jagonya masing-masing.

Bahkan hingga hari-hari tenang sebelum pencoblosan pada 9 Juli, kampanye hitam masih gencar berseliweran di situssitus daring. Ketegangan sosial dan emosi tinggi yang menyertai proses pilpres tidak sepenuhnya mencerminkan fatsun politik bangsa. Pilpres secara langsung oleh rakyat adalah wujud demokrasi paling liberal dengan ekses paling besar. Amerika Serikat saja yang sudah berpengalaman 250 tahun masih memilih presiden secara bertingkat. Begitu kerasnya nuansa persaingan pada pilpres kali ini, luka-luka yang menggores hati akibat serangan tajam wacana kampanye barangkali tidak mudah dipulihkan. Hal ini masih ditambah polarisasi pada wilayah pranata-pranata sosial seperti ormas, media massa, dan kelompok kepentingan. Akibatnya, deklarasi dan janji siap menang dan siap kalah pun tak mudah diwujudkan. Pernyataan Prabowo yang menarik diri dari proses pilpres pada menitmenit akhir menjelang penetapan oleh KPU, bisa dipandang sebagai ekses dari ’’big match’’yang keras menjurus kasar. ”Pertandingan” yang brutal mengubah persepsi intrinsik keluhuran jiwa manusia.

Modal Sosial Bangsa Banyak hikmah positif dari hajatan pilpres kali ini. Hikmah terbesar adalah kebesaran jiwa rakyat Indonesia untuk menerima hasil pilpres. Pihak yang menang tidak berlebihan merayakan kemenangan dan pihak yang kalah tidak meluapkan kekecewaannya. Aparat negara, dalam hal ini TNI dan Polri, juga telah menunjukkan kinerja optimal. Paling penting adalah bukti netralitas aparat keamanan. Kedewasaan politik rakyat serta profesionalisme TNI dan Polri merupakan modal sosial terbesar bagi masa depan demokrasi Indonesia. Tidak semua negara di dunia yang masih dalam tahap konsolidasi demokrasi memiliki modal sosial ini. Lihatlah Mesir, Suriah, Tunisia, Filipina, dan Thailand. Di negara-negara itu, militer masih merupakan kekuatan politik yang menentukan dan menjadi hantu demokrasi. Penyelenggara pilpres yang independen juga modal sosial penting. Meski independensi ini masih belum disertai profesionalisme dan kecanggihan perangkat teknologi pemilu, sikap dasar penyelenggara yang demikian menekan berbagai potensi komplain dari kontestan pilpres. Kisruh di seputar hasil survei dan hitung cepat sejatinya menunjukkan kebutuhan yang mendesak atas aplikasi teknologi pemilu. Seperti pernah dikeluhkan Megawati Soekarnoputri, pengumuman hasil pemilu kita masih kalah cepat dibanding pemilu di India yang jumlah pemilihnya hampir 1 miliar. Hal ini patut menjadi agenda perbaikan demokrasi elektoral kita ke depan. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar