Ancaman
“Khilafah” ISIS
Azis Anwar Fachrudin ;
Pegiat Jaringan GusDurian,
Yogyakarta
|
SINAR
HARAPAN, 21 Juli 2014
Islamic State of Iraq and
al-Sham (ISIS), atau dalam bahasa Arabnya “ad-Dawlah al-Islamiyah fi al-‘Iraq
was-Syam (singkatannya: Da’isy),
telah mendeklarasikan “Khilafah Islam”.
Khalifahnya Abu Bakr al-Baghdadi. Wilayah kekuasaannya beberapa distrik di
belahan barat Irak (terutama di kawasan Sunni, seperti Fallujah dan Ramadi)
dan belahan timur laut Suriah.
ISIS dengan demikian menjadi pemain politik baru—entah mau
disebut teroris, radikal, ekstremis, islamis-jihadis, dll—jelas tak bisa
diabaikan ancamannya bagi stabilitas Timur Tengah.
Sejarah ringkas lahirnya ISIS bermula pada 2004, ketika terjadi
merger antara Al-Qaeda pusat (AQC) dengan gerakan islamis di Irak, at-Tawhid wal-Jihad, yang dipimpin Abu
Mus’ab az-Zarqawi. At-Tawhid wal-Jihad kemudian menjadi franchise Al-Qaeda di
Irak (al-Qaeda in Iraq/AQI).
Setelah kematian az-Zarqawi, AQI menjadi Islamic State of Iraq (ISI). Sejak itu, hubungan keduanya mulai
renggang—khususnya karena aksi ISI dipandang terlalu brutal dan cenderung
mbalelo dari kepemimpinan Ayman az-Zawahiri (pemimpin AQC)—meski masih punya
kepentingan yang sama (mutual interest).
Ketegangan hubungan antara Al-Qaeda dengan ISI makin menajam,
terutama ketika Abu Bakr al-Baghdadi, pemimpin ISI, memutuskan ikut campur di
Suriah. Sejak itu, ISI menjadi ISIS—Syam sebenarnya tak hanya meliputi
Suriah, melainkan juga Yordania, Lebanon, dan Palestina.
Al-Baghdadi lalu mendeklarasikan akan sekaligus memimpin pula
Jabhah an-Nusrah (JN), afiliasi Al-Qaeda di Suriah. Namun, Abu Muhammad
al-Julani, pemimpin JN, menampik klaim sepihak al-Baghdadi. Al-Julani mengaku
tetap di bawah kepemimpinan AQC. Az-Zawahiri menolak mengakui otoritas
al-Baghdadi. Al-Qaeda dan ISIS pun pisah ranjang.
Jadi, JN yang disokong Al-Qaeda bertarung melawan ISIS, atau
sekurang-kurangnya melakukan pembagian wilayah kekuasaan. Di Suriah, ISIS
berhasil menguasai beberapa distrik di belahan timur laut dan mendapat
pasokan prajurit dari pembelot JN, serta “relawan” jihad dari beberapa
negara. Kini, ISIS telah mendeklarasikan diri sebagai Khilafah Islam dengan
luas kekuasaan signifikan di Irak dan Syam.
Kondisi di Irak dan Suriah kini sudah begitu karut-marut, chaos.
Ada banyak aktor bermain. Di pihak oposisi—untuk tak disebut
pemberontak—Suriah kini setidaknya ada tiga jenis; FSA (Free Syrian Army, yang mendapat sokongan dari Qatar, Saudi, dan
beberapa negara Barat), JN, dan ISIS. Ketiganya, meski punya tujuan yang sama
untuk menumbangkan rezim setempat, tidaklah satu tubuh dan satu platform
politik, bahkan saling memerangi. Menyedihkan!
Friksi yang terjadi di antara ketiga kelompok itu, dalam satu
aspek tentu menjadi keuntungan tersendiri bagi rezim Bashar al-Assad di
Suriah; Daripada mereka bersatu, biarkan mereka saling menghancurkan. Namun,
bagi rezim al-Maliki di Irak, ISIS adalah ancaman sangat serius bagi
kedaulatan politiknya, ada negara (separatis) dalam negara.
Ancaman Serius
Sebelum pecah kongsi, ISIS adalah cabang Al-Qaeda yang terkuat
dari segi militernya. Dengan berpisahnya ISIS, Al-Qaeda kehilangan kendali di
Irak. Az-Zawahiri sempat mengajak bersatu, tapi ditampik al-Baghdadi.
Pastinya, dalam setahun terakhir ISIS menjadi kelompok
islamis-jihadis dengan perkembangan tercepat. Penyebabnya antara lain,
pertama, kondisi karut-marut di Suriah dan Irak. Sudah tiga periode kekuasaan
al-Maliki dan Irak terus dilanda bukan saja sentimen akut sektarian antara
Sunni dan Syiah, melainkan juga pembelotan beberapa suku seperti Kurdi,
Anbar, dan penduduk Basrah.
Pendek kata, pemerintahan al-Maliki, selain persoalan korupsi
dan stabilitas negara, mengalami defisit legitimasi yang akut. Irak jadi
negara gagal (failed state).
Kedua, ISIS sangat memanfaatkan sentimen sektarian Sunni-Syiah
untuk membangun pamor di dunia Islam dan menarik para jihadis. Kebetulan,
rezim di Irak dan Suriah adalah sama-sama Syiah—meski beda aliran.
Ketiga, sesuai proposisi yang sudah teramini dalam beberapa
pengalaman pasca-Arab Spring, negara yang menderita fragmentasi
sosial-politik yang tajam sangat rawan disusupi gerakan ekstrimis. Kemunculan
tiba-tiba ISIS, JN, dan yang semacamnya, bahkan bergerak cepat, tak lain
adalah konfirmasi dari hal itu.
Deklarasi “khilafah” dari ISIS ini jelas menjadi ancaman besar
bagi stabilitas Timur Tengah. Deklarasi itu berarti pernyataan perang
terhadap setiap lawannya—sangat mungkin sampai titik darah penghabisan.
Apalagi, para jihadis itu memakai doktrin yang sangat rigid, copy-paste seharfiah-harfiahnya dari
praktik kekhilafahan (atau tepatnya “dawlah”)
Islam masa lampau.
Bisa dibayangkan jika “khilafah”
Islam ala ISIS ini mengadopsi hukum perang era Abad pertengahan (yang
sebenarnya bukan khas Islam, tapi jadi hukum perang internasional zaman itu);
Mereka yang kalah perang bisa jadi budak; ada pembagian rampasan perang (ghanimah); ada pajak kepala (jizyah) untuk nonmuslim dzimmi; dzimmi jadi warga negara kelas
dua; dan seterusnya. Jika Anda menyimak di jejaring sosial tentang bagaimana
ISIS memperlakukan tawanannya, itu sangat mengerikan bagi orang sekarang.
Sikap Internasional
Deklarasi “khilafah”
Islam itu bukan saja akan menyasar mereka yang dianggap “kafir”, melainkan juga sesama jihadis. Jika benar ISIS
mengadopsi tata hukum Islam klasik bahwa pemberontakan itu haram, segenap
islamis lain (Ikhwanul Muslimin, Hizbut Tahrir, dan lain-lain), meski bervisi
sama, akan dipaksa tunduk dan berbaiat pada “khilafah” Abu Bakr al-Baghdadi.
ISIS akan mengumumkan perang melawan para pemberontak (harb al-baghy). Jelas, Irak dan Suriah akan jadi medan “perang
kurusetra”; perang habis-habisan.
Sampai saat ini belum ada sikap serius dari negara-negara Barat.
Tentu saja Washington masih harus menghitung untung-rugi. Arab Saudi juga
demikian (adanya ISIS sedikit-banyak menguntungkan Saudi tanpa harus terjun
ke medan), meski beberapa ulamanya mendaku berlepas diri dari aksi-aksi brutal
ISIS. Iran sudah tegas akan menurunkan pasukannya untuk melawan ISIS,
terutama setelah ISIS berencana akan menggempur Najaf dan Karbala, dua kota
suci Syiah.
Begitulah, demikian banyaknya pemain politik dan militer yang
bermain di tengah chaos Suriah dan Irak, menyebabkan intervensi asing mesti
berhitung cermat, menjadikan Timur Tengah terjebak dilema; antara perang
penghabisan atau membiarkan kekuasaan jihadis makin melebar.
Dalam konteks seruwet
itu, negara-negara Barat tak bisa bicara soal demokrasi. Atau, boleh jadi,
kenyataan itu malah makin mempertegas tesis Arab-exceptionalism: negara-negara Arab, demi stabilitas, hanya
bisa diatur dengan tangan besi otoritarianisme, sebab demokrasi berarti
membuka keran ekstremisme. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar