Mendorong
Presidensialisme Efektif
Wawan Sobari ;
Dosen Ilmu Politik
Universitas Brawijaya
|
KORAN
TEMPO, 22 Juli 2014
Siapa pun pasangan kandidat yang menang, paradoks sistem
pemerintahan presidensial (presidensialisme) dan sistem kepartaian
multipartai (multipartisme) sudah menunggu. Pemilihan presiden langsung
sebenarnya dinilai tidak serasi dengan sistem multipartai di DPR (10 parpol).
Studi Mainwaring (1993) menunjukkan, mayoritas negara dengan
demokrasi yang stabil menerapkan sistem pemerintahan parlementer
(parlementerisme). Dari 31 negara demokratis dan stabil yang diteliti, hanya
empat negara yang menerapkan presidensialisme, sisanya menerapkan
parlementerisme.
Mainwaring melanjutkan, ketidakcocokan presidensialisme dan
multipartisme bisa mengarah pada ketidakstabilan pemerintahan yang dipilih
secara demokratis. Pertama, presidensialisme multipartai seperti di Indonesia
dikhawatirkan menimbulkan kebuntuan saat pengambilan keputusan, meskipun
kasus kebuntuan anggaran Amerika Serikat hingga Oktober 2013 sebenarnya
merupakan anomali presidensialisme dua partai. Risiko kebuntuan bisa jadi
lebih besar di Indonesia, mengingat banyaknya partai politik di DPR dan
adanya dua kutub koalisi yang belum menunjukkan kondisi polarisasi yang
mereda.
Kedua, kombinasi presidensialisme multipartai menjadi kompleks
karena kesulitan koalisi antarparpol. Kisruh antarparpol yang tergabung dalam
sekretariat gabungan koalisi memberi pelajaran bahwa tidak selamanya partai
setuju dengan kebijakan pemerintahan koalisi.
Fakta kartelisme kepartaian Indonesia sebenarnya menepis argumen
pengaruh sistem pemerintahan terhadap efektivitas pemerintahan dan stabilitas
demokrasi. Kartel politik dan kartel legislatif tampak kuat dalam pengambilan
kebijakan. Pidato perpisahan Sri Mulyani sebagai Menteri Keuangan pada 19 Mei
2010 seolah berusaha menunjukkan fakta arah koalisi pragmatis pemerintahan saat
itu. Istilah-istilah politis seperti "kartel politik" dan
"perkawinan politik" mengindikasikan bahwa kepentingan politik dan
ekonomi telah menjadi pertimbangan kuat dalam pembuatan kebijakan pemerintah
(Sobari, 2010).
Sebelumnya, studi Ambardi (2009) berhasil mengumpulkan bukti dan
mengidentifikasi lima ciri kartel dalam sistem kepartaian di Indonesia
Pasca-Reformasi, yaitu hilangnya peran ideologi partai politik, sikap
permisif pembentukan koalisi, tiadanya oposisi kuat, tidak berartinya hasil
pemilu dalam membentuk perilaku partai, dan kuatnya kolektivisme antarparpol
daripada kompetisi.
Dalam kasus Indonesia, penyebab sebenarnya cukup sederhana,
yakni berkaitan dengan hubungan akuntabilitas politik antara para legislator
dan partai. Sentralisasi kepemimpinan dan pengambilan keputusan partai-partai
politik memaksa para legislator mengikuti strategi, taktik, dan kepentingan
politik partai sebagai patronnya (anutan). Ketakutan dan kekhawatiran akan
peringatan partai yang berujung pada penarikan (recall) keanggotaan parlemen menyebabkan posisi mereka menjadi
rentan. Dampaknya, akuntabilitas kinerja para legislator (dalam pembuatan
kebijakan, penganggaran, dan pengawasan pemerintah) terhadap konstituen
terabaikan.
Konsekuensinya, pemerintahan presidensial mendatang sepertinya
akan mengalami nasib sama. Pemerintah tertekan oleh desain pemerintahan
presidensialisme multipartai yang paradoksal dan praktek-praktek politik
informal yang menyandera akuntabilitas pemerintahan. Namun, bila para elite
politik dan pemerintahan mengubah presidensialisme yang mulai mapan, tentunya
juga bukan solusi bijak.
Maka pemerintah mendatang mesti mengupayakan terciptanya
presidensialisme efektif sebagai salah satu jalan keluar. Pertama, berupaya
meningkatkan kemampuan pemerintah dalam mendeteksi persoalan publik (negara
dan rakyat) yang menghambat kemajuan dan mencarikan jalan keluarnya.
Kapasitas itu dibutuhkan untuk mendorong akuntabilitas pemerintahan terpilih
dalam merealisasi janji-janji kampanyenya.
Kedua, berusaha meningkatkan kemampuan pengambilan keputusan
efektif. Prinsip musyawarah mufakat dalam demokrasi Pancasila relevan dalam
pembuatan kebijakan strategis maupun implementatif. Debat-debat kebijakan
antara pemerintah, DPR, dan kalangan non-pemerintah mesti dilakukan atas
dasar bukti-bukti kebijakan yang kuat dan relevan. Musyawarah dengan dukungan
argumen kebijakan yang otentik jauh lebih baik daripada mekanisme voting yang
lebih menguntungkan koalisi mayoritas dalam parlemen.
Ketiga, memperkuat institusi-institusi penjaga akuntabilitas,
seperti BPK, BPKP, UKP4, KPK, Komisi Informasi, Pusat Pelaporan dan Analisis
Transaksi Keuangan, Komisi Yudisial, serta Ombudsman Republik Indonesia.
Kehadiran dan peran lembaga-lembaga itu akan mengawasi pemerintahan dan
menjadi jembatan akuntabilitas antara pemerintah dan rakyat. Tidak
ketinggalan upaya-upaya kampanye akuntabilitas dan pelibatan publik dalam
mendorong akuntabilitas pemerintahan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar