Distribusi
Kekuasaan “Tanpa Syarat”
Hazwan Iskandar Jaya ;
Sekjen IKASATA
Universitas
Sarjanawiyata Tamansiswa, Yogyakarta
|
SINAR
HARAPAN, 23 Juli 2014
Koalisi dalam politik kebangsaan mestinya dibangun atas dasar
kesadaran bahwa negara yang tengah mengalami berbagai kesulitan ini
memerlukan treatment dan problem solving yang luar biasa.
Sadar bahwa tidak ada satu kelompok atau elite politik yang akan
mampu memberesi semua persoalan yang terbentang, dengan koalisi diharapkan
persoalan bangsa dapat diatasi bersama-sama.
Koalisi dalam ranah politik dan pembangunan tak bisa dilepaskan
dari proses konsolidasi demokrasi. Pemilu hanya mengisyaratkan terbentuknya
perwakilan dalam mengisi lembaga resmi politik kenegaraan.
Rakyat menentukan pilihannya, siapa-siapa saja yang layak dan
diberi amanah untuk mengisi kursi kekuasaan, termasuk memilih paket presiden
dan wakil presiden (wapres) yang baru saja usai diselenggarakan pada 9 Juli
lalu.
Untuk itu, koalisi sesungguhnya adalah cara agar konsolidasi
demokrasi berjalan sesuai harapan. Konsolidasi demokrasi menjadi penanda bagi
peningkatan kualitas demokrasi melalui institusionalisasi nilai-nilai, baik
melalui partai politik (parpol), parlemen, maupun pemilu.
Joko Widodo dan Jusuf Kala, sebagai pasangan calon presiden dan
calon wakil presiden (capres-cawapres) telah memberi arah baru bagi
perpolitikan nasional. Pasangan ini memiliki landasan politik yang baik,
berkait dengan distribusi kekuasaan yang “tanpa syarat”.
Artinya, mereka ingin agar kabinet koalisinya dibentuk bukan
atas dasar “dagang sapi”, melainkan bahwa menangani persoalan bangsa ini
harus didasari niat yang tulus, tidak mengejar kursi kekuasaan semata.
Sejatinya, demikianlah harapan perjalanan politik kekuasaan kita
ke depan, termasuk ke turunannya, yaitu dalam mengusung calon kepala daerah
dan wakil kepala daerah dalam pemilihan kepala daerah (pilkada).
Siti Zuhro (2014) mengatakan, Pemilu, termasuk pilkada,
merupakan implementasi demokrasi dan saran political exercise untuk penguatan
infrastruktur demokrasi, baik nasional maupun lokal. Itu juga untuk
mereformasi birokrasi. Pemilu tidak bisa dipisahkan dari proses demokrasi
atau pendalaman demokrasi untuk melembagakan nilai-nilai yang dikandungnya.
Semua calon yang ikut dalam pemilu dan pilkada harus memahami
dengan saksama arti pentingya pemilu dan pilkada dalam konteks keindonesiaan
dan perlunya kematangan dalam berkompetisi dengan menunjukkan sikap “siap
kalah siap menang”.
Pelajaran penting dari tiga kali pemilu pada era Reformasi dan
900 lebih pilkada adalah meningkatnya partisipasi masyarakat dan relatif
terbangunnya kedewasaan berpolitik, melalui sikap yang ditunjukkan para elite
dan tokoh. Perilaku positif mereka memberikan pencerahan, pelajaran berharga
bagi pendidikan politik, yang kalah menerima dan yang menang tidak arogan.
Demokrasi “dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat” terwujud
ketika pemilu dan pilkada yang digelar tak semata-mata melibatkan rakyat
saja, tetapi juga pascapemilu dan pilkada pemimpinnya menunjukkan
keberpihakannya kepada rakyat dengan memberdayakan mereka melalui
program-program yang pro rakyat.
Distribusi Kekuasaan
Akhir-akhir ini, kita dipertontonkan berbagai pertunjukkan dan
manuver politik elite kekuasaan. Membangun komunikasi politik yang elegan,
tentu dimungkinkan bagi setiap petinggi partai politik.
Oleh karena, politik adalah menasbihkan yang namanya power sharing.
Koalisi menjadi wahana menentukan sikap dan komitmen, apakah akan
bersama-sama dalam satu “perahu” atau berada di “sampan” yang lain.
Rasanya, gula kekuasaan tetap menjadi rebutan. Elite parpol
saling berhasrat berada dalam lingkaran eksekutif. Ini karena menjadi
presiden, wapres, dan menteri adalah kesenangan dan kebanggaan sebuah parpol,
untuk tidak menyebutnya sebagai kejemawaan dan nafsu kekuasaan. Pada
akhirnya, koalisi tak lagi menjadi bagian sebagai tanggung jawab mereka
memberesi berbagai persoalan yang mengadang di depan mata, tetapi menjadi
ajang bagi-bagi kekuasaan.
Agregasi dan artikulasi kepentingan kian kuat dipertontonkan.
Manuver untuk membentuk “poros” kekuatan tertentu menjadi bagian sebuah bargaining power. Kita tidak lagi melihat
drama politik yang konstruktif untuk memikirkan bagaimana negara ini
dibangun. Akan tetapi, politik diumbar hanya sebagai bentuk “dagang sapi”.
Padahal, melalui pemilu diharapkan, distribusi kekuasaan dan
otoritas di antara dan dalam institusi-institusi politik dan kenegaraan yang
utama (kepala negara, militer, kehakiman, kelompok-kelompok kepentingan,
parpol, birokrat pusat, daerah dan lokal) berlangsung damai.
Kekuasaan didistribusikan oleh kedaulatan rakyat yang memilihe
elit politik untuk diberi amanah memimpin dan mengelola kekayaan negara.
Namun, jika nafsu dan dahaga kekuasaan dipertontonkan melalui “kotak-kotak”
kepentingan kelompok dan pribadi, jangan harap rakyat dapat memperoleh
mimpinya: kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia! Semua itu akan jauh
panggang dari api.
Distribusi kekuasaan harusnya bersandar ke komitmen kebangsaan
dan kesejahteraan di atas segalanya. Persatuan dan kesatuan jangan hanya
menjadi slogan kosong.
Jika pemimpin dan elite kekuasaan bertarung tanpa mengindahkan
etika-sebagaimana kerap dipertontonkan pada hari-hari belakangan ini— lewat
kampanye negatif dan kampanye hitam, bangsa ini tak akan lagi punya masa
depan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar