Kemenangan
Figur Transformatif
Muchamad Yuliyanto ;
Dosen Komunikasi Politik
FISIP Universitas Diponegoro, Pengelola Lembaga Pengkajian Survei Indonesia
(LPSI) Jawa Tengah
|
SUARA
MERDEKA, 24 Juli 2014
KEMENANGAN
Jokowi-Jusuf Kalla dalam Pilpres 2014 dengan perolehan 53,15% suara sudah
diprediksi sejak awal melalui berbagai survei. Deraan kampanye hitam secara
masif tidak menggeser keyakinan pemilih (stabil
voters) untuk memberikan mandat kepadanya.
Pilpres
kali ini lebih menonjolkan faktor individu pasangan calon yang melekat, di
antaranya, pertama; indentifikasi diri. Jokowi merepresentasikan diri sebagai
masyarakat biasa, berkarier dari bawah, sederhana, jujur, responsif, dan apa
adanya sehingga menjadi simbol gerakan populisme. Kedua; sebagai capres
bermodal keberhasilan dan prestasi kerja saat memimpin pemerintahan, ia
mendapat liputan media secara kontinu sehingga menjadikannya sebagai figur
yang digandrungi publik.
Ketiga;
gagasan yang ditawarkan amat taktis, mudah dipahami dan rasional, Selain itu,
memberi harapan perubahan gaya kepemimpinan yang transformatif mengusung
motivasi, moral, perubahan, dan kebijakan prorakyat. Keempat; ia didampingi
JK, pekerja keras dengan gaya kepemimpinan taktis. Jusuf Kalla membukakan
mata rakyat bahwa figur dari Indonesia Timur itu kapabel memimpin saat kapan
pun, antara lain ketika ia berhasil memimpin Golkar dan memajukan PMI.
Kelima;
keberhasilan komunikasi interaksional melalui silaturahmi dengan opinion
leader diikuti komunikasi di tengah rakyat, memperkuat keyakinan pemilih akan
ketulusan dan keseriusannya memperbaiki masa depan bangsa. Mengubah
’’Mindset’’ Keenam; dukungan beragam latar belakang tokoh dengan argumen
tertarik kepribadian dan gaya kepemimpinan Jokowi-JK menunjukkan
akseptabilitas tinggi meskipun Jokowi orang biasa. Realitas ini memperkuat
kegandrungan pemilih sehingga injury
time pun tidak mampu mengubah orientasi pilihan meski ’’diterpa’’ lima
kali debat capres. Hal itu amat dirasakan di Bali, Jatim, dan Jateng.
Ketujuh;
koalisi ramping partai pengusung Jokowi- JK sejak awal berhasil mengubah
mindsetpublik bahwa perilaku pragmatis transaksional yang lekat dalam
perpolitikan ternyata dapat direduksi. Pernyataan Jokowi tentang koalisi
tanpa syarat yang terus diopinikan makin menarik pemilih kelas menengah/atas
yang rasional, kritis, mudah berubah pilihan dan sering dikategorikan swing
voters, yang angkanya masih 12,5%.
Pemilih
makin mantap ketika menyimak debat capres putaran terakhir. Lalu mereka
bergerak diam-diam melalui media sosial atau berkomunikasi antarpersonal di
lingkungan keluarga dan peer group. Merekalah sesungguhnya pendulang suara
kemenangan Jokowi-JK. Kedelapan; model komunikasi politik interaksional
Jokowi-JK berhasil menciptakan kedekatan psikologis untuk memudahkan
penetrasi harapan perubahan yang lebih baik.
Diksi
komunikasi yang sederhana, aplikatif, taktis, dan diaksentuasi niat pribadi
yang menonjol telah menggerakkan sentimen figur yang terus menguat.
Kesembilan; PDIP sebagai mesin utama pengusung cukup solid dan berhasil
menggerakkan seluruh elemen partai, terutama di Jateng, Jatim, Bali, dan
Sulawesi. Gerakan pemenangan dibangun secara struktural dilengkapi figur
Jokowi yang populis makin meyakinkan jaringan sukarelawan untuk bergerak
habis-habisan sampai hari coblosan. Adapun PKB yang memiliki basis konstituen
loyalis, kali ini lebih dominan pada gerakan elemen NU, terutama di Jatim,
Jateng dan sebagian Jawa Barat.
Hal
ini karena representasi JK di jajaran PBNU. Kesepuluh; komunikasi politik
interaksional Jokowi berimplikasi terbentuknya homopili komunikasi dengan
publik, ditandai simbol baju kotak-kotak, bahasa rakyat dan penampilan
pribadi yang dapat mengubur jarak psikologis dengan rakyat awam di seluruh
pelosok Nusantara.
Kesebelas;
gerakan endorsement yang dilakukan para tokoh berkredibilitas tinggi di
sekitar Jokowi-JK berimplikasi pada penguatan orientasi pilihan publik. Misal
kehadiran Ahmad Syafii Maarif, Hasyim Muzadi, Khofifah, Sarlito Wirawan,
hingga grup Slank. Keduabelas; kontribusi sukarelawan muda melek ICT yang
bergerak melalui media sosial sebagai media komunikasi politik memperkuat
kepastian bakal kemenangan Jokowi.
Pertarungan Ideologi
Pilpres
2014 lebih terasa sebagai pertarungan ideologi antara populis-transformatif
yang mengusung gerakan revolusi mental di satu sisi dan elitis-imperatif yang
menjanjikan penguatan harga diri bangsa, kepemimpinan kuat, dan kebangkitan
nasionalisme ekonomi di sisi lain. Adapun fenomena baru praktik demokrasi dan
kepemimpinan hasil pilpres adalah, pertama; figur Jokowi mereduksi kekuatan
plutokrasi dalam sirkulasi praktik demokrasi sebagai jalan memilih pemimpin.
Tampilnya
orang biasa dari bawah dengan keunggulan prestasi dan populistik jelas tak
ada dalam plutokrasi. Kedua; kemenangan Jokowi mempercepat regenerasi
kepemimpinan tanpa beban masa lalu yang bersifat bottom up dari keberhasilan
aras lokal menuju nasional. Ketiga; proses politik pilpres terasa lebih
orisinal dan menjadi antitesis politik pencitraan ataupun wacana koalisi
besar yang sering gamang dan sarat transaksional- pragmatis.
Keempat;
Jokowi memunculkan harapan terhadap kepemimpinan transformatif untuk
memajukan bangsa dan rakyat. Apalagi ia terbebas dari transaksi yang bisa
menyandera kepemimpinan lima tahun mendatang. Selamat bekerja Pak Jokowi-Pak
JK, rakyat menunggu janji kalian. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar