Menjemput
Kabinet Populer
Umbu TW Pariangu ;
Dosen Fisipol, Undana,
Kupang
|
JAWA
POS, 25 Juli 2014
RUPANYA,
tidak ada bulan madu politik bagi presiden dan wakil presiden terpilih RI,
Joko Widodo-Jusuf Kalla (Jokowi-JK). Selepas diumumkan sebagai pemenang dalam
Pilpres 9 Juli, Jokowi-JK sudah harus masuk dapur untuk menentukan skuad
kabinetnya lima tahun ke depan.
Dalam
berbagai kesempatan, Jokowi selalu menegaskan bahwa formasi kabinet yang akan
dibentuknya merupakan kabinet zaken atau kabinet ahli/profesional. Lantas,
formasi kabinet ahli yang bagaimana yang ingin diramu Jokowi-JK untuk bekerja
sama mewujudkan agenda besar perubahan?
Untuk
menjamin pemerintahan yang meritokratis, Jokowi berencana menerapkan sistem
lelang jabatan dalam perekrutan kabinet, meski konsep itu sedikit
berseberangan dengan pendapat JK yang cenderung menitikberatkan pada pola
penunjukan langsung (24/7). Tetapi, apa pun itu, semangat dasar pembentukannya
tentu saja ingin mencari talenta terbaik yang bakal mengisi struktur utama di
garda pemerintahan Jokowi-JK.
Roh Populisme
Karena
mencerminkan antitesis dari pola dan kultur kabinet masa lalu, tim kabinet
yang didesain setidaknya harus mencerminkan roh populisme sesuai dengan
visi-misi: mewujudkan Indonesia yang berdaulat di bidang politik, berdikari
di bidang ekonomi, dan berkepribadian di bidang budaya. Tentu, konstruksi
visi-misi itulah yang menjadi basis imajinasi penggodokan dan penetapan
figur-figur kompeten serta kredibel dalam jajaran pembantu pemerintah lima
tahun mendatang.
Dengan
roh populisme, membangun pemerintahan yang kuat lewat manajemen pemerintahan
yang profesional, yang mampu menyatukan segenap entitas politik untuk bekerja
berdasar suara dan kepentingan rakyat, menjadi pertimbangan mutlak.
Diunggahnya lembaran yang diberi nama Kabinet Alternatif Usulan Rakyat (KAUR)
di Facebook beberapa waktu lalu merupakan salah satu bukti bahwa koridor bagi
aspirasi dan kontrol rakyat tetap harus dibuka dalam mengawal kebijakan
prerogatif presiden, khususnya dalam penunjukan orang-orang kepercayaan.
Di
sisi lain, harus diakui, itu menjadi beban moral dan politik bagi Jokowi.
Mengingat, kemenangannya sebagai presiden kemarin disertai ekspektasi publik
yang besar terhadap perubahan iklim kinerja pemerintahan jika dibandingkan
dengan sebelumnya. Corak pemerintahan yang digenangi kompromi politik parsial
ternyata sulit memadupadankan visi besar pemerintah dengan kualitas rencana
aksi atau eksekusi kebijakan di lapangan. Berbagai pos kementerian strategis
yang diharapkan menjadi urat nadi keberhasilan pemerintah ternyata hanya
menjadi ruang bancakan ekonomi dan eksistensi politik kepentingan tertentu.
Karena
itu, kabinet bentukan Jokowi ke depan harus mencerminkan transfigurasi
gagasan besar mewujudkan sinergisme potensi pemerintahan dan merumuskan
kebijakan-kebijakan strategis yang bersentuhan langsung dengan perbaikan
nasib dengan menggenapi cita-cita dasar rakyat yang mengemuka selama ini.
Dengan prinsip ketegasan yang diwariskannya semasa menjadi wali kota Solo dan
gubernur DKI Jakarta, kita optimistis Jokowi mampu mendayagunakan kewenangan
prerogatifnya untuk membumikan kehendak visi-misinya tanpa tersandera intensi
pragmatis dari sekelompok penumpang gelap politik.
Steven
Lukes (Power: A Radical View: 1974)
menyatakan, kekuasaan merupakan kemampuan memengaruhi pihak-pihak lain untuk
tunduk dalam sistem yang dikehendaki penguasa. Dengan kata lain, kekuasaan
presiden perlu dimaksimalkan untuk mengatur arah dukungan politis berdasar
opsi-opsi teknokratis demi kondusivitas pemerintahan serta memprerogasi
kekuasaannya dalam menentukan orang-orang cakap dan profesional bekerja di
kabinet (zaken). Preseden pembentukan kabinet pada zaman demokrasi
parlementer 1950-an dengan maraknya wajah ’’pelangi’’ kepentingan dan
ideologi parpol menimbulkan kesulitan tersendiri dalam hal kecepatan dan
efektivitas mempersatukan energi serta sumber daya politik untuk
berkonsentrasi mewujudkan perubahan.
Pemerintahan
SBY-Boediono, misalnya, sangat solid secara politis dengan mendulang
73.874.562 suara (60,8 persen), ’’mematikan’’ dua pasangan pesaingnya hanya
dalam satu putaran. Namun, soliditas itu tereduksi oleh kentalnya sikap
kompromistis untuk menetralkan semua potensi ’’liabilitas’’ dalam kabinet
pemerintahan maupun ancaman yang datang dari parlemen. Skeptisisme terhadap
populisme sebagai pilihan rakyat itu membuat efektivitas birokrasi, program
prorakyat, dan penegakan hukum tidak berjalan maksimal. Sebab, koalisi partai
yang digerbongi SBY selalu mudah diganggu dari berbagai sudut isu kebijakan
maupun kepentingan.
Bukan Hanya Ritual
Kabinet
Jokowi-JK layak dihuni figur-figur the right man on the right place. Terutama
di departemen-departemen teknis (seperti perekonomian dan pemerataan
kesejahteraan, penegakan hukum dan pemberantasan korupsi, maupun pembangunan
pendidikan dan kesehatan). Karena kinerja kabinet adalah sistem integral yang
ikut menentukan performa presiden, mekanisme pengisian jabatan menteri tidak
lagi berdasar giliran orang di partai/nonpartai, namun berdasar sistem
meritokrasi yang berporos pada pertimbangan dari lima kekuatan partai
pendukung pemerintah (PDIP, Nasdem, PKB, Hanura, dan partai non-seat PKPI).
Tidak
berarti pola tersebut kemudian mem-permisif-kan adanya intervensi yang
berpotensi terjadi di dalam ruang transaksional pola rekrutmen. Namun, itu
lebih mengarah pada kebutuhan politik bersama dalam mengonstruksi
kriteria-kriteria kandidat pembantu presiden yang layak diusung dan bekerja
sama dalam kabinet kerja Jokowi-JK. Poin ini menjadi sangat urgen demi
menghindari pengerasan mitos yang terjadi selama ini bahwa pembentukan
kabinet sekadar ritual atau festival politik lima tahunan yang menampung
kelompok pragmatis penjaga citra pemerintah hasil dari formula politik balas
jasa ketimbang sebuah agenda aktualisasi progresif kinerja pemerintah. Kita
yakin, saat ini Jokowi telah memiliki sejumlah proposal kompetensi, baik
jejak rekam maupun prestasi kandidat menteri. Jika konsisten dengan warna
profesionalisme, personel kabinet akan diisi orang-orang ekspertis di luar
parpol yang unsur keahliannya tidak gampang direduksi besarnya dosis
’’kepentingan’’.
Tidak
sulit untuk mewujudkan konsistensi tersebut berhubung modal awalnya sudah
ada. Yakni, semangat dasar pembentukan koalisi Jokowi-JK yang sejak awal
dilandasi keikhlasan membangun pemerintahan yang amanah terhadap rakyat.
Intuisi kepemimpinan yang dimiliki Jokowi pun akan sangat membantunya dalam
menimbang-nimbang dan memutuskan orang-orang mumpuni yang mewakafkan seluruh
potensi maupun kesiapan batin dan moralnya untuk bekerja penuh di dalam
langgam serta tujuan pemerintahan. Bagaimanapun, komposisi kabinet yang
terbentuk nanti menjadi evaluasi pertama seratus hari pemerintahan Jokowi-JK sekaligus
ujian, mampukah pemerintahan ini melawan arus raksasa politik kapital? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar