Kamis, 31 Juli 2014

Menjemput Kabinet Populer

                                     Menjemput Kabinet Populer

Umbu TW Pariangu  ;   Dosen Fisipol, Undana, Kupang
JAWA POS, 25 Juli 2014
                                                


RUPANYA, tidak ada bulan madu politik bagi presiden dan wakil presiden terpilih RI, Joko Widodo-Jusuf Kalla (Jokowi-JK). Selepas diumumkan sebagai pemenang dalam Pilpres 9 Juli, Jokowi-JK sudah harus masuk dapur untuk menentukan skuad kabinetnya lima tahun ke depan.

Dalam berbagai kesempatan, Jokowi selalu menegaskan bahwa formasi kabinet yang akan dibentuknya merupakan kabinet zaken atau kabinet ahli/profesional. Lantas, formasi kabinet ahli yang bagaimana yang ingin diramu Jokowi-JK untuk bekerja sama mewujudkan agenda besar perubahan?

Untuk menjamin pemerintahan yang meritokratis, Jokowi berencana menerapkan sistem lelang jabatan dalam perekrutan kabinet, meski konsep itu sedikit berseberangan dengan pendapat JK yang cenderung menitikberatkan pada pola penunjukan langsung (24/7). Tetapi, apa pun itu, semangat dasar pembentukannya tentu saja ingin mencari talenta terbaik yang bakal mengisi struktur utama di garda pemerintahan Jokowi-JK.

Roh Populisme

Karena mencerminkan antitesis dari pola dan kultur kabinet masa lalu, tim kabinet yang didesain setidaknya harus mencerminkan roh populisme sesuai dengan visi-misi: mewujudkan Indonesia yang berdaulat di bidang politik, berdikari di bidang ekonomi, dan berkepribadian di bidang budaya. Tentu, konstruksi visi-misi itulah yang menjadi basis imajinasi penggodokan dan penetapan figur-figur kompeten serta kredibel dalam jajaran pembantu pemerintah lima tahun mendatang.

Dengan roh populisme, membangun pemerintahan yang kuat lewat manajemen pemerintahan yang profesional, yang mampu menyatukan segenap entitas politik untuk bekerja berdasar suara dan kepentingan rakyat, menjadi pertimbangan mutlak. Diunggahnya lembaran yang diberi nama Kabinet Alternatif Usulan Rakyat (KAUR) di Facebook beberapa waktu lalu merupakan salah satu bukti bahwa koridor bagi aspirasi dan kontrol rakyat tetap harus dibuka dalam mengawal kebijakan prerogatif presiden, khususnya dalam penunjukan orang-orang kepercayaan.

Di sisi lain, harus diakui, itu menjadi beban moral dan politik bagi Jokowi. Mengingat, kemenangannya sebagai presiden kemarin disertai ekspektasi publik yang besar terhadap perubahan iklim kinerja pemerintahan jika dibandingkan dengan sebelumnya. Corak pemerintahan yang digenangi kompromi politik parsial ternyata sulit memadupadankan visi besar pemerintah dengan kualitas rencana aksi atau eksekusi kebijakan di lapangan. Berbagai pos kementerian strategis yang diharapkan menjadi urat nadi keberhasilan pemerintah ternyata hanya menjadi ruang bancakan ekonomi dan eksistensi politik kepentingan tertentu.

Karena itu, kabinet bentukan Jokowi ke depan harus mencerminkan transfigurasi gagasan besar mewujudkan sinergisme potensi pemerintahan dan merumuskan kebijakan-kebijakan strategis yang bersentuhan langsung dengan perbaikan nasib dengan menggenapi cita-cita dasar rakyat yang mengemuka selama ini. Dengan prinsip ketegasan yang diwariskannya semasa menjadi wali kota Solo dan gubernur DKI Jakarta, kita optimistis Jokowi mampu mendayagunakan kewenangan prerogatifnya untuk membumikan kehendak visi-misinya tanpa tersandera intensi pragmatis dari sekelompok penumpang gelap politik.

Steven Lukes (Power: A Radical View: 1974) menyatakan, kekuasaan merupakan kemampuan memengaruhi pihak-pihak lain untuk tunduk dalam sistem yang dikehendaki penguasa. Dengan kata lain, kekuasaan presiden perlu dimaksimalkan untuk mengatur arah dukungan politis berdasar opsi-opsi teknokratis demi kondusivitas pemerintahan serta memprerogasi kekuasaannya dalam menentukan orang-orang cakap dan profesional bekerja di kabinet (zaken). Preseden pembentukan kabinet pada zaman demokrasi parlementer 1950-an dengan maraknya wajah ’’pelangi’’ kepentingan dan ideologi parpol menimbulkan kesulitan tersendiri dalam hal kecepatan dan efektivitas mempersatukan energi serta sumber daya politik untuk berkonsentrasi mewujudkan perubahan.

Pemerintahan SBY-Boediono, misalnya, sangat solid secara politis dengan mendulang 73.874.562 suara (60,8 persen), ’’mematikan’’ dua pasangan pesaingnya hanya dalam satu putaran. Namun, soliditas itu tereduksi oleh kentalnya sikap kompromistis untuk menetralkan semua potensi ’’liabilitas’’ dalam kabinet pemerintahan maupun ancaman yang datang dari parlemen. Skeptisisme terhadap populisme sebagai pilihan rakyat itu membuat efektivitas birokrasi, program prorakyat, dan penegakan hukum tidak berjalan maksimal. Sebab, koalisi partai yang digerbongi SBY selalu mudah diganggu dari berbagai sudut isu kebijakan maupun kepentingan.

Bukan Hanya Ritual

Kabinet Jokowi-JK layak dihuni figur-figur the right man on the right place. Terutama di departemen-departemen teknis (seperti perekonomian dan pemerataan kesejahteraan, penegakan hukum dan pemberantasan korupsi, maupun pembangunan pendidikan dan kesehatan). Karena kinerja kabinet adalah sistem integral yang ikut menentukan performa presiden, mekanisme pengisian jabatan menteri tidak lagi berdasar giliran orang di partai/nonpartai, namun berdasar sistem meritokrasi yang berporos pada pertimbangan dari lima kekuatan partai pendukung pemerintah (PDIP, Nasdem, PKB, Hanura, dan partai non-seat PKPI).

Tidak berarti pola tersebut kemudian mem-permisif-kan adanya intervensi yang berpotensi terjadi di dalam ruang transaksional pola rekrutmen. Namun, itu lebih mengarah pada kebutuhan politik bersama dalam mengonstruksi kriteria-kriteria kandidat pembantu presiden yang layak diusung dan bekerja sama dalam kabinet kerja Jokowi-JK. Poin ini menjadi sangat urgen demi menghindari pengerasan mitos yang terjadi selama ini bahwa pembentukan kabinet sekadar ritual atau festival politik lima tahunan yang menampung kelompok pragmatis penjaga citra pemerintah hasil dari formula politik balas jasa ketimbang sebuah agenda aktualisasi progresif kinerja pemerintah. Kita yakin, saat ini Jokowi telah memiliki sejumlah proposal kompetensi, baik jejak rekam maupun prestasi kandidat menteri. Jika konsisten dengan warna profesionalisme, personel kabinet akan diisi orang-orang ekspertis di luar parpol yang unsur keahliannya tidak gampang direduksi besarnya dosis ’’kepentingan’’.

Tidak sulit untuk mewujudkan konsistensi tersebut berhubung modal awalnya sudah ada. Yakni, semangat dasar pembentukan koalisi Jokowi-JK yang sejak awal dilandasi keikhlasan membangun pemerintahan yang amanah terhadap rakyat. Intuisi kepemimpinan yang dimiliki Jokowi pun akan sangat membantunya dalam menimbang-nimbang dan memutuskan orang-orang mumpuni yang mewakafkan seluruh potensi maupun kesiapan batin dan moralnya untuk bekerja penuh di dalam langgam serta tujuan pemerintahan. Bagaimanapun, komposisi kabinet yang terbentuk nanti menjadi evaluasi pertama seratus hari pemerintahan Jokowi-JK sekaligus ujian, mampukah pemerintahan ini melawan arus raksasa politik kapital? ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar