Impunitas
Israel
Ivan Hadar ;
Direktur Eksekutif
Institute for Democracy Education (IDe)
|
KORAN
SINDO, 23 Juli 2014
Agresi
Israel di Jalur Gaza, selain menimbulkan kerusakan material dan infrastruktur
yang parah, juga telah membunuh dan mencederai sangat banyak korban tak
berdosa.
Pemblokadean
Gaza sepuluh tahun terakhir ditaksir sekitar 1.600 warga Palestina, sebagian
besar warga sipil, tewas. Sedangkan korban luka mencapai 10.000 orang lebih.
Sementara 100.000 penduduk Gaza tak berumah dan 600.000 lain hidup tanpa air
bersih. Terakhir, empat anak yang sedang bermain di tepi pantai menjadi
korban bom yang seringkali meledak serampangan. Tak heran banyak yang
menganggap Israel telah melakukan kejahatan perang dan patut diseret ke
mahkamah internasional.
Beberapa
sumber misalnya menyebut tentara Israel membuldoser rumah, sementara di dalam
rumah masih berpenghuni. Mereka juga membunuh warga sipil yang berusaha
menyelamatkan diri dengan bendera putih. Dan, yang tak kalah kejamnya, ketika
tentara Israel menggunakan kekuatan militer canggih untuk menyerang tanpa
pilih bulu di kawasan penduduk sipil dan menembakkan fosfor putih yang
dilarang hukum internasional. Navi Pillay, salah satu komisioner Dewan HAM
PBB, meminta segera dibentuk tim penyelidik independen terhadap Israel.
Secara
khusus Pillay menyebutkan kasus pembantaian yang dilakukan pasukan Israel,
melihat banyaknya korban di kalangan sipil terutama anak-anak, serangan
Israel ke Jalur Gaza sama sekali tidak bisa diterima. Dalam beberapa kali
agresi Israel, Dewan HAM PBB biasanya mengadopsi resolusi yang mengutuk
serangan Israel di Jalur Gaza dan menyebutnya sebagai pelanggaran HAM berat
terhadap warga Palestina. Namun, biasanya meski disetujui oleh 33 negara
Afrika, Asia, Arab, dan Amerika Latin, 13 negara Eropa hanya bersikap abstain
terhadap resolusi tersebut.
Kanada
bahkan menolaknya. Sejumlah negara Barat menilai resolusi yang diajukan itu
terlalu memihak dan gagal menjelaskan peran roket-roket yang diluncurkan oleh
milisi Hamas yang dianggap telah menjadi pemicu terjadi serangan Israel.
Sejauh ini belum ada keputusan apakah Dewan HAM PBB akan melakukan penyelidikan
terhadap agresi Israel dan menyeretnya ke pengadilan HAM internasional.
Karena itu, banyak yang percaya bahwa impunitas dalam agresi kali ini pun
masih akan berlaku bagi Israel.
Impunitas terjadi ketika tidak ada pengadilan bagi pelanggar HAM, termasuk
kejahatan perang oleh negara. Kalaupun ada pengadilan, hukuman kepada para
pelaku pelanggaran HAM paling banter hanya menjangkau pelaku lapangan. Bukan
mereka yang memberi perintah atau pengambil keputusan. Impunitas juga bisa
berarti pelanggaran HAM dan kejahatan atas kemanusiaan bersembunyi di balik
dalih “demi keamanan dan ketahanan nasional”. Pada 1992 di Universitas La
Cantuta, Peru, Lima, puluhan tentara menyerbu kampus dan menculik 12
mahasiswa.
Sebuah
penelitian yang digelar anggota partai oposisi di parlemen sejak awal
dihalang-halangi dan diteror dengan menyebut mereka sekutu teroris yang
bekerja dengan tujuan “menghujat
militer dan menghina para perwiranya”. Juli 1993 ditemukan kuburan massal
para mahasiswa yang diculik tadi. Para perwira penculik ditahan dan
pengadilan militer digelar. Beberapa bulan setelah dijatuhi hukuman,
pemerintah memberikan amnesti umum. Sementara beberapa perwira tinggi yang
diduga dalang penculikan, tak pernah menjalani proses hukum. Di Indonesia
kita pun masih menunggu tindak lanjut atas rekomendasi Tim Pencari Fakta atas
kerusuhan Mei 1997 yang mencatat perkosaan massal atas 168 perempuan etnis
Tionghoa.
Begitu
pula dengan peristiwa Semanggi, penyerbuan kantor PDI, penghilangan aktivis
prodemokrasi, kasus Munir, dan banyak lainnya. Berbagai contoh di atas
menjelaskan bahwa penyebab impunitas, selain faktual juga bersifat normatif.
Kejahatan HAM tidak diusut karena kurangnya keseriusan dan keinginan untuk
mengusut oleh elite pemerintahan yang tak jarang justru terlibat dalam
kasus-kasus tersebut.
Ada
pula pemberlakuan amnesti umum atau dengan mengajukan pelakunya ke peradilan
militer dengan vonis hukuman ringan karena kesalahan prosedur atau bahkan
vonis bebas karena telah melakukan tugas sesuai perintah. Sebenarnya pelaku
pelanggaran berat HAM, terutama penyiksaan tahanan, hukuman mati yang
sewenang-wenang terhadap tahanan politik, penculikan lawan politik,
pembunuhan dengan sengaja warga sipil dalam sebuah perang, diancam diajukan
ke pengadilan internasional.
Sejarah
mencatat, proses Nuernberg yang mengadili kejahatan perang oleh
(pemerintahan) Nazi-Hitler berdasarkan Perjanjian London, 8 Agustus 1945,
merupakan salah satu pengadilan internasional yang spektakuler. Dalam proses
Nuernberg, yang juga disebut Pengadilan Militer Internasional, ada pernyataan
yang di kemudian hari menjadi terkenal: “Kejahatan
terhadap hak-hak bangsa (lain)... sebenarnya dilakukan oleh manusia, bukan
oleh makhluk atau kekuatan abstrak sehingga hanya dengan hukuman terhadap
pelaku-pelakunya, hak bangsa-bangsa bisa ditegakkan”. Atas dasar ini,
penggerak mesin pembunuh Hitler-Nazi dikenakan hukuman.
Dengan
dasar inilah, teror oleh negara kemudian bisa dikonkretkan dan tidak menjadi
kejahatan anonim. Kini pernyataan tersebut menjadi landasan hukum
internasional untuk menjaring dan mengadili pelaku kejahatan internasional
semisal genosida, kejahatan atas kemanusiaan, kejahatan perang, dan kejahatan
atas utusan PBB. Namun, banyak yang meragukan efektivitas PBB untuk
menggiring dan, bila perlu, “memaksa” anggotanya agar memprioritaskan
penguatan HAM dan pengamanan perdamaian.
Agar
bisa memaksa, peran Dewan Keamanan PBB sebenarnya cukup besar. Sayangnya,
terkait kasus Israel, AS yang memiliki hak veto selama ini selalu
menggagalkan resolusi yang merugikan Israel. Bagi penulis, anti-Yahudi atau
anti-Semitistis adalah sebuah kejahatan kemanusiaan. Namun, ironisnya, Israel
yang menjadi negaranya bangsa Yahudi yang dulu banyak dibunuh Nazi-Hitler
kini berbalik menjadi agresor. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar