Agenda
Kelautan Presiden Terpilih
Muhamad Karim ;
Dosen Bioindustri
Universitas Trilogi di Jakarta,
Direktur
Pusat Kajian Pembangunan Kelautan dan Peradabam Maritim
|
SINAR
HARAPAN, 22 Juli 2014
Pemilihan Presiden (Pilpres) 2014 usai sudah. Meski terjadi
gonjang-ganjing hitung cepat pascapemilu, prosesnya berlangsung damai.
Apabila tak ada aral melintang, 22 Juli 2014, presiden terpilih ketahuan.
Ia akan mengadang beragam agenda di depan mata. Salah satunya
kelautan. Soalnya bukan hal sepele. Jika mengabaikannya, eksistensi negara
terancam. Umpamanya soal konflik Laut Tiongkok Selatan, bukankah ini bak bom
waktu yang sewaktu-waktu bisa meledak.
Imbasnya, geopolitik dan geoekonomi Asia Tenggara terguncang.
Indonesia pasti terkena imbasnya. Itu baru satu soal. Belum lagi soal
pengurasan sumber daya kelautan oleh asing.
Internasional
Agenda kelautan presiden terpilih nantinya strategis dan
kompleks. Beragam agenda prioritas kelautan kita mencakup ranah internasional
maupun domestik. Untuk agenda internasional, pertama, posisi Indonesia
sebagai Ketua Indian Ocean Rim
Association (IORA) 2015-2017.
Anggotanya adalah 20 negara pesisir Asia-Pasifik dan Afrika yang
berkepentingan dengan Samudra Hindia. Fokus kerja samanya berupa keamanan
laut, pencemaran dan polusi, manajemen perikanan, hingga investasi dan
perdagangan. Bukankah dengan hal ini negara akan mendapatkan manfaat ekonomi
jika dikelola dengan baik?
Kedua, konflik perebutan hak kelola dan akses sumber daya Laut
Tiongkok Selatan. Hingga kini, Jepang, Filipina, dan Vietnam masih
bersitegang dengan Tiongkok mengenai kepemilikan pulau dan batas maritim zona
ekonomi eksklusif (ZEE).
Mereka belum mencapai titik temu dengan Tiongkok. Amerika
Serikat (AS) pun ikut campur tangan
hingga mau membangun kembali pangkalan militernya di Filipina. Pendek kata,
konflik ini memengaruhi situasi geopolitik dan geoekonomi Indonesia maupun
regional ASEAN.
Jika Indonesia berpangku tangan, hal tersebut bisa memicu
konflik terbuka. Ingat, Indonesia memiliki ZEE dan landas kontinen di Laut
Tiongkok Selatan yang berbatasan dengan Vietnam. Tak menutup kemungkinan
Indonesia masuk pusaran konflik jika membiarkannya.
Di perairan itu, Indonesia pun memiliki pulau-pulau kecil yang
menandai batas maritim negara. Tak hanya itu, dari Laut Tiongkok Selatan
terbentang jalur perdagangan teramai di dunia lewat Selat Malaka. Karena hal
tersebut, Tiongkok mulai mencanangkan wacana “jalur sutra maritim”, sebuah
wacana baru dalam ekonomi kawasan Laut Tiongkok Selatan.
Ketiga, isu pembukaan Terusan “Kra” di Thailand. Tiongkok
mendukung pembukaannya. Terusan tersebut akan menghubungkan Samudra Hindia
dengan Laut Tiongkok Selatan. Terbukanya terusan ini kian memuluskan jalur
sutra maritim. Selain memperpendek lalu lintas pelayaran, ini memperkuat
hegemoni geopolitik Tiongkok di Asia Tenggara.
Meski isu masih sebatas wacana regional, isu ini kian memanas
sehingga mesti disikapi. Artinya, strategis buat Indonesia. Posisi Indonesia
sebagai Ketua IORA 2015-2017 bisa berkontribusi mendinginkan soal Laut
Tiongkok Selatan sambil mengupayakan nilai kemanfaatannya.
Caranya, Indonesia bisa saja mendorong Thailand membuka Terusan
Kra. sekalian menanamkan sahamnya. Pasalnya, ada manfaat geopilitik dan
geoekonomi di Pulau We dan Sabang yang dapat dikembangkan sebagai kawasan
ekonomi khusus (KEK) ala Pulau Batam.
Keempat, pelanggaran hak asasi manusia (HAM) di lautan terkait
penyelundupan (trafficking) dan perdagangan manusia. Masalah ini bukan isapan
jempol. Hampir setiap tahun aparat keamanan Indonesia dan Australia menangkap
warga Timur Tengah (Iran dan Irak) dan Afganistan yang melintasi perairan
ZEE-nya di Samudra Hindia.
Mereka hendak mencari
suaka ke Australia. Kebanyakan dari mereka menumpang kapal ikan sebagai
strategi kamuflase. Indonesia mesti menyelesaikan persoalan ini, jangan
sampai merusak hubungan diplomatik dengan Australia.
Kelima, aturan ketenagakerjaan internasional di kapal ikan
asing. International Labor Organization (ILO) telahmengaturnya dalam
Convention No 188/2007 (the work in
fishing convention). Aturan ini mengategorikan penangkapan ikan sebagai
aktivitas berbahaya. Hingga kini.
Indonesia belum meratifikasinya. Ini agenda penting karena lebih
dari 70 persen tenaga kerja di kapal asing Taiwan dan Selandia Baru berasal
dari Indonesia. Sisanya bekerja di kapal Korea Selatan (Korsel), Tiongkok,
Thailand, dan Jepang.
Jika presiden baru absen soal ini, sama artinya membiarkan
rakyat menggali kuburnya sendiri. Mereka tanpa jaminan sosial, kesehatan.
hingga keselamatan kerja, bekerja di laut risikonya lebih tinggi ketimbang
darat. Jangan sampai pemerintah mengurus mereka tatkala kapalnya mengalami
karam baru mengetahui ada awaknya yang
orang Indonesia. Pekerjaan rumah pemerintah Indonesia adalah meratifikasi
aturan ILO tersebut.
Keenam, nasib perikanan dalam skema Masyarakat Ekonomi ASEAN
(MAE) 2015. MAE belum tentu menguntungkan Indonesia. Negara ASEAN semacam
Thailand, Filipina, Malaysia, dan Vietnam bak mendapatkan durian runtuh.
Mereka tahu kapasitas dan daya jelajah kapal ikan Indonesia kalah jauh
ketimbang miliknya. Pasti mereka berebut mengurus izin penangkapan ikan di
perairan Indonesia.
Tiongkok pun tentu tak mau kalah. Ia pasti memanfaatkan
ASEAN-China Free Trade. Jadi ,jangan heran pasca-MEA ikan impor dari
Tiongkok, Thailand, dan Vietnam membanjiri Indonesia.
Simaklah, tahun 2013 laju ekspor ikan 11,39 persen lebih rendah
ketimbang impornya, 39,47 persen (Comtrade,
2013). Bukankah MAE malah memosisikan perikanan Indonesia di ujung
tanduk? Ini agenda penting juga bagi presiden terpilih.
Domestik
Agenda domestiknya, pertama, kian masifnya campur tangan asing
mengontrol sumber daya kelautan. Keterlibatan asing itu ada dalam penetapan
kawasan coral triangle inisiative (CTI). Kini, kawasan tersebut malah
melibatkan negara non-CTI, semacam Inggris, Prancis, dan AS.
Sudah barang tentu ini kepentingan bisnis karena dalam Konvensi Keragaman Hayati di Nagoya
Jepang pada 2010, Indonesia menyetujui skema benefit sharing mechanism (BSM).
Jadi, plasma nutfah, pengetahuan lokal, hingga sumber genetik lokal dari
lautan (baca: terumbu karang) bisa saja dikuasai asing. Dalihnya kepentingan
umat manusia.
Menariknya, negara asing bisa mengklaimnya sebagai kekayaan
intelektual. Bukankah ini bentuk baru kolonialisme berkedok konservasi plasma
nutfah? Hal terbaru adalah keterlibatan Australia dan Timor Leste mengelola
sumber daya laut Arafura. Ditambah lagi revisi Undang-Undang (UU) No 27/2007
menjadi UU No 1/2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau
Kecil (PWP3K) yang mengizinkan investasi asing di pulau kecil.
Aturan ini sama saja menggelar karpet merah bagi asing untuk
menjarah kekayaan laut Indonesia. Hal serupa berlangsung di kegiatan
perikanan. Penanaman modal asing (PMA) periode 2010-2013 rataannya melampaui
98,04 persen. Pada periode yang sama, penanaman modal dalam negeri (PMDN)
cuma 1,96 persen (BKPM, 2014).
Kedua, dugaan pemberlakuan MEA kian memperparah kemiskinan
nelayan. Masuknya kapal ikan asing di Indonesia pasti menggusur mereka dari
wilayah tangkapan tradisional. Bukankah ini membuat kesejahteraan mereka
terjun bebas?
Sejak 2013, nilai tukar nelayan (NTN) cenderung turun. NTN
Desember 2013 nilainya 101,98, Maret 2014 melonjak menjadi 102,29, lalu turun
lagi menjadi 102,54 pada April 2014 (BPS, 2014). Jadi, MEA bukan obat mujarab
(panacea) dalam menyejahterakan
nelayan.
Ketiga, hampir seluruh wilayah perikanan tangkap Indonesia
mengalami tangkap lebih. Jika pemerintahan baru menargetkan produksi hingga
50 juta ton hingga 2019, hal tersebut amatlah irasional, kecuali sampai
Samudra Hindia dan Samudra Pasifik. Tak ada cara lain, pemerintahan baru
harus menerapkan de-growth perikanan tangkap.
Caranya dengan memberlakukan sistem buka-tutup wilayah tangkapan
disertai pengaturan waktu. Dengan ,demikian ikan tidak ditangkap dalam umur
muda, namun saat umurnya sudah masuk kategori layak tangkap.
Menyikapi hal ini, presiden terpilih mesti memerhatikan semua
agenda prioritas kelautan. Bila abai, hal-hal tersebut akan jadi “bumerang”
bagi pemerintahannya sebab mempertaruhkan eksistensi negara dan kedaulatan
ekonomi di lautan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar