Curang
Katamsi Ginano ;
Penggemar Buku
|
KORAN
TEMPO, 22 Juli 2014
Mengutip perkataan calon presiden (capres) Prabowo Subianto,
Sabtu, 19 Juli 2014 ("Prabowo
Desak Pencoblosan Ulang"), tempo.co menulis, ''Insya Allah, kalau tidak ada kecurangan, kami akan menang.''
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) terbitan Departemen
Pendidikan Nasional dan Balai Pustaka (2005) mengartikan "curang"
sebagai "tidak jujur", "tidak lurus hati", "tidak
adil"; serta kecurangan adalah "perihal curang",
"perbuatan yang curang", "ketidakjujuran", dan
"keculasan". Mengingat pemilihan presiden 2014 hanya diikuti oleh
pasangan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa dan Joko Widodo-Jusuf Kalla, sinyal
curang capres Prabowo jelas ditujukan kepada pesaingnya.
Dugaan itu adalah isu yang sungguh serius. Terlebih karena
perilaku curang biasanya lebih mampu dilakukan oleh individu atau kelompok
yang memiliki sumber daya lebih digdaya.
Berhimpun di Koalisi Merah-Putih yang digagas Partai Gerakan
Indonesia Raya (Gerindra), Prabowo-Hatta didukung oleh enam partai yang total
menguasai 63 persen kursi Dewan Perwakilan Rakyat 2014-2019. Sebaliknya,
penyokong Jokowi-JK, yang dipimpin Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, yang
beroposisi di parlemen dan pemerintahan sejak 2004, hanya meraih 37 persen
kursi di DPR. Dominasi Prabowo-Hatta kian sempurna karena didukung oleh
Partai Demokrat sebagai ruling party dan pemimpin koalisi Sekretariat
Gabungan (Setgab) yang 10 tahun terakhir berkuasa di negeri ini; tokoh-tokoh
publik terkemuka; bahkan media massa, terutama televisi.
Kekuatan itulah yang dipertontonkan pada Selasa, 8 Juli 2014,
tatkala mereka satu suara menetapkan RUU Perubahan Terhadap UU Nomor 27/2009
tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD. Konsekuensinya, PDIP sebagai partai politik
peraih suara terbanyak dalam pileg 2014 belum pasti menduduki kursi pimpinan
DPR sebagaimana yang sebelumnya lazim dipraktekkan.
Dengan demikian, isu curang yang kini dimainkan oleh kelompok
Prabowo-Hatta gagal menemukan landasan logis dan faktual. Isu ini justru
menyikut kawan seiring, terutama Partai Demokrat, dan lebih khusus lagi
Presiden SBY. Bahwa Presiden tak kompeten mengendalikan laku alat-alat negara
dan wewenang yang ada di genggamannya.
Tafsir itu bukan tanpa alasan. Publik, misalnya, dapat
menjadikan keterlibatan Asisten Staf Khusus Presiden Bidang Otonomi Daerah,
Setiyardi Budiono, menerbitkan tabloid "Obor Rakyat" sebagai
rujukan dugaan ketidakbecusan itu.
Di sisi lain, penyelenggara pilpres adalah KPU yang dipilih
(dari kabupaten/kota hingga pusat) dengan melibatkan DPR yang dikuasai Partai
Demokrat dan koalisinya di Setgab, yang kini menjadi penyokong utama
Prabowo-Hatta. Maka, boleh dikata, dugaan curang capres Prabowo tak lebih dari
rengekan "jagoan" kekar berotot dan merasa pintar bertarung, yang
tak dinyana keok dihajar lawan yang sejak mula cuma dianggap anak bawang.
Selain karena kesadaran dan pilihan politik sebagian besar
rakyat, kemenangan pasangan Jokowi-JK dan koalisi "kurang berdaya"
yang mengusung mereka tak lepas dari kecerdikan menyiasati "the advantages of
disadvantages". Sebaliknya, kekalahan Prabowo-Hatta dan raksasa
Koalisi Merah-Putih tak lain disebabkan oleh abai mewaspadai "the disadvantages of
advantages" ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar