Catatan
Hari Anak Nasional
Natasya Evalyne Sitorus ;
Manajer Advokasi dan
Psikososial Lentera Anak Pelangi
|
KORAN
TEMPO, 24 Juli 2014
Tangis
tak berkesudahan kembali pecah di Palestina pada awal Juli lalu. Serangan
udara Israel memporak-porandakan permukiman sipil di Jalur Gaza. Setidaknya
32 anak tewas dalam sepekan pertama. Hingga kini 76 anak menjadi korban.
Dunia turut menangisi kepergian anak-anak tak berdosa itu. Kabar duka
disiarkan di hampir semua stasiun televisi, dimuat di nyaris semua media
cetak, dan disebarkan melalui media-media sosial.
Di
Indonesia, bendera Palestina dikibarkan dan pita hitam tanda duka diikat di
lengan para pemuda yang berteriak di bawah Patung Selamat Datang, Jakarta.
Kematian anak-anak Palestina itu telah membuat muram peringatan Hari Anak
Nasional, kemarin.
Namun
tangis juga pecah di rumah Alika pada Kamis pekan lalu. Kontrakan kecil di
ujung gang sempit di sebuah jalan di Pisangan, Jakarta Timur, itu menjadi
saksi perjuangan Alika melawan virus HIV, yang akhirnya merenggut nyawanya.
Alika baru saja melewati ulang tahunnya yang ketiga pada Maret lalu. Untuk
Alika, tak satu pun stasiun televisi atau media cetak mengabarkan
kepergiannya. Satu-satunya yang mendokumentasikan kematian Alika hanya
selembar surat kematian dari rumah sakit dan empat bendera kuning sepanjang
jalan menuju rumahnya. Seusai zuhur, satu unit Metro Mini dan Mikrolet yang
mengangkut para kerabat mengantarkan Alika ke peristirahatannya yang
terakhir, TPU Budi Dharma Cilincing, tepat di sebelah makam ayahnya. Tapi
siapakah Alika; siapakah anak-anak Palestina itu-apakah kita mengenalnya?
Faktanya,
banyak orang menjadi sangat responsif atas apa yang terjadi pada anak-anak
nun jauh di negeri Timur Tengah, tapi tak satu pun yang mengikatkan pita
hitam di lengannya atas kematian Alika. Abdul, seorang pemuda yang ikut
melambai-lambaikan bendera Palestina di Bundaran Hotel Indonesia, tinggal tak
jauh dari rumah Alika. Tapi ia tak mengenal Alika. Berita tentang anak yang
meninggal karena HIV di dekat rumahnya hanya didengarnya secara tak sengaja,
saat mampir di puskesmas mengambil obat batuk. Abdul cuma terdiam ketika
menyadari bahwa Alika tinggal dekat dari rumahnya. Adapun untuk 32 anak yang
tewas di Palestina, ia bersikap. "Anak-anak itu tidak berdosa! Serangan
Israel itu harus dikutuk!" kata Abdul kepada penulis.
Alika
bukan satu-satunya anak yang meninggal karena HIV tahun ini di Jakarta. Lentera
Anak Pelangi yang bergiat dalam pendampingan anak-anak dengan HIV dan AIDS di
Jakarta mencatat dua anak dampingannya meninggal pada tahun ini atau menjadi
15 anak sejak 2009. Jumlahnya memang hanya separuh dari anak-anak yang tewas
dalam satu minggu di Palestina. Tapi, 15, 12, 7, bahkan 1 anak pun adalah
anak-anak Indonesia. Bukankah setiap nyawa seharusnya berharga dan layak
diperjuangkan? Lagi pula, masih ada ribuan anak dengan HIV di Indonesia. Yang
sudah tercatat sejumlah 3.408. Mengikuti fenomena gunung es, diperkirakan
jumlah anak pengidap virus perampas kekebalan ini lebih banyak lagi.
Peringatan
Hari Anak Nasional hendaknya mengingatkan kita akan hak setiap anak Indonesia
tanpa kecuali, termasuk anak pengidap HIV. Bukankah tujuan penetapan hari
anak nasional salah satunya adalah untuk selalu mengingatkan kita akan
hak-hak mereka? Dimulai dengan memberikan apa yang seharusnya mereka peroleh
pada peringatan Hari Anak, mereka lalu mendapatkan semua hak dan kebutuhannya
itu sepanjang tahun. Peringatan Hari Anak akhirnya hanya menjadi pengingat.
Tidak
boleh ada diskriminasi terhadap anak-anak pengidap HIV dibanding anak-anak
lainnya. Hak-hak mereka dan kebutuhannya harus dipenuhi. Anak-anak dengan HIV
saat ini sudah memiliki akses terhadap obat antiretroviral (ARV) yang
diperlukan untuk menekan laju perkembangan virus HIV. Dengan obat ini, angka
harapan hidup mereka bisa meningkat. Tapi anak-anak ini tak sekadar
membutuhkan ARV, tapi juga pelayanan kesehatan yang lebih baik di rumah
sakit. Bukan itu saja, mereka masih harus berjuang untuk mendapatkan kasih
sayang, penerimaan, dan dukungan dari keluarga dan masyarakat.
Mereka
harus diterima di lingkungan sekolah tanpa ada diskriminasi. Mereka layak
bermain bersama anak-anak lain di depan rumah. Bahkan mereka seharusnya layak
dicegah untuk terinfeksi HIV dari orang tuanya. Program pencegahan penularan
HIV dari orang tua kepada anak sudah masuk dalam Strategi dan Rencana Aksi
Nasional Penanggulangan HIV dan AIDS 2010-2014. Tapi masih banyak anak yang terlahir
dengan HIV, baik karena kurangnya sosialisasi dan pelayanan yang sulit
dijangkau, ataupun karena kurangnya kesadaran masyarakat, terutama ibu hamil,
dalam mengakses layanan ini.
Membiarkan
anak-anak pengidap HIV kehilangan haknya sebagai anak adalah hal yang tidak
bisa dikompromikan. Tanggung jawab untuk menjamin anak-anak itu memperoleh
haknya bukan hanya ada pada negara, tapi juga pada semua lapisan masyarakat.
Belajarlah dari hidup Alika. "Semasa
hidupnya Alika tidak pernah merasakan enak. Selalu susah, selalu sakit,
bahkan ibunya tak mau mengurusinya. Semoga Alika sudah tenang sekarang,"
ujar neneknya kepada penulis. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar