Paradoks
Kepemimpinan
B
Herry Priyono ; Dosen pada Program
Pascasarjana
Sekolah Tinggi
Filsafat Driyarkara, Jakarta
|
KOMPAS,
01 Juli 2014
MUSIM
gempita membandingkan dua calon presiden dan wakil presiden hampir usai.
Negeri ini akan segera memasuki pucuk waktu. Kita hendak berdiri beberapa
menit di bilik pemungutan suara untuk menerobos momen genting yang akan
memberi nama hari esok Indonesia.
Apa yang
berubah sesudah kedua kubu menjajakan rumusan visi dan misi, program, serta
mematut-matut diri dalam debat di televisi? Tidak banyak, kecuali emosi
politik yang terbelah ke dalam pertarungan abadi antara ”memilih dari
keputusasaan” dan ”memilih bagi harapan”. Setelah berbagai timbangan nalar
dikerahkan, yang tersisa adalah tindakan memilih yang digerakkan dua daya
itu. Mungkin kita bahkan tidak menyadarinya.
Namun,
dengan itu dua kubu juga kian membatu. Masih tersisa beberapa hari bagi kita
untuk menimbang pilihan dengan akal sehat. Barangkali tiga pokok berikut
dapat dipakai untuk menambah aneka kriteria yang telah banyak diajukan.
Nafsu berkuasa
Kekuasaan
dan kepemimpinan terkait integral secara paradoksal. Tidak setiap nafsu
kekuasaan menghasilkan kepemimpinan, tetapi setiap kepemimpinan mensyaratkan
kekuasaan. Seberapa hasrat kekuasaan yang dibutuhkan untuk kepemimpinan
sejati? Di sinilah tersembunyi paradoks penting. Paradoks adalah kondisi atau
pernyataan yang terdengar bertentangan atau tak masuk akal, tetapi
sesungguhnya menyimpan kebenaran lebih utuh.
Orang
yang sangat haus kekuasaan tidak pernah menjadi pemimpin baik. Sebaliknya,
orang yang ditandai keengganan dan kesangsian yang sehat terhadap kekuasaan
biasanya jauh lebih sanggup menjadi pemimpin baik. Sebabnya sederhana. Hanya
sosok yang dapat merelatifkan atau membuat jarak dari kekuasaan yang sanggup
menghidupi tugas agung bahwa kursi kekuasaan tidak identik dengan dirinya,
tetapi sarana perwujudan mandat.
Ambillah
analogi sederhana. Orang yang sedemikian haus uang tak lagi melihatnya
sebagai sarana. Siang dan malam ia kesurupan memeluk uangnya dengan cara apa
saja. Begitu pula orang yang punya nafsu menggelegak pada takhta. Ia lebih
bernafsu menjadi penguasa, bukan pemimpin. Dari proses ini pula kediktatoran
dan tirani dilahirkan. Namun, bagaimana benih tirani itu berkembang biak?
Pada
mulanya adalah harapan. Dan, harapan itu amat cemerlang, sama seperti euforia
Reformasi 1998. Setelah pergantian tiga rezim yang singkat, kita menaruh
harapan pada rezim yang terpilih tahun 2004. Kita mengira dalam periode
pertama rezim itu akan memimpin kita menata porak poranda Indonesia, lalu
mengakhiri periode kedua yang mulai tahun 2009 dengan beberapa tonggak
pemberadaban. Sampai di mana harapan itu?
Satu-dua
tonggak bisa disebut dan kegemaran akan citra juga berkibar sebagai idiom
baru politik. Namun, bukan rahasia lagi rezim ini gagal menjaga jantung
kultural Indonesia, yaitu kebinekaan. Terutama lantaran impotensinya mencegah
kelompok-kelompok tribal berkeliaran makin ganas dan meremuk siapa saja yang
tidak sejalan dengan tafsir agama mereka. Bahkan, polisi yang punya mandat
konstitusional monopoli kekerasan lebih sibuk dengan slogan ketimbang
kelugasan.
Dalam
arti itulah sakit jiwa kolektif diperanakkan lewat cara rezim ini memerintah.
Maka, para korban semakin mencari-cari sosok pelindung, sedangkan kaum tribal
agama mencari sosok pemaksa. Orang yang bernafsu kekuasaan meledak-ledak
untuk menjadi presiden Indonesia beroperasi melalui patologi kolektif ini.
Dalam keterjalinan berbagai arus inilah arti ’tegas’ lalu tidak dibedakan
dengan ’tangan besi’ dan ’bengis’.
Maka,
silakan cermati kedua capres dan cawapres. Mana sosok yang ditandai nafsu
menggelegak akan kekuasan? Saya berani bertaruh, sosok dengan nafsu kekuasaan
yang meledak-ledak tidak akan menjadi pemimpin baik bagi Indonesia.
Seandainya maju jadi calon presiden, sosok seperti ini akan mengerahkan
puluhan triliun rupiah untuk membeli suara, memakai preman dan operasi-hitam
untuk mengancam pemilih, memalsu surat dan kotak suara, serta menggunakan
kekerasan dan cara apa saja bagi pemenangan.
Ringkasnya,
sosok ini membuat dirinya sama-dan-sebangun dengan kekuasaan. Dan, caranya
berkuasa digerakkan terutama oleh busungan rasa megalomania.
Perkara kecil
Masalah
dengan sosok megalomania bukan hanya karena bermulut besar, tetapi karena
orang seperti itu tidak sanggup setia pada urusan kecil dan tugas
kepemimpinan yang menuntut kesetiaan mengemban tugas dalam rutinitas; tanpa
panggung dan media, tanpa publisitas dan tepuk tangan. Apa yang dilakukan dan
semua orang lain hanyalah alat: ia memakai rakyat untuk kekuasaan, bukan
memakai kekuasaan untuk rakyat.
Itulah
mengapa orang seperti ini bisa saja menjadi penguasa, tetapi bukan pemimpin.
Padahal, memilih presiden Indonesia bukan memilih penguasa atau selebritas,
tetapi seorang pemimpin. Tentu saja pemimpin perlu berpikir besar, tetapi
bukan sebagai megalomania. Di sinilah tersembunyi paradoks lain. Seorang
pemimpin besar hanya dapat kita temukan dengan mengenali bukti kesetiaannya
pada perkara dan tugas lebih kecil yang pernah diemban.
Sebabnya
juga sederhana: hanya dia yang telah teruji dan terbukti setia pada perkara
kecil yang akan sanggup setia dalam perkara besar. Hanya orang yang teruji
dan terbukti setia pada tugas lebih kecil dalam lingkup lebih kecil yang akan
sanggup setia pada tugas yang berskala lebih besar. Apakah itu niscaya? Tak
ada yang niscaya dalam dunia manusia, kecuali kematian.
Namun,
bolehlah kita pakai kewarasan sederhana. Apakah Anda akan mempercayakan
kepemimpinan Indonesia pada sosok yang terbukti tidak setia dalam tugas pada
lingkup lebih kecil? Ataukah kepada sosok yang telah terbukti setia pada
tugas pemerintahan dalam skala lebih kecil? Segala dalil probabilitas
menunjuk pada kewarasan pilihan kedua. Dengan segala hormat, sikap keras
kepala memercayakan tongkat kepemimpinan Indonesia pada sosok yang terbukti
tidak setia dalam tugas kepemimpinan lingkup lebih kecil adalah pilihan
membabi buta.
Lingkup
lebih kecil itu bisa saja kepemimpinan suatu kotamadya atau provinsi. Itu
sudah cukup sebagai lingkup ujian sejauh mana calon presiden terbukti setia
dalam tugas dan perkara kecil. Boleh saja orang berteriak menggelegar bahwa
ia akan melakukan ini dan itu yang serba kolosal untuk Indonesia. Namun, itu
kata-kata dan slogan yang mudah dipesan dan cepat dilatihkan. Jarak antara
slogan dan kepemimpinan sejati terletak jurang teramat dalam yang tidak
terjembatani apa pun, kecuali oleh bukti kesetiaan dalam perkara dan tugas
kepemimpinan pada skala lebih kecil yang pernah diemban.
Sekali
lagi, ia yang setia dalam perkara kecil juga akan sanggup setia dalam perkara
besar; orang yang telah setia dalam kepemimpinan pemerintahan suatu kota juga
akan setia dalam kepemimpinan sebuah negara. Sebaliknya, ia yang tidak setia
dalam perkara kecil juga tidak akan sanggup setia dalam perkara sebesar
negara.
Ringkasnya,
sosok yang terbukti tidak setia dalam perkara dan tugas berskala lebih kecil
bukanlah orang yang layak dipilih memimpin Indonesia.
Habitus kepemimpinan
Pokok di
atas sentral bagi kewarasan pilihan. Mengapa orang yang terbukti setia dalam
hal kecil jauh lebih sanggup setia dalam perkara besar? Di sinilah tersimpan
pokok kunci lain yang dalam dunia pemikiran dipelajari melalui bidang ”teori
tindakan”.
Intinya,
orang boleh membual tentang kehebatan kalkulasi nalar. Namun, penelitian demi
penelitian kian membuktikan bahwa dalam sebagian besar tindakan, manusia
lebih digerakkan oleh kebiasaan. Jika memakai kata yang agak keren, istilah
habitus paling dekat mengungkapkan maksudnya.
Habitus
perilaku manusia tidak mudah berubah, apalagi pada orang yang semakin menua.
Tentu, kepemimpinan membutuhkan daya penalaran dan kalkulasi tinggi. Namun,
jauh lebih menentukan adalah ciri habitusnya dalam memimpin, juga apabila
bukti habitus kepemimpinan itu terjadi pada skala pemerintahan lebih kecil.
Maka,
kita dapat lugas menimbang: sosok mana yang telah terbukti punya habitus
kepemimpinan baik? Habitus kepemimpinan baik adalah kebiasaan perilaku
memimpin yang secara instingtif tertuju pada kemaslahatan orang biasa dan
kebaikan-bersama, ciri tegas dialogis, cemburu merawat kebinekaan, merawat
lingkungan hidup, tidak korup, tidak meremuk hak asasi, tidak militeristik
dan memakai kekerasan sebagai solusi instan, dan sebagainya. Sebaliknya
adalah habitus memerintah yang buruk.
Bukankah
itu nirvana? Ya, tetapi itulah cita-cita Indonesia. Itulah kisah harapan
kita, yang jerih payahnya hanya sanggup dirawat oleh pemimpin yang telah
terbukti setia dalam tugas lebih sederhana, bukan sosok penuh megalomania.
Jerih payah menghidupi kisah harapan itu tidak mungkin mekar kembali tanpa
ciri-cirinya juga kita tanam dan lekatkan erat-erat pada ciri habitus sosok
calon pemimpin.
Sebagaimana
kita tidak akan mempercayakan benih yang bagus pada tanah yang gersang,
begitu pula amat fatal jika kita memercayakan cita-cita luhur Indonesia
kepada orang yang justru berkebalikan dengan keluhuran habitus kepemimpinan.
Cara menanam jalan harapan itu adalah memilih sosok yang telah lebih terbukti
punya keluhuran habitus kepemimpinan. Seperti telah disebut, cukuplah habitus
kepemimpinan pemerintahan itu terbukti pada lingkup dan skala lebih kecil.
Maka,
kita berdiri di pucuk waktu ketika pilihan kita akan memberi nama hari esok
Indonesia. Setelah digulung riuh rendah kampanye, mungkin kita semakin
gundah. Pilihan waras bagi jalan harapan dapat didasarkan pada tiga kriteria
sederhana, yang hemat saya tidak lekang digerus kebingungan.
Pertama,
sosok yang bernafsu kekuasaan meledak-ledak tidak akan punya keluhuran
memimpin Indonesia. Kedua, hanya sosok yang telah teruji dan terbukti setia
memimpin pemerintahan pada skala lebih kecil juga akan setia memimpin suatu
negara. Ketiga, hanya sosok yang telah teruji dan terbukti punya habitus
luhur kepemimpinan atas lingkup lebih kecil juga sanggup mengemban mandat
kepresidenan dengan habitus kepemimpinan luhur yang sama.
Itulah
dasar memilih bagi jalan harapan. Dalam dunia manusia, masa depan bukan hasil
ramalan, melainkan kemungkinan untuk dibentuk. Itulah mengapa di pucuk waktu
nanti kita mesti membentuk hari esok Indonesia bukan dengan memilih mesin
ketakutan masa lalu, melainkan dengan memilih harapan baru. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar