Krisis
2008 : Fiksi Ilmiah atau Fakta?
Denni P Purbasari ;
Dosen Fakultas Ekonomika
dan Bisnis
Universitas
Gadjah Mada Komentar
|
KOMPAS,
24 Juli 2014
RABU,
16 Juli lalu, hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi memutus mantan Deputi
Gubernur Bank Indonesia Budi Mulya bersalah dalam kasus pemberian dana
talangan kepada Bank Century. Yang menjadi salah satu pertimbangan majelis
hakim adalah krisis—yang merupakan kondisi yang menjadi dasar Bank Indonesia
menggelontorkan fasilitas pendanaan jangka pendek (FPJP) dan memberikan
rekomendasi pemberian talangan kepada Bank Century—tidak terjadi di
Indonesia.
Dari krisis keuangan ke krisis ekonomi
Literatur
ekonomi makro internasional membedakan jenis-jenis krisis. Secara umum krisis
dibagi menjadi dua: krisis ekonomi dan krisis keuangan. Krisis ekonomi
biasanya ditandai dengan turunnya PDB dan meningkatnya pengangguran. Intinya,
ada pemburukan pada variabel-variabel ekonomi makro riil. Sementara krisis
keuangan dibagi lagi menurut sumbernya: krisis mata uang, krisis perbankan,
krisis utang, dan krisis neraca pembayaran. Seperti dilihat dari namanya,
semuanya melibatkan variabel-variabel moneter.
Bagi
masyarakat awam, semua jenis krisis keuangan ini diberi label krisis ekonomi.
Ini dapat dimaklumi karena semuanya adalah bagian dari dunia ekonomi. Namun,
ekonom makro di bidang keuangan internasional lebih berhati-hati dalam
menamai krisis. Mereka akan melihat apakah indikator yang mengalami tekanan
tajam terjadi di pasar keuangan saja atau sudah merambah ke pasar output dan
pasar tenaga kerja, sektor riil.
Meski
berbeda, antara krisis keuangan dan krisis ekonomi tidak independen. Krisis
keuangan dapat menyebabkan krisis ekonomi apabila krisis keuangan tidak
segera ditangani dengan baik. Episode krisis—dari krisis keuangan ke krisis
ekonomi—telah didokumentasikan oleh Reinhart dan Rogoff dalam beberapa
tulisan mereka di American Economic
Review dan di buku mereka, This
Time is Different: Eight Centuries of Financial Folly (Princeton University Press, 2011).
Mereka
mencatat krisis keuangan yang pernah terjadi di dunia rata-rata mengakibatkan
harga riil perumahan turun sebesar 35 persen selama enam tahun, pengangguran
naik 7 poin persentase selama empat tahun, PDB turun 9 persen selama dua
tahun, dan stok utang riil pemerintah naik 86 persen selama krisis keuangan
terjadi.
Dalam
catatan mereka, krisis yang terjadi di Indonesia pada 1998 termasuk krisis
keuangan dengan dampak yang paling parah, diukur dari kedalaman ataupun
durasinya, yang pernah ada di dunia.
Kuncinya di data
Untuk
mengidentifikasi terjadinya krisis keuangan, kita harus melihat data
keuangan. Karakter dari transaksi sektor keuangan adalah transaksinya cepat
dan bersifat global, frekuensi perdagangannya tinggi, 24 jam sehari-7 hari
dalam seminggu, serta produknya berupa saham, obligasi, valuta asing, reksa
dana, asuransi, tabungan, kredit, derivatif, dan lain sebagainya.
Jadi,
keliru apabila kita melihat krisis keuangan dengan melihat aktivitas di Pasar
Tanah Abang, di pabrik-pabrik, atau dengan melihat angka-angka pertumbuhan
ekonomi, investasi, pengangguran, atau ekspor.
Data
pertumbuhan ekonomi, investasi, pengangguran, atau ekspor adalah data yang
mengukur kinerja ekonomi makroriil—bukan sektor keuangan. Data ini bukanlah
high-frequency data atau data yang tersaji dalam frekuensi cepat seperti
harian, bahkan jam demi jam.
Data
PDB, misalnya, hanya tersedia per kuartal. Data pengangguran malah hanya
tersedia per setengah tahunan—itu pun dengan jeda beberapa bulan dari periode
yang dilaporkan. Data seperti ini tentu saja tidak mampu menangkap sinyal
krisis di sektor finansial, apalagi menangkap tekanan pada hari-hari
menjelang dan setelah 15 September 2008 pada saat Lehman Brothers bangkrut.
Padahal,
berkat kemajuan teknologi komputasi dan informasi, transaksi keuangan dapat
dimonitor dari hari ke hari, bahkan dari menit ke menit. Data yang tersedia
dari Bloomberg, CEIC, atau publikasi BI menunjukkan bahwa pada 2008 memang terjadi
krisis keuangan di Indonesia. Sebagai gambaran, spread premi asuransi
obligasi pemerintah naik tajam dari 260 basis poin pada 1 September 2008
menjadi 803 basis poin pada pertengahan November 2008. Kurs rupiah terhadap
dollar AS anjlok dari Rp 9.163 per dollar AS pada 1 September 2008 ke Rp
11.913 atau melemah 30 persen dalam dua setengah bulan.
Indeks
Harga Saham Gabungan di Bursa Efek Indonesia juga turun dari 2.731 pada awal
2008 ke 1.100-an pada pertengahan November 2008. Ini berarti secara rata-rata
harga saham anjlok 60 persen dari nilai awal tahunnya. Cadangan devisa pun
anjlok 10 miliar dollar AS hanya dalam waktu dua bulan akibat konversi rupiah
ke valuta asing dan keluarnya modal dari Indonesia. Kecepatan dan kedalaman
jatuhnya harga-harga aset inilah yang membedakan situasi krisis keuangan
dengan situasi normal.
Selain
dari variabel-variabel tersebut, masih banyak lagi indikator lain yang dapat
menjadi bukti terjadinya krisis keuangan di Indonesia, seperti suku bunga
pasar uang antarbank, arus modal keluar, rasio kecukupan modal, dan dana
pihak ketiga di setiap bank. Dari data ini dapat disusun banking pressure index, exchange market pressure index, dan
indeks-indeks yang mengukur tekanan pasar finansial lainnya.
BI
sebagai otoritas yang mengamati pergerakan lalu lintas devisa dan mengawasi
perbankan tentu memiliki data yang lebih detail dibandingkan dengan pelaku
lain. Semua
data ini bisa menunjukkan bahwa krisis keuangan 2008 itu bukanlah sekadar
fiksi ilmiah para ekonom, tetapi itu fakta.
BI bersama dengan
Kementerian Keuangan dan Lembaga Penjamin Simpanan telah berhasil meredam
krisis keuangan tersebut sehingga tidak meluas hingga menjadi sebuah krisis
ekonomi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar