Kartel
Oligarki
Ferdy Hasiman ;
Peneliti pada Indonesia
Today, Jakarta
|
KOMPAS,
23 Juli 2014
BUMI Nusantara memiliki sumber daya alam
berlimpah. Namun, rakyat masih miskin dan sektor pertambangan menjadi ajang
korupsi. Secara ekonomi, kita masih dijajah korporasi asing. Maka, kedaulatan
ekonomi harus direbut.
Tak dapat dibantah, korporasi asing sudah
mengeruk untung dari SDA kita. Freeport Indonesia yang beroperasi di
Grasbeg-Papua adalah contohnya. Grasberg termasuk tambang paling profitable di dunia.
Cadangan tembaga 32,7 miliar pound dan emas
33,7 juta ons. Tahun 2010, Freeport memproduksi 230.000 ton ore milled per
hari dan membukukan pendapatan sebesar 6,72 miliar dollar AS (Freeport McMoRan, 2010).
Kekayaan melimpah itu kontras dengan
kehidupan rakyat Papua. Angka kemiskinan mencapai 36,08 persen. Freeport juga
menorehkan berbagai pelanggaran hak asasi manusia (HAM) di Papua.
Aparat militer dikerahkan untuk mengamankan
operasi tambang dan rakyat menjadi korban. Freeport menjadi perkasa justru
karena negara sudah menjadi centeng.
Freeport bersedia mendivestasikan 30 persen
saham ke pihak nasional. Ini perlu perhatian serius seluruh rakyat karena
banyak pengusaha lokal yang menginginkan saham Freeport. Pengusaha lokal
berjabat erat dengan pejabat publik pusat-daerah dan politisi untuk merampas
aset pertambangan.
Pertarungan merebut saham Newmont adalah
contohnya. Pada divestasi pertama, 24 persen saham Newmont dimenangi PT Multi
Daerah Bersaing (konsorsium Grup Bakrie dan pemerintah daerah).
Jika saja divestasi 7 persen saham (tahap
kedua) Newmont diserahkan ke pemda, bukan tak mungkin jatuh ke pengusaha
lokal. Upaya Kementerian Keuangan mengambil alih 7 persen saham Newmont akan
mendapat tantangan DPR.
Di tangan pengusaha lokal, pertambangan
gagal mengangkat kesejahteraan rakyat. Tahun 2010, Pemerintah Kabupaten
Sumbawa Barat hanya mendapat dividen Rp 100 miliar dari perusahaan patungan
PT Multi Daerah Bersaing (MDB).
Sementara induk usaha MBD, PT Bumi
Resources Tbk, mendapat dividen Rp 820 miliar meskipun porsi saham hampir
seimbang.
Kebangkitan
lokal
Reformasi 1998 dan otonomi daerah adalah
tahap penting kebangkitan pengusaha lokal. Gerakan reformasi diikuti
kebijakan yang didesain melindungi usaha berskala kecil-menengah.
Di sektor pertambangan ada izin usaha
pertambangan (IUP) dengan maksimal luas lahan 25.000 hektar. Kebijakan ini
memberi kesempatan kepada usaha pertambangan skala kecil-menengah vis-a vis kontrak karya dan PKP2B.
Namun, 14 tahun pasca reformasi, tata kelola pertambangan amburadul.
Royalti IUP lebih kecil dibandingkan dengan
royalti PKP2B. Royalti IUP hanya dipatok 3,5-7 persen, sedangkan PKP2B 13,5
persen. Padahal, tahun 2012 total produksi IUP mencapai 150 juta ton. Jika
royalti diharmoniskan, potensi royalti IUP mencapai 1,5 miliar dollar AS.
Produsen-produsen batubara, baik IUP maupun
PKP2B, wajib memasok batubara ke PLN agar memenuhi permintaan listrik
domestik. Sayangnya, mereka lebih suka ekspor agar mendapat untung besar.
Kementerian ESDM pun tak tegas karena tersandera kepentingan elite koalisi
dalam pemerintahan.
Maka, menjelang pilpres pengusaha lokal
aktif melobi partai koalisi. Inilah yang disebut kartel-oligarki. Artinya,
segerombolan pengusaha lokal dan elite-elite politik yang berkerumun membajak
proses politik dan membonceng pilpres untuk merampas SDA.
Pemerintah pun cenderung melunak kepada
Freeport dan Newmont yang enggan membangun smelter.
Bahkan, untuk meminimalkan biaya
pengeluaran dan menjaga kemampuan perusahaan, sekitar 80 persen dari 4.000
karyawan Newmont akan ditempatkan dalam status stand-by dengan pemotongan
gaji. Jika pemerintah tak tegas, perampasan SDA (resources grabbing) tak terbendung.
Industri pertambangan menjadi ajang
pemburuan rente (rent seeking)
pebisnis, pemerintah, dan politisi. Hanya, mereka kerap berdalih atas nama
pembangunan. Padahal, yang nyata terjadi bukanlah pembangunan, melainkan
penjarahan SDA.
Hasrat akumulasi memicu perusahaan korupsi.
Akibatnya, penerimaan negara menurun. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK),
misalnya, menemukan negara rugi Rp 12 triliun dari sektor pertambangan
batubara dan mineral sepanjang 2010-2012.
Investasi pertambangan kemudian hanya
melanggengkan formasi kelas, yaitu kelas borjuasi (pebisnis yang dilayani
pejabat negara) dan rakyat yang dimiskinkan dan terekslusi karena lahan
pertanian dicaplok untuk pertambangan. Borjuasi menguasai sumber daya
kolektif, memonopoli investasi.
Kedaulatan
ekonomi
Tugas pemimpin baru adalah merenegosiasi
kontrak perusahaan tambang asing-lokal yang telah merugikan negara.
Renegosiasi harus terkait isu substansial, seperti penciutan luas lahan
menjadi 25.000 hektar (Baca: UU No 4/2009 tentang Mineral dan Pertambangan).
Itu penting agar mengembalikan hak ulayat masyarakat adat.
Perintahkan perusahaan batubara memenuhi
domestic market obligation ke PLN agar program peningkatan kapasitas listrik
tercapai. Pemimpin baru juga harus konsisten mewajibkan perusahaan tambang
asing-lokal membangun smelter agar terjadi multiplier effect dalam
pembangunan.
Tugas berikutnya adalah menaikkan royalti
dan menagih pajak seluruh perusahaan tambang. Reformasi birokrasi dan
reformasi hukum adalah syarat mutlak agar perusahaan tertib membayar pajak
untuk membiayai pembangunan dan mengurangi beban utang.
Tertibkan kepala daerah yang serampangan
mengeluarkan izin konsesi dan batasi kepemilikan perusahaan tambang.
Tambang asing yang mendivestasikan saham
perlu dikelola perusahaan milik BUMN dan mendapat pendanaan dari bank BUMN.
Indonesia harus bebas dari penjajahan ekonomi, baik asing maupun lokal. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar