Politik
Minus Ideologi
Mohammad Novrizal Bahar ;
Dosen Tetap Bidang Studi
Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia; Kandidat PhD
Universitas Utrecht, Belanda
|
KOMPAS,
22 Juli 2014
PEMILU nasional 2014 telah berlangsung relatif aman dan lancar,
tetapi, sayangnya, masih mempertontonkan politik minus ideologi. Sejak
dimulainya pemilihan presiden dan wakil presiden secara langsung, yang
dimungkinkan untuk diusung gabungan parpol, urgensi identitas ideologi dalam
praktik politik di Indonesia telah terpinggirkan oleh kepentingan pragmatis
kontestasi elektoral dan hasrat menduduki kursi kekuasaan. Hampir tak ada
parpol yang berlaga dalam Pemilu 2014 yang eksplisit menampilkan diri sebagai
partai ideologis. Hal ini bahkan merambah hingga ke pemilihan kepala daerah
dan wakil kepala daerah.
Parpol adalah salah satu instrumen penting dalam praktik
demokrasi. Ia wadah bagi kelompok masyarakat untuk menyalurkan aspirasi, yang
semestinya didasarkan filosofi yang dirumuskan dalam bentuk ideologi tertentu
yang dipahami dan dimaknai sebagai nilai-nilai yang baik oleh kelompok
masyarakat.
Dalam sejarah berdirinya negara Indonesia, sebelum berkuasanya
rezim Orde Baru, kita telah mempraktikkan demokrasi dengan menyelenggarakan
pemilu yang diikuti banyak parpol yang mengusung ideologi berbeda-beda. Ada
yang bulat-bulat diambil dari negeri asalnya, yaitu apa yang disebut sebagai
ideologi beraliran kanan dan kiri. Umumnya partai kiri diasosiasikan sebagai
partai yang lebih berpihak kepada kepentingan rakyat jelata, sedangkan partai
kanan lebih condong kepada kepentingan
para bangsawan dan kalangan atas.
Ada pula yang mengadopsi variasi bentuk kuasi di antara keduanya
dengan menyatakan diri kanan tengah ataupun kiri tengah, tergantung lebih
berat ke mana fokusnya. Bahkan, ada parpol yang menganut pengembangan secara
lebih ekstrem ideologi-ideologi itu, seperti liberalisme dan komunisme.
Dalam perkembangan politik di dunia, ada yang mendirikan partai
politik tak hanya berdasarkan ideologi, tetapi ditambah dengan perjuangan
demi kepentingan yang fokus pada isu tertentu, seperti yang kita kenal di
Inggris dengan nama Partai Konservatif dan Partai Buruh, Partai Demokrat dan
Partai Republik di Amerika Serikat,
atau Partai Lingkungan di banyak negara Eropa. Di Indonesia ideologi parpol
ini masih ditambah lagi dengan variasi lainnya—Islam dan nasionalis—yang
hingga kini merupakan ideologi yang masih bercokol dalam politik di sini.
Pilihan cara
Pendirian parpol dalam sejarahnya selalu didasarkan ideologi dan
kepentingan yang berfokus pada isu tertentu yang hendak diperjuangkan
kelompok masyarakat. Ideologi parpol dapat juga ditafsirkan sebagai pilihan
cara yang ditempuh untuk menciptakan kondisi negara yang ideal dengan tujuan
menciptakan masyarakat aman, sejahtera, dan bahagia. Tujuan akhir semua
parpol sebenarnya ke arah sana, tetapi pilihan jalannya bisa beragam.
Dalam praktik politik Indonesia kontemporer, ideologi kepartaian
cenderung melebur menjadi satu. Ini gejala khas Indonesia yang mungkin tak
banyak ditemukan di negara demokrasi lain. Akibatnya sekarang sulit bagi
publik membedakan mana sebenarnya partai berideologi Islam dan mana partai
berideologi nasionalis walaupun mungkin dalam anggaran dasar masing-masing
disebutkan ideologi yang dianut. Kekaburan identitas ideologis partai ini
dalam batas tertentu merupakan residu dari dampak penerapan asas tunggal
Pancasila yang dulu dipaksakan rezim Orde Baru.
Padahal, sejatinya ini adalah dua spesies yang berbeda. Ideologi
parpol seharusnya hanya terkait dengan pilihan cara, sementara Pancasila
lebih merupakan falsafah hidup bersama yang dianut seluruh rakyat sebagai
satu bangsa.
Apabila semua partai dipaksakan harus menggunakan ideologi yang
sama tanpa kebebasan menentukan pilihan cara, sebenarnya pendirian parpol
menjadi kehilangan makna. Inilah salah satu dosa sejarah terbesar dari
kebijakan politik rezim Orde Baru yang masih membebani generasi sekarang.
Alih-alih memperjuangkan ideologi tunggal demi persatuan bangsa, yang terjadi
justru sebaliknya. Absennya ideologi untuk diperjuangkan hanya membuat
politik yang seharusnya bertujuan mulia menjadi arena dagang sapi,
transaksional. Ini terbukti telah menyuburkan praktik korupsi, kolusi, dan
nepotisme satu dasawarsa terakhir.
Kebingungan
Dalam membentuk kelompok dukungan atau yang sering disebut
koalisi, partai-partai politik di Indonesia saat ini juga tidak mementingkan
persamaan ideologi yang dianut atau perjuangan kepentingan bersama dengan
fokus tertentu. Sebagai contoh, Partai Demokrat, yang merupakan partai yang
menguasai parlemen dan pemerintahan saat ini, adalah partai berideologi
nasionalis. Namun, faktanya, sebagian besar pendukungnya adalah partai-partai
berideologi Islam.
Gejala mutakhir seperti ini dalam perpolitikan di Tanah Air
dapat kita saksikan kasatmata pada pemilu presiden dan wakil presiden tahun
ini. Beberapa parpol tampak kebingungan dalam mengusung capres karena niatnya
yang cenderung melakukan praktik politik transaksional, bukan
mempertimbangkan landasan ideologi. Parpol nasional bisa saja menyatakan bahwa model pengelompokan yang
mereka lakukan adalah sesuatu yang sah, dengan argumen bahwa yang penting
adalah ikut berperan dalam proses pembangunan. Alasan ini sepintas tampak
meyakinkan. Namun, sejarah telah membuktikan, dalam implementasinya yang
mereka lakukan sering kali tak sebagus yang diucapkan.
Di tengah cairnya ideologi parpol sekarang ini, publik tentu
akan mengapresiasi jika pembentukan kabinet oleh presiden baru nanti tak
berdasarkan politik transaksional, tetapi menjunjung asas profesionalisme dan
meritokrasi. Namun, itu belum cukup menyuburkan kehidupan demokrasi dalam
arti sebenarnya. Menyeragamkan ideologi kepartaian berarti mengingkari keragaman
masyarakat yang merupakan fakta tak termungkiri. Untuk masa akan datang,
sudah saatnya kita mulai serius berpikir mengembalikan hakikat tujuan
pembentukan parpol sebagai alat memperjuangkan pemikiran dan keinginan
beragam, yang hidup di tengah-tengah masyarakat.
Dengan begitu, praktik politik minus ideologi yang menjurus
hanya kepada bagi-bagi kekuasaan secara transaksional tidak lagi terjadi pada
masa depan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar