Rabu, 23 Juli 2014

Politik Minus Ideologi

                                              Politik Minus Ideologi

Mohammad Novrizal Bahar  ;   Dosen Tetap Bidang Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia; Kandidat PhD Universitas Utrecht, Belanda
KOMPAS,  22 Juli 2014
                                                            


PEMILU nasional 2014 telah berlangsung relatif aman dan lancar, tetapi, sayangnya, masih mempertontonkan politik minus ideologi. Sejak dimulainya pemilihan presiden dan wakil presiden secara langsung, yang dimungkinkan untuk diusung gabungan parpol, urgensi identitas ideologi dalam praktik politik di Indonesia telah terpinggirkan oleh kepentingan pragmatis kontestasi elektoral dan hasrat menduduki kursi kekuasaan. Hampir tak ada parpol yang berlaga dalam Pemilu 2014 yang eksplisit menampilkan diri sebagai partai ideologis. Hal ini bahkan merambah hingga ke pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah.

Parpol adalah salah satu instrumen penting dalam praktik demokrasi. Ia wadah bagi kelompok masyarakat untuk menyalurkan aspirasi, yang semestinya didasarkan filosofi yang dirumuskan dalam bentuk ideologi tertentu yang dipahami dan dimaknai sebagai nilai-nilai yang baik oleh kelompok masyarakat.

Dalam sejarah berdirinya negara Indonesia, sebelum berkuasanya rezim Orde Baru, kita telah mempraktikkan demokrasi dengan menyelenggarakan pemilu yang diikuti banyak parpol yang mengusung ideologi berbeda-beda. Ada yang bulat-bulat diambil dari negeri asalnya, yaitu apa yang disebut sebagai ideologi beraliran kanan dan kiri. Umumnya partai kiri diasosiasikan sebagai partai yang lebih berpihak kepada kepentingan rakyat jelata, sedangkan partai kanan lebih condong kepada  kepentingan para bangsawan dan kalangan atas.

Ada pula yang mengadopsi variasi bentuk kuasi di antara keduanya dengan menyatakan diri kanan tengah ataupun kiri tengah, tergantung lebih berat ke mana fokusnya. Bahkan, ada parpol yang menganut pengembangan secara lebih ekstrem ideologi-ideologi itu, seperti liberalisme dan komunisme.

Dalam perkembangan politik di dunia, ada yang mendirikan partai politik tak hanya berdasarkan ideologi, tetapi ditambah dengan perjuangan demi kepentingan yang fokus pada isu tertentu, seperti yang kita kenal di Inggris dengan nama Partai Konservatif dan Partai Buruh, Partai Demokrat dan Partai Republik  di Amerika Serikat, atau Partai Lingkungan di banyak negara Eropa. Di Indonesia ideologi parpol ini masih ditambah lagi dengan variasi lainnya—Islam dan nasionalis—yang hingga kini merupakan ideologi yang masih bercokol dalam politik di sini.

Pilihan cara

Pendirian parpol dalam sejarahnya selalu didasarkan ideologi dan kepentingan yang berfokus pada isu tertentu yang hendak diperjuangkan kelompok masyarakat. Ideologi parpol dapat juga ditafsirkan sebagai pilihan cara yang ditempuh untuk menciptakan kondisi negara yang ideal dengan tujuan menciptakan masyarakat aman, sejahtera, dan bahagia. Tujuan akhir semua parpol sebenarnya ke arah sana, tetapi pilihan jalannya bisa beragam.

Dalam praktik politik Indonesia kontemporer, ideologi kepartaian cenderung melebur menjadi satu. Ini gejala khas Indonesia yang mungkin tak banyak ditemukan di negara demokrasi lain. Akibatnya sekarang sulit bagi publik membedakan mana sebenarnya partai berideologi Islam dan mana partai berideologi nasionalis walaupun mungkin dalam anggaran dasar masing-masing disebutkan ideologi yang dianut. Kekaburan identitas ideologis partai ini dalam batas tertentu merupakan residu dari dampak penerapan asas tunggal Pancasila yang dulu dipaksakan rezim Orde Baru.

Padahal, sejatinya ini adalah dua spesies yang berbeda. Ideologi parpol seharusnya hanya terkait dengan pilihan cara, sementara Pancasila lebih merupakan falsafah hidup bersama yang dianut seluruh rakyat sebagai satu bangsa.

Apabila semua partai dipaksakan harus menggunakan ideologi yang sama tanpa kebebasan menentukan pilihan cara, sebenarnya pendirian parpol menjadi kehilangan makna. Inilah salah satu dosa sejarah terbesar dari kebijakan politik rezim Orde Baru yang masih membebani generasi sekarang. Alih-alih memperjuangkan ideologi tunggal demi persatuan bangsa, yang terjadi justru sebaliknya. Absennya ideologi untuk diperjuangkan hanya membuat politik yang seharusnya bertujuan mulia menjadi arena dagang sapi, transaksional. Ini terbukti telah menyuburkan praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme satu dasawarsa terakhir.

Kebingungan

Dalam membentuk kelompok dukungan atau yang sering disebut koalisi, partai-partai politik di Indonesia saat ini juga tidak mementingkan persamaan ideologi yang dianut atau perjuangan kepentingan bersama dengan fokus tertentu. Sebagai contoh, Partai Demokrat, yang merupakan partai yang menguasai parlemen dan pemerintahan saat ini, adalah partai berideologi nasionalis. Namun, faktanya, sebagian besar pendukungnya adalah partai-partai berideologi Islam.

Gejala mutakhir seperti ini dalam perpolitikan di Tanah Air dapat kita saksikan kasatmata pada pemilu presiden dan wakil presiden tahun ini. Beberapa parpol tampak kebingungan dalam mengusung capres karena niatnya yang cenderung melakukan praktik politik transaksional, bukan mempertimbangkan landasan ideologi. Parpol nasional bisa saja  menyatakan bahwa model pengelompokan yang mereka lakukan adalah sesuatu yang sah, dengan argumen bahwa yang penting adalah ikut berperan dalam proses pembangunan. Alasan ini sepintas tampak meyakinkan. Namun, sejarah telah membuktikan, dalam implementasinya yang mereka lakukan sering kali tak sebagus yang diucapkan.

Di tengah cairnya ideologi parpol sekarang ini, publik tentu akan mengapresiasi jika pembentukan kabinet oleh presiden baru nanti tak berdasarkan politik transaksional, tetapi menjunjung asas profesionalisme dan meritokrasi. Namun, itu belum cukup menyuburkan kehidupan demokrasi dalam arti sebenarnya. Menyeragamkan ideologi kepartaian berarti mengingkari keragaman masyarakat yang merupakan fakta tak termungkiri. Untuk masa akan datang, sudah saatnya kita mulai serius berpikir mengembalikan hakikat tujuan pembentukan parpol sebagai alat memperjuangkan pemikiran dan keinginan beragam, yang hidup di tengah-tengah masyarakat.

Dengan begitu, praktik politik minus ideologi yang menjurus hanya kepada bagi-bagi kekuasaan secara transaksional tidak lagi terjadi pada masa depan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar