Mudik
dengan Kendaraan Dinas
Hariyadi ;
Staf Peneliti P3DI Setjen
DPR, Jakarta
|
KOMPAS,
23 Juli 2014
”NAMUN dalam kenyataannya
sehari-hari banyak kita lihat kendaraan-2 dinas yang dipergunakan untuk
kepentingan keluarga (misalnya berbelanja ke pasar) di dalam jam dinas dan
kendaraan dinas yang dipergunakan oleh keluargannya. Hal tsb. kecuali
bertentangan dengan prinsip pemakaian kendaraan dinas, ..... penghematan,
juga.... menyolok di mata masyarakat sehingga mengurangi wibawa aparat
Negara.”
(Sidang Gabungan Komisi
APBN dengan Komisi I-X DPR RI, 12/2/1979)
KUTIPAN risalah di atas telah berumur 35 tahun, tetapi masih
sangat kontekstual dalam bayang-bayang krisis energi dan isu tata kelola.
Hajatan sosio-kultural bernama mudik dalam momentum hari besar
telah jadi tradisi yang terlembagakan sebagai sarana merapatkan kembali
jalinan sosio-emosional meski sering kali hedonistik. Pemerintah pun sama
pola pandangnya. Limbungnya pekerjaan infrastruktur publik yang menyertai
seolah semakin menafikan perencanaan yang matang. Ironisme lain, pemerintah
pun menutup mata, kalau tidak disebut mengizinkan, mudik dengan kendaraan
dinas.
Tentu saja tidak adil menyorot penggunaan kendaraan dinas hanya
dalam momentum Idul Fitri. Penggunaan untuk tujuan nondinas pun sudah mafhum.
Kita bisa amati pada hari-hari tertentu betapa masih banyak kendaraan dinas
berseliweran dari tingkat pasar rakyat, sentra perbelanjaan modern, sampai di
tempat-tempat ibadah.
Upaya penghematan bisa jadi satu alasan larangan penggunaan
kendaraan dinas untuk mudik. Sejalan dengan tingkat pertumbuhan ekonomi dan
naiknya kelas menengah, kecenderungan konsumsi BBM bersubsidi akan terus
meningkat. Dengan tingkat pertumbuhan konsumsi BBM 9 persen, konsumsi bakal
tembus di kisaran 48 juta-50 juta kiloliter pada 2014. Implikasi dari situasi
ini tentunya akan semakin membebani subsidi anggaran. Variabel kebijakan
mobil murah (LCGC) terhadap skenario meroketnya konsumsi BBM bersubsidi juga
tidak bisa disepelekan.
Situasi ini membuka mata bahwa penghematan harus segera
dipaksakan. Kendaraan dinas memang dilarang menggunakan BBM bersubsidi,
tetapi apakah bisa dijamin implementasinya? Sekarang saja banyak kendaraan
dinas yang berpelat hitam. Di sinilah situasi paradoksalnya: pemerintah
melarang kendaraan dinas menggunakan BBM bersubsidi, tetapi penggunaan pelat
hitam masih dibuka.
Persoalan akuntabilitas penyelenggara negara juga menjadi
variabel penting dalam isu ini. Hal ini sekaligus juga menyentuh aspek
keteladanan. Faktanya, dunia memang sudah terbalik-balik! Ketika pemerintah
menyerukan rakyat membatasi konsumsi BBM bersubsidi, tetapi pemerintah
sendiri tak kuasa memberikan teladan, lalu apa jaminannya rakyat akan
mengikuti? Tanpa menggunakan BBM non-subsidi pun penggunaan kendaraan dinas
untuk non-dinas kategorinya penyalahgunaan wewenang.
Pelarangan penggunaan kendaraan dinas untuk tujuan non-dinas,
apalagi dalam momentum hari besar dan hari libur nasional, juga bisa dilihat
dalam kerangka penghematan secara umum. Fenomena penggunaan kendaraan dinas
dan/atau barang publik lain sangat kental dengan fenomena moral hazard.
Adanya dukungan anggaran publik untuk perawatan, BBM, dan dalam batas
tertentu ”aksesori kenyamanan” mendukung penilaian ini. Akibatnya, tingkat
usia pakai kendaraan dinas pun jadi kian pendek.
Situasi seperti ini akan menguatkan dua varian implikatif.
Pertama, nilai jual kendaraan melalui lelang cenderung rendah karena memang
kecenderungannya kendaraan dinas sudah ”babak belur”. Kedua, fenomena moral
hazard itu dalam satu-dua kasus menunjukkan ada upaya sengaja untuk
”menurunkan” tingkat kelayakan pakai. Tujuannya supaya kendaraan itu tetap
berada di tangan pemakai meski telah pensiun. Lelang hanya sebatas prosedur
administratif.
Pelarangan kendaraan dinas untuk mudik memang tidak menjamin
penghematan BBM bersubsidi akan terjadi secara nasional. Dalam era ”darurat
energi”, pesan ”jadul” kutipan risalah di atas, bagaimanapun, masih relevan
di samping penegakan akuntabilitas penyelenggara negara bahwa fasilitas yang
mereka nikmati hakikatnya pinjaman yang hanya dipakai untuk melayani rakyat.
Kalau tidak seperti itu, buat apa kita memilih demokrasi, bukan kerajaan
misalnya, di mana segala fasilitas yang diberikan kepada ambtenar sifatnya
mutlak. Lebaran tinggal hitungan hari, mari kita lihat bersama yang terjadi
di jalanan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar