Bertangan
dan Berjari
Bandung Mawardi ;
Pengelola Jagat Abjad Solo
|
SUARA
MERDEKA, 24 Juli 2014
ANEKA
peristiwa politik di Indonesia sering memunculkan adegan akrab dan hangat: bersalaman.
Sejak proses awal pelaksanaan Pilpres 2014, dua pasang capres-cawapres sering
bersalaman saat tampil dalam acara-acara di KPU dan tempat perdebatan.
Kita
mendapati ekspresi kebersamaan demi Indonesia. Bersalaman tak cuma gerakan
tangan dari dua manusia untuk saling terhubung. Sejarah kultural dan etika
politik telah mengajarkan bahwa bersalaman adalah representasi pertalian atau
relasi, bermakna perkenalan, perdamaian, rekonsiliasi, dan solidaritas. Kita
menganggap adegan bersalaman antara Joko Widodo-Jusuf Kalla dan Prabowo
Subianto-Hatta Rajasa adalah ekspresi politik beradab, acuan keteladanan
dalam berdemokrasi.
Mereka
tak sedang ”bermusuhan” demi kekuasaan. Bersalaman menjadi bukti kemauan
mengabdi bagi Indonesia, berbekal amanat dari hasil coblosan, 9 Juli 2014.
Tangan saling salaman adalah kebersamaan untuk Indonesia. Mereka memang
sering bersalaman dengan misi para pendukung turut menjaga situasi politik,
saling menghormati dan mencipta kerukunan.
Bersalaman
tak cuma repetisi tapi pengukuhan makna kebersamaan. Berdemokrasi dengan
tangan memberi pendidikan demokrasi. Tangan menjelma simbol politik. Sutardji
Calzoum Bachri dalam puisi berjudul ’’Tangan’’ (1976) mengingatkan:
seharusnya tangan bukan hanya tangan tapi tangan yang/ memang tangan tak cuma
tangan tapi tangan yang tangan/ pasti tangan tepat tangan yang dapat lambai
yang sampai salam.
Tangan
untuk ”lambai” dan ”salam”. Gerakan tangan memuat pengertian-pengertian
populis dan ”romantis”. YB Mangunwijaya (1986) mengungkapkan,’’ Tangan adalah
bagian tubuh paling dinamis. Tangan merupakan perpanjangan otak dan perasaan
sebagai alat mengabdi namun juga sebagai juru bicaranya.” Tangan dalam
politik menjadi juru bicara perdamaian dan kerukunan. Bersalaman membuktikan
kehendak- kehendak saling berbarengan memperbaiki dan mengubah nasib
Indonesia.
Tubuh
sebagai ekspresi politik dalam agenda demokrasi makin bermakna dengan
pengenalan salam dua jari. Semula, Joko Widodo mengajak publik mengedarkan
salam dua jari, bermaksud mencipta harmoni di Indonesia. Salam dua jari
menggerakkan jutaan orang. Mereka memiliki harapan atas Indonesia. Di
pelbagai kota dan desa, orang-orang mendemonstrasikan salam dua jari.
Mereka
beranggapan ada imajinasi kolektif diperantarai oleh jari. Prabowo Subianto
pun mengenalkan ekspresi satu jari sebagai ajakan meraih kemenangan dan
keutamaan bagi Indonesia. Satu jari dan jari berbarengan membentuk makna
berdemokrasi. Ekspresi politik dengan jari menjalar secara cepat dan masif.
Jari berperan untuk salam. Ingat, ”salam” berarti damai, hormat, tabik
(Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, 1952).
Pemaknaan
makin menguat dengan eskpresi jari. Peristiwa coblosan dan publikasi hitung
cepat, 9 Juli 2014, menimbulkan ketegangan politik. Jokowi dan Prabowo selalu
berpesan ke pendukung untuk santun, sabar, tenang. Keduanya menghendaki ada
”pengendalian diri” agar proses demokrasi bisa berjalan dengan lancar.
Belum Pudar
Hari-hari
menegangkan mulai mendapat kepastian saat KPU mengumumkan secara resmi hasil
penghitungan suara, 22 Juli 2014. Sebelum hasil diumumkan ke publik, Prabowo
berpidato di Rumah Polonia, mengatakan menolak hasil pilpres dan menarik diri
dari proses pelaksanaan tahapan penghitungan suara.
Para
elite politik dan publik mulai bingung dan resah. Sikap politik telah
ditampilkan meski di luar ramalan. KPU menghormati keputusan Prabowo dan
Koalisi Merah Putih tapi proses pilpres harus tetap berlangsung. Harapan
rekonsiliasi belum pudar. Komunikasi masih terus berlangsung di jajaran elite
politik. Mereka berikhtiar mencipta ketenangan dan perdamaian. Tangantangan
siap bersalaman sebagai ekspresi rekonsiliasi.
Ekspresi
jari pun mulai diusulkan oleh Jokowi demi Indonesia. Di Pelabuhan Sunda
Kelapa, Jakarta, 22 Juli 2014, Jokowi dan JK memberikan pidato kemenangan,
berisi ajakan-ajakan tentang perubahan Indonesia dengan bergerak bersama.
Joko Widodo berkata, ’’Lupakanlah nomor 1 dan lupakanlah nomor 2. Marilah
kembali ke Indonesia Raya. Salam 3 jari. Persatuan Indonesia!’’ Kemenangan
tak diekspresikan dengan arogansi dan sorak berlebihan.
Kemenangan
penting tapi rekonsiliasi sangat penting. Pesan sudah gamblang bahwa kita
bergerak bersama membangun Indonesia. Jokowi pun memberi pujian bagi
Prabowo-Hatta,’’Saya mengucapkan terima kasih dan penghargaan tinggi kepada
Bapak Prabowo Subianto dan Bapak Hatta Rajasa.”
Mereka
memang tak bermusuhan. Ingat, sejak mula mereka sering bersalaman,
bergandengan, berpelukan sebagai ekspresi kematangan berpolitik. Ekspresi
salam tiga jari makin menjelaskan ajakan rekonsiliasi, mengacu ke Pancasila.
Politik mutakhir mulai memiliki ekspresi impresif dengan adegan bersalaman
dan salam tiga jari demi Indonesia. Politik memang tak selalu kata-kata atau
pidato. Tubuh justru menjadi ekspresi politik berpengaruh dalam agenda demokrasi.
Kita
menginsyafi tubuh adalah bahasa populis untuk mengerakkan publik mengabarkan
etika politik dan demokrasi beradab. Tangan dan jari sanggup mengajak elite
politik dan publik berbarengan mewujudkan rekonsiliasi, mencipta sejarah
persatuan dan perdamaian bagi anak dan cucu. Begitu. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar